DIALEKSIS.COM | Aceh - Bertepatan dengan tanggal 30 September 2025, bangsa Indonesia kembali mengenang peristiwa kelam Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) yang terjadi enam dekade silam. Momentum ini, menurut Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL) Aceh, Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA., bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan refleksi mendalam tentang pentingnya menjaga ideologi Pancasila dan persatuan bangsa di tengah derasnya tantangan zaman.
“Peristiwa G30S/PKI adalah titik penting yang mengajarkan kita bahwa ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Bagi generasi muda, ini menjadi pelajaran berharga agar tetap berpegang pada nilai-nilai kebangsaan, tidak mudah terpecah, dan selalu mengutamakan persatuan,” ujar Syahrizal Abbas kepada media Dialeksis, Selasa (30/9/2025).
Syahrizal menekankan, meski G30S/PKI terjadi pada 1965, makna yang dikandungnya tetap relevan hingga kini. Menurutnya, ancaman terhadap bangsa tidak hanya hadir dalam bentuk pemberontakan bersenjata, melainkan juga melalui infiltrasi ideologi, penyalahgunaan teknologi, hingga gerakan yang mengancam harmoni sosial.
“Generasi sekarang menghadapi tantangan yang berbeda. Kalau dulu bentuknya pemberontakan, kini tantangan hadir dalam wajah baru: radikalisme, disinformasi, hingga politik identitas yang memecah belah. Inilah yang harus diwaspadai. Semangat kewaspadaan yang lahir dari peristiwa G30S/PKI jangan pernah padam,” tegasnya.
Dalam pandangan Ketua IKAL Lemhannas Aceh itu, anak muda Aceh dan Indonesia umumnya perlu membekali diri dengan literasi sejarah agar tidak buta terhadap akar perjalanan bangsa. Ia menilai, memahami peristiwa G30S/PKI adalah bagian dari pendidikan karakter kebangsaan.
“Sejarah bukan untuk disesali, melainkan untuk diambil pelajaran. Generasi muda jangan alergi dengan sejarah, justru dari situlah kita bisa memahami jati diri bangsa. Jika paham sejarah, anak muda akan lebih kuat menghadapi propaganda dan tidak gampang dimanfaatkan oleh kepentingan yang merugikan negara,” ucapnya.
Syahrizal berharap momentum peringatan 30 September 2025 bisa dijadikan ruang refleksi, baik di lingkungan pendidikan maupun masyarakat, untuk menanamkan nilai keindonesiaan yang kokoh. Ia menegaskan bahwa menjaga Pancasila dan NKRI bukan hanya tugas generasi yang pernah mengalami langsung peristiwa 1965, tetapi juga generasi muda hari ini dan yang akan datang.
“Bangsa ini bisa bertahan karena kita selalu belajar dari sejarah. Mari kita wariskan kepada generasi muda semangat cinta tanah air, komitmen pada Pancasila, dan kesadaran bahwa persatuan adalah kunci untuk menghadapi segala bentuk ancaman,” tutupnya. [ra]