Senin, 03 November 2025
Beranda / Berita / Nasional / Kurikulum Berbasis Cinta, Gerakan Baru dari Kemenag untuk Mendidik dengan Hati

Kurikulum Berbasis Cinta, Gerakan Baru dari Kemenag untuk Mendidik dengan Hati

Minggu, 02 November 2025 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Pokjawas Madrasah Provinsi Aceh, Nopia Dorsain. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sebuah gerakan pendidikan baru tengah tumbuh di Aceh. Namanya Kurikulum Berbasis Cinta, sebuah pendekatan belajar yang menekankan nilai kasih sayang, keteladanan, dan kedamaian dalam proses pendidikan. 

Gagasan ini kini mulai diimplementasikan di madrasah-madrasah Aceh, di bawah koordinasi Kelompok Kerja Pengawas Madrasah Provinsi Aceh.

Ketua Pokjawas Madrasah Provinsi Aceh, Nopia Dorsain, menjelaskan bahwa kurikulum ini merupakan tindak lanjut dari kebijakan Kementerian Agama Republik Indonesia yang tertuang dalam Juknis Nomor 6077 Tahun 2025 tentang pengembangan kurikulum berbasis cinta. 

“Kegiatan ini adalah implementasi awal dari kebijakan nasional yang menempatkan cinta sebagai pusat dari pendidikan,” kata Nopia kepada wartawan dialeksis.com, Minggu, 2 November 2025.

Menurut Nopia, Kegiatan ini digerakkan langsung oleh para guru pengawas. Mereka melakukan riset dan uji coba penerapan kurikulum ini agar bisa menyesuaikan dengan karakter lokal Aceh.

Bagi Nopia, pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi tentang pembentukan jiwa. “Tujuan utama dari kurikulum ini adalah menanamkan nilai cinta dalam setiap aspek kehidupan,” ujarnya.

Ia menegaskan, hidup akan damai jika di dalamnya ada cinta, cinta dalam makna yang diajarkan Rasulullah SAW.

“Rasul pernah bersabda: belum sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Artinya, pendidikan sejati adalah pendidikan yang melahirkan kasih sayang dan empati,” katanya.

Nopia kemudian memberi contoh sederhana, jika seseorang menemukan duri di jalan, dan ia berpikir untuk menyingkirkannya agar orang lain tidak terluka, maka itu adalah bentuk nyata dari cinta. 

“Pertanyaannya, apakah guru-guru kita sudah sampai ke situ? Apakah mereka benar-benar mencintai anak didiknya? Inilah yang ingin kita bangun,” katanya.

Dalam kurikulum baru ini, ada lima pilar utama yang disebut Panca Cinta, Cinta kepada Allah dan Rasul, sebagai sumber segala cinta. Cinta kepada ilmu, karena tanpa ilmu seseorang tidak akan mengenal Tuhan dan ciptaan-Nya. Cinta kepada diri sendiri dan sesama manusia, sebagai bentuk penghormatan terhadap kehidupan.

Selain itu, Cinta kepada alam, karena alam adalah manifestasi nyata dari kehadiran Allah. Cinta kepada tanah air, karena kemerdekaan dan kehidupan bernegara adalah amanah bersama.

“Orang yang berilmu itu tinggi derajatnya, tapi orang yang beradab lebih tinggi lagi, karena itu, kurikulum cinta ini bukan hanya bicara tentang pengetahuan, tapi juga adab dan karakter," ujarnya.

“Ketika kita menyuruh anak disiplin, maka kita dulu yang harus disiplin. Menyuruh anak belajar, kita pun harus belajar. Menyuruh anak shalat dhuha, guru pun harus shalat dhuha,” tegasnya.

Baginya, cinta bukan teori, melainkan praktik yang dirasakan dan diteladankan. “Rasulullah menjadi panutan karena akhlaknya, bukan karena pidatonya. Kalau guru melarang anak mencuri, tapi dia sendiri tidak jujur, bagaimana anak bisa meneladaninya?” ujarnya.

Lebih jauh, Nopia juga menekankan pentingnya menanamkan cinta alam dan tanah air dalam proses belajar. 

“Cinta alam adalah bentuk cinta kepada Allah, karena alam ini ciptaan-Nya. Ketika kita menebang hutan tanpa tanggung jawab, kita merusak amanah Tuhan,” katanya.

Ia mencontohkan, anak-anak yang memahami cinta lingkungan tidak akan merusak hutan, tidak akan membuang sampah sembarangan, dan akan berpikir panjang sebelum mengeksploitasi alam. 

“Mereka tahu bahwa di balik pohon dan tanah itu, ada kehidupan yang juga harus dijaga,” tambahnya.

Cinta tanah air, menurut Nopia, adalah wujud penghormatan kepada perjuangan bangsa. “Kemerdekaan ini bukan milik satu suku, tapi hasil perjuangan bersama. Karena itu, mencintai tanah air adalah bagian dari iman,” katanya.

Untuk memastikan nilai-nilai itu benar-benar hidup di madrasah, kurikulum ini diterapkan melalui pendekatan ARKA, akronim dari Aktivitas, Refleksi, Kontekstualisasi, dan Aplikasi.

“Kita tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga membuat peserta didik merasakan dan menghayati maknanya,” jelas Nopia.

Misalnya, ketika membahas tema cinta alam, para siswa tidak hanya belajar di kelas, tetapi juga turun langsung ke lapangan. Mereka diajak menanam pohon, membersihkan lingkungan, dan merenungkan makna keberadaan alam dalam kehidupan manusia.

“Melalui refleksi itu, anak-anak memahami bahwa mencintai alam sama halnya mencintai Sang Pencipta, dan ketika nilai cinta itu sudah melekat di hati, anak-anak tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berjiwa damai, beradab, dan berempati," ujarnya. 

Ia mengatakan Kurikulum Berbasis Cinta bukan sekadar inovasi pendidikan, tetapi sebuah gerakan moral dan spiritual untuk membangun generasi berkarakter.

“Cinta harus melekat lebih dulu di dalam diri guru, baru bisa menular kepada anak-anak. Kalau kita sendiri tidak mencintai ilmu, tidak mencintai alam, dan tidak mencintai sesama, bagaimana bisa menanamkan cinta kepada peserta didik?” ujarnya.

“Kalau pendidikan kita dibangun atas dasar cinta, insya Allah dunia pendidikan akan melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga berakhlak mulia,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI