DIALEKSIS.COM | Aceh - Program unggulan Presiden Prabowo Subianto, Makan Bergizi Gratis (MBG), mulai merambah pesantren. Sejumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) berdiri di berbagai daerah, menandai keseriusan pemerintah melibatkan lembaga pendidikan keagamaan dalam pemenuhan gizi anak bangsa. Namun, langkah ini belum menyentuh Aceh.
Hingga September 2025, baru sekitar 40 SPPG yang tercatat aktif di pesantren. Ketika Dialeksis menelusuri ke lapangan, hasilnya “nihil” belum ada satu pun dayah di Aceh yang mendapat sentuhan program tersebut.
Konfirmasi itu datang dari Pesantren Mahyal Ulum Al-Aziziyah, Sibreh, Aceh Besar. Pimpinan pesantren, Tgk. H. Faisal Ali, memastikan program MBG belum hadir di wilayahnya.
“Di pesantren atau dayah kami, belum masuk praktik kebijakan MBG dari Kementerian Agama. Sampai hari ini, setahu kami, belum ada dapur MBG yang dikelola dayah di Aceh,” kata Faisal Ali saat ditemui Dialeksis, Ahad (21/9/2025).
Faisal menilai, pelibatan dayah akan membawa dampak berlapis. “Sangat tepat bila MBG itu masuk ke dayah dan dikelola langsung oleh dayah. Selain menambah kekuatan ekonomi internal pesantren, juga bisa menghidupkan ekonomi masyarakat sekitar,” ujarnya.
Ia menggambarkan, dapur MBG di dayah akan menyerap beras dari petani lokal, sayur dari kebun warga, hingga telur dari peternak kecil. Rantai ekonomi ini akan membuat pesantren tidak hanya sebagai pusat pendidikan, melainkan juga pusat perputaran ekonomi rakyat.
Meski menyambut baik, Faisal memberi catatan. Ia menyinggung isu yang sempat mencuat di publik soal wadah makanan program MBG yang disebut “tidak halal”. Menurutnya, pemerintah harus segera meluruskan kabar semacam itu agar tidak mencederai tujuan mulia program.
“Isu seperti itu jangan dibiarkan berlarut. Sistem kontrol juga harus diperbaiki, koordinasi diperjelas, sehingga pelaksanaan MBG tidak menimbulkan kecurigaan,” katanya.
Bagi Tgk Faisal dikenal Abu Sibreh menyampaikan lagi, pesantren memiliki modal sosial yang besar untuk memastikan program ini berjalan bersih dan efektif. Kultur disiplin, kepatuhan santri, hingga jaringan masyarakat di sekitarnya adalah faktor yang membuat dayah layak dipercaya mengelola program.
“Kalau MBG dipercayakan ke dayah, insya Allah akan lebih amanah. Dayah punya tradisi pengawasan internal yang kuat. Program ini bisa berjalan sesuai harapan,” ucapnya.
Harapan Faisal sederhana: agar pemerintah pusat, khususnya Kementerian Agama, segera mengalokasikan program MBG ke Aceh. Baginya, MBG bukan sekadar soal menyediakan makanan bergizi, melainkan memperkuat peran dayah sebagai pusat pendidikan sekaligus penggerak ekonomi umat.
“Kami di Aceh tentu menunggu. Kalau serius dijalankan, MBG bisa menjadi kebijakan yang berkah. Santri sehat, pesantren kuat, ekonomi rakyat pun ikut bergerak,” tutup Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh. [ra]