DIALEKSIS.COM | Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan pemisahan pelaksanaan pemilihan umum nasional dan daerah mulai tahun 2029. Dalam skema baru tersebut, pemilu nasional hanya mencakup pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, serta anggota DPD. Sementara pemilu daerah, yang terdiri dari pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, akan digelar bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Keputusan MK ini disambut positif oleh kalangan akademisi dan penggiat demokrasi. Salah satunya datang dari Mashudi SR, peneliti dari Institute for Democracy and Justice (IDJ). Menurutnya, putusan ini memiliki nilai positif dari berbagai aspek, mulai dari kepentingan pemilih, efisiensi penyelenggaraan, hingga penguatan kaderisasi partai politik.
“Dari sisi pemilih, keputusan ini sangat baik karena memberi jeda waktu yang cukup antarpemilihan. Dengan tidak dilaksanakannya semua jenis pemilu dalam satu tahun, pemilih tidak akan jenuh atau mengalami kelelahan dalam menggunakan hak pilihnya,” ujar Mashudy saat dihubungi Dialeksis, Jumat (27/6/2025).
Mashudi menjelaskan bahwa jeda waktu ini juga memberi ruang bagi pemilih untuk lebih fokus mengenali para kandidat, baik di tingkat nasional maupun daerah.
“Pemisahan ini memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk mencermati rekam jejak dan visi para calon secara lebih mendalam. Ini penting untuk memperkuat kualitas demokrasi elektoral kita,” tambahnya.
Di sisi lain, keputusan MK ini juga dinilai meringankan beban kerja penyelenggara pemilu. Menurut Mashudy, pengalaman Pemilu 2024 menunjukkan bahwa menumpuknya tahapan antara pemilu legislatif dan pilkada telah menciptakan tekanan luar biasa bagi penyelenggara.
“Beban kerja yang berat dan tumpang tindih tahapan sangat mempengaruhi kualitas penyelenggaraan. Akibatnya, banyak aspek penting yang terabaikan, termasuk prinsip - prinsip dasar pemilu yang jujur dan adil,” jelasnya mantan Komisioner KPU Banten.
Dengan pemisahan pemilu nasional dan daerah, lanjut Mashudi, penyelenggara bisa lebih fokus menjalankan tugas sesuai fungsinya masing-masing dalam rentang waktu lima tahun.
“Kalau semua tahapan hanya padat di dua tahun pertama, maka ada tiga tahun sisa di mana penyelenggara praktis tidak mengelola proses inti pemilu. Ini tidak efisien, dan dari sisi anggaran pun menjadi pemborosan,” ujarnya.
Selain itu, Mashudi menilai keputusan MK ini juga membawa dampak strategis bagi partai politik. Dengan jadwal pemilu yang terpisah, partai memiliki waktu yang lebih panjang untuk menyiapkan kader-kader terbaiknya, baik untuk level nasional maupun daerah.
“Selama ini, partai sering terjebak dalam pola pragmatisme politik dengan mengusung kader instan hanya karena memiliki modal popularitas dan uang. Dengan adanya jeda waktu ini, partai bisa melakukan kaderisasi secara lebih matang dan terukur,” tegas Mashudy.
Menurutnya, ruang ini penting untuk memastikan bahwa yang tampil dalam kontestasi politik adalah figur - figur yang memang telah dipersiapkan dengan baik oleh partai, bukan sekadar ‘penumpang dadakan’ yang dipilih karena kepentingan jangka pendek.
Putusan MK ini, meski dinilai positif, juga memerlukan tindak lanjut berupa revisi terhadap sejumlah regulasi. Salah satunya adalah Undang-Undang Pemilu dan Pilkada yang perlu disesuaikan dengan skema penyelenggaraan baru. Aspek transisi masa jabatan, baik bagi DPRD maupun kepala daerah hasil Pilkada 2024, juga perlu mendapat perhatian agar tidak menimbulkan kekosongan hukum atau kebingungan dalam implementasi.
“Prinsip dasarnya jelas: pemilu harus menjamin keterwakilan, efisiensi, dan kualitas proses. Putusan MK sudah mengarah ke sana, tinggal bagaimana negara dan seluruh aktor politik mengelola transisinya dengan baik,” pungkas Mashudi ahli Pemilu Nasional ini.