DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Pusat Kajian Analisa dan Advokasi Aceh (PUSAKA), Handika Rizmajar meminta kepada Kepala Badan Penyelenggara BUMN Dony Oskaria untuk segera mencopot Direktur Utama PT PLN, Darmawan Prasodjo.
Ia menilai kepemimpinan Darmawan telah gagal mengantisipasi kebutuhan energi masyarakat Aceh di tengah bencana hidrometeorologi yang melanda 18 kabupaten/kota dalam beberapa pekan terakhir. Dalam hal ini, sudah dua minggu lebih, Provinsi Aceh mengalami mati lampu.
Menurut Handika, krisis listrik yang berkepanjangan bukan hanya memperburuk kondisi masyarakat terdampak banjir dan longsor, tetapi juga menunjukkan betapa buruknya tata kelola kelistrikan di bawah kepemimpinan PLN saat ini.
“Sudah hampir setengah bulan Aceh hidup tanpa pasokan listrik stabil. Bahkan sebelum bencana banjir dan longsor, listrik juga padam hingga tiga hari, anehnya, sampai sekarang PLN belum bisa memastikan kerusakan sebenarnya. Ini menunjukkan ketidakmampuan mengelola sistem kelistrikan," ujar Handika kepada media dialeksis.com, Jumat (12/12/2025).
Handika menilai kegagalan PLN dalam memastikan pasokan listrik selama masa darurat telah memperburuk kondisi ribuan warga yang sedang berjuang pulih dari bencana. Tanpa listrik, masyarakat tidak hanya kehilangan penerangan, tetapi juga akses terhadap layanan dasar.
“Warga sudah tertimpa bencana, listrik padam pula. Jelas ini menggandakan kesulitan mereka,” tegasnya.
Situasi di Aceh yang masih berada dalam status tanggap darurat, menurutnya, menuntut respons cepat dan profesional dari PLN, bukan jawaban yang berlarut-larut tanpa kejelasan.
Ketiadaan pasokan listrik memicu efek domino pada berbagai sektor vital. Di banyak titik, antrean kendaraan mengular di SPBU meskipun pasokan BBM tidak mengalami masalah.
Penyebabnya, sebagian besar pertamini dan penjual eceran tidak dapat beroperasi karena mesin mereka membutuhkan listrik.
“Banyak pertamini tutup karena tidak ada daya untuk mengoperasikan mesin, sehingga harga BBM eceran melonjak,” ungkap Handika.
Lonjakan harga BBM eceran, terutama di daerah yang jauh dari pusat kota, menambah beban masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi akibat bencana.
Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi salah satu yang paling terpukul. Banyak pemilik usaha mengaku terpaksa menghentikan operasional karena tidak memiliki akses listrik sama sekali. Penggunaan genset pun sulit dilakukan karena harga bahan bakar yang melambung.
“UMKM yang sangat bergantung pada listrik lumpuh total. Ini memukul ekonomi masyarakat di tengah bencana,” jelasnya.
Menurut Handika, kegagalan PLN dalam menghadirkan pasokan listrik stabil turut berkontribusi pada menurunnya aktivitas ekonomi masyarakat Aceh.
Selain sektor ekonomi, layanan komunikasi juga terdampak. Sejumlah wilayah di Aceh mengalami putus jaringan seluler dan internet.
Hal ini menghambat koordinasi antara warga, relawan, dan pemerintah, sekaligus menyulitkan masyarakat menghubungi keluarga atau menjalankan pekerjaan yang membutuhkan akses daring.
“Ketika komunikasi terputus, aktivitas sosial dan bisnis ikut terhenti. Semua sektor terkena imbas karena sistem kelistrikan yang tidak dikelola dengan baik,” tegas Handika.
Kondisi tersebut, menurutnya, menunjukkan pentingnya peran listrik sebagai tulang punggung seluruh aspek kehidupan, terutama dalam situasi darurat.
Dengan berbagai persoalan tersebut, Handika menegaskan bahwa sudah sepantasnya Menteri BUMN mengambil langkah tegas demi memulihkan pelayanan kelistrikan di Aceh.
Ia mengatakan bahwa pergantian Dirut PLN menjadi langkah mendesak untuk mengembalikan kepercayaan publik, mempercepat normalisasi pasokan listrik, dan memastikan masyarakat Aceh tidak terus-menerus menjadi korban dari tata kelola kelistrikan yang buruk.
"Ini bukan soal personal, tetapi soal tanggung jawab publik. Aceh membutuhkan pemimpin PLN yang mampu bekerja cepat, transparan, dan efektif,” tutupnya. [nh]