Senin, 27 Oktober 2025
Beranda / Berita / Nasional / Kurikulum Berbasis Cinta, Pendekatan Baru Membangun Karakter Peserta Didik

Kurikulum Berbasis Cinta, Pendekatan Baru Membangun Karakter Peserta Didik

Minggu, 26 Oktober 2025 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Pokjawas Madrasah Kantor Kemenag Kota Banda Aceh, Hj. Fikriah, S.Ag., M.Pd. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah arus perubahan zaman dan tantangan moral generasi muda, Kementerian Agama (Kemenag) menghadirkan sebuah terobosan pendidikan bernama Kurikulum Berbasis Cinta

Pendekatan ini diyakini dapat menjadi fondasi penting dalam membentuk karakter peserta didik yang berakhlak, berilmu, dan berjiwa cinta tanah air.

Ketua Pokjawas Madrasah Kantor Kemenag Kota Banda Aceh, Hj. Fikriah, S.Ag., M.Pd, menjelaskan bahwa kurikulum berbasis cinta ini bukanlah kurikulum nasional seperti Kurikulum Merdeka yang kini digunakan secara luas di Indonesia, melainkan pendekatan khas yang digagas oleh Kementerian Agama sebagai penguat nilai-nilai spiritual dan moral dalam dunia pendidikan.

“Kurikulum berbasis cinta ini bukan kurikulum nasional. Kalau kurikulum nasional itu kan sudah ada standar isinya. Namun, pendekatan berbasis cinta ini lebih menekankan pada pembentukan karakter melalui nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan,” ujarnya saat berbincang dengan media dialeksis.com, Minggu, 26 Oktober 2025.


Menurutnya, Kurikulum Berbasis Cinta berporos pada konsep Panca Cinta, yakni lima nilai utama yang harus ditanamkan sejak dini kepada peserta didik: cinta kepada Allah dan Rasulullah, cinta ilmu, cinta alam, cinta diri dan sesama, serta cinta tanah air.

“Di sinilah titik beratnya. Bagaimana karakter anak-anak bangsa bisa terbentuk kalau cinta kepada Allah dan Rasulullah saja tidak ada? Padahal, di situlah sumber nilai moral dan kasih sayang itu tumbuh," ujarnya.

Ia menilai, fenomena degradasi moral dan lemahnya karakter generasi muda bukan semata disebabkan oleh kurikulum akademik, tetapi oleh hilangnya sentuhan cinta dalam proses belajar.

“Banyak guru hari ini mengeluh karena muridnya bandel, sulit diatur, kurang sopan. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, akar masalahnya bukan sekadar disiplin, tapi karena cinta itu tidak tumbuh di sekolah atau madrasah. Guru akhirnya lebih fokus mengeraskan ilmu, bukan menumbuhkan hati,” ungkapnya.

Menurutnya, pendekatan ini justru mampu menyeimbangkan akal dan rasa dalam pembelajaran. Misalnya dalam pelajaran sains seperti IPA tentang fotosintesis, peserta didik tidak hanya belajar proses ilmiah, tetapi juga diajak merenungkan makna di balik ciptaan Allah.

“Ketika anak-anak belajar fotosintesis, mereka diajak berpikir: kalau tidak ada matahari, apa yang akan terjadi? Dari situ mereka memahami bahwa segala gerak kehidupan itu berasal dari Allah, Sang Sumber Cinta,” ujarnya.

Fikriah menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan cinta ini bukan hanya untuk tingkat dasar, melainkan berlaku mulai dari TK hingga perguruan tinggi.

“Mendidik dengan cinta itu harus menjadi napas dari seluruh jenjang pendidikan, mulai dari rumah, sekolah, hingga perguruan tinggi. Kalau sejak kecil mereka sudah merasakan belajar dengan cinta, maka ketika dewasa, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang lembut, berkarakter, dan peduli,” jelasnya.

Ia juga menyebutkan bahwa konsep ini selaras dengan pendekatan deep learning yang saat ini digagas oleh Kementerian Pendidikan. Bedanya, kurikulum berbasis cinta menambahkan sentuhan spiritual dan moral yang lebih dalam.

Lebih jauh, Hj. Fikriah menekankan bahwa pendidikan berbasis cinta tidak hanya tanggung jawab guru di sekolah, tetapi juga harus dihidupkan di rumah.

“Di rumah pun, kalau kita mendidik anak dengan cinta, Insya Allah anak-anak itu akan lembut hatinya. Mereka akan tumbuh bukan karena takut hukuman, tetapi karena rasa cinta dan tanggung jawab,” ujarnya.

Sebagai pengawas madrasah di Kota Banda Aceh sekaligus Ketua Pokjawas Madrasah, ia terus mendorong para guru dan tenaga pendidik agar tidak hanya mengejar capaian akademik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kasih sayang dan kepedulian sosial dalam setiap proses pembelajaran.

“Kalau cinta sudah tumbuh, maka ilmu akan mudah diterima. Kalau hati sudah lembut, karakter akan terbentuk dengan sendirinya. Pendidikan bukan sekadar mengajar, tapi mendidik dengan hati,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI