Senin, 08 September 2025
Beranda / Berita / Nasional / Jejak Panjang "Kumpul Kebo" dari Zaman Kolonial di Hindia Belanda

Jejak Panjang "Kumpul Kebo" dari Zaman Kolonial di Hindia Belanda

Minggu, 07 September 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi kisah era kolonial gubernur belanda. Foto: doc AI Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Fenomena hidup bersama tanpa ikatan pernikahan resmi, atau yang populer disebut kumpul kebo, bukanlah praktik baru dalam masyarakat Indonesia. Jejak sejarahnya bisa ditelusuri hingga era kolonial, ketika para pejabat Belanda di Hindia lebih memilih hidup bersama perempuan lokal daripada membawa istri mereka dari Eropa.

Membawa serta istri dari Belanda ke Nusantara bukanlah perkara mudah. Biaya yang mahal, perjalanan laut yang berisiko tinggi, serta kondisi tropis yang kerap membuat orang Eropa jatuh sakit menjadi pertimbangan besar. Sebagai gantinya, banyak pejabat tinggi hingga pegawai biasa menjalin hubungan rumah tangga dengan perempuan lokal, sebagian besar berasal dari kalangan budak.

Sejarah mencatat, Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743 - 1750) adalah salah satu contoh nyata. Dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2016), van Imhoff disebut pernah menerima hadiah seorang budak cantik dari Ratu Bone. Budak tersebut kemudian dibaptis dengan nama Helena Pieters dan tinggal bersamanya sebagai "teman hidup." Dari hubungan itu, lahirlah beberapa anak yang kemudian diakui secara resmi.

Tak berhenti di situ, Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1777 - 1780) juga tercatat menjalani kehidupan serupa. Ia hidup bersama seorang budak perempuan ketika bertugas di Jawa, dan dari hubungan tersebut lahir banyak anak yang kemudian dikirim ke Belanda untuk mendapatkan pendidikan.

Fenomena ini bukan hanya milik pejabat tertinggi. Kalangan elit lain, seperti penasihat Thomas Stamford Raffles, Herman Warner Muntinghe, diketahui hidup bersama tiga budak perempuan meski sudah memiliki istri sah dari kalangan Indo-Belanda.

Raffles sendiri dikenal tidak mempermasalahkan praktik itu. Bahkan, di masa pemerintahannya (1811 - 1816), hubungan di luar nikah antara pejabat maupun pegawai Eropa dengan perempuan lokal dianggap hal lumrah.

Salah seorang sahabat Raffles, Alexander Hare, bahkan lebih ekstrem. Dalam catatan Tim Hannigan dalam buku Raffles and the British Invasion of Java (2012), Hare disebut memanfaatkan posisinya untuk menjadikan perempuan lokal dari berbagai daerah sebagai "teman hidup."

Apa yang dilakukan para gubernur jenderal dan elit kolonial hanyalah puncak gunung es. Pada level bawah, para pegawai, prajurit, hingga pedagang Eropa juga kerap menjalin kehidupan bersama dengan perempuan lokal tanpa ikatan pernikahan.

Masyarakat pribumi lantas memberi sebutan sinis untuk fenomena ini: kumpul Gerbouw. Dalam bahasa Belanda, gerbouw berarti "bangunan" atau "rumah." Julukan itu dimaksudkan sebagai sindiran bagi mereka yang hidup satu atap tanpa ikatan resmi.

Seiring waktu, istilah kumpul Gerbouw bergeser menjadi kumpul kebo dalam masyarakat Indonesia modern. Meski konteks sosial dan hukumnya kini berbeda, sejarah mencatat bahwa praktik tersebut pernah mengakar kuat sejak zaman kolonial, diwariskan dari relasi kuasa antara penjajah dengan perempuan lokal.

Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
damai -esdm
bpka