DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tragedi pembacokan yang dilakukan SA (48) terhadap putranya sendiri, Tuahdi (24), di Bener Meriah kembali membuka mata publik tentang rapuhnya kesehatan mental di daerah yang pernah dilanda konflik.
Banyak pihak menduga, kasus ini bukan sekadar tindak kriminal, tetapi juga berkaitan erat dengan trauma psikologis yang menumpuk selama puluhan tahun.
Psikolog nasional sekaligus pakar ekspresi, Poppy Amalya, menilai peristiwa tersebut mencerminkan betapa trauma konflik bersenjata di Aceh masih meninggalkan luka yang belum sembuh, bahkan dua dekade setelah damai tercapai.
“Trauma psikologis, terutama trauma konflik bersenjata, bisa bersifat laten atau tidur panjang. Ia tidak hilang dengan waktu, tapi bisa muncul kembali dalam bentuk ledakan emosi, perilaku kekerasan, gangguan tidur, depresi, bahkan tindak kriminal,” jelas Poppy kepada media dialeksis.com, Senin (18/8/2025).
Menurut Poppy, SA kemungkinan besar mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD) yang tidak pernah ditangani secara tuntas sejak muda.
Ia tumbuh dalam suasana konflik, terpapar ancaman kekerasan, dan sempat mendapat perawatan medis, namun sifatnya hanya mengurangi gejala sesaat.
“Perawatan medis saja tidak cukup. Kalau tidak diikuti dengan terapi trauma yang berkelanjutan, luka psikologis itu tetap ada di bawah permukaan. Pada titik tertentu, ia bisa meledak menjadi perilaku ekstrem,” tegasnya.
Selain faktor trauma pribadi SA, Poppy juga menyoroti fragmentasi keluarga sebagai salah satu penyebab tekanan psikososial yang dialami Tuahdi, anak korban.
“Anak yang tumbuh dalam ketidakpastian tanpa perhatian penuh dari orang tua, biasanya mengalami ketimpangan emosional. Itu bisa menjadi cry for help dalam bentuk perilaku agresif atau destruktif. Sayangnya, tanpa dukungan keluarga yang stabil, risiko konflik dalam rumah tangga jadi semakin tinggi,” paparnya.
Baik SA maupun Tuahdi disebut berusaha bertahan hidup dengan pekerjaan serabutan. Kondisi ekonomi yang terbatas, isolasi sosial, serta ketiadaan sistem dukungan kesehatan mental, memperburuk keadaan.
“Kalau kita hanya mengandalkan RSJ (Rumah Sakit Jiwa), itu tidak cukup. Dibutuhkan konseling berkelanjutan, pendampingan komunitas, dan sistem sosial yang menjaga. Tanpa itu, pasien mudah relapse, dan akhirnya muncul kasus tragis seperti ini,” ujar Poppy.
Poppy menegaskan, kasus Bener Meriah hanyalah puncak gunung es dari persoalan trauma transgenerasi di Aceh. Meski sudah damai 20 tahun, jejak konflik tetap diwariskan secara psikologis dari orang tua kepada anak.
“Anak-anak yang lahir setelah damai pun bisa menerima warisan trauma: kecemasan, pola kekerasan, rasa tidak aman. Kalau ini tidak diputus, maka masalah sosial dan kriminal bisa terus bermunculan,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, fenomena serupa juga ditemukan pada veteran Perang Dunia, korban konflik Rwanda, hingga Bosnia, yang baru menunjukkan gejala parah puluhan tahun setelah perang usai.
Untuk mencegah tragedi serupa, Poppy Amalya merekomendasikan lima langkah penanganan menyeluruh pemeriksaan Psikiatri Forensik Lengkap, agar kondisi SA bisa diketahui secara komprehensif, sehingga hukum dan terapi berjalan seimbang.
Pendekatan Trauma-Informed Care dengan layanan kesehatan, hukum, dan sosial harus memahami sejarah trauma korban konflik. Intervensi keluarga dengan merujukbkeluarga ke lembaga psikologi seperti Psikodinamika, agar ada pemulihan kolektif.
Dalam hal ini, layanan Kesehatan Mental Mobile pendekatan berbasis komunitas atau online untuk menjangkau daerah terpencil. Edukasi komunitas kepada warga harus dilatih mengenali gejala gangguan kejiwaan, karena mereka adalah garda terdepan dalam pencegahan.
Selain itu, Poppy menekankan perlunya terapi klinis terstruktur seperti EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing), Trauma-Focused CBT, hingga psikoterapi kelompok.
“Trauma sering kali berakar pada kemiskinan dan marginalisasi. Jadi, pemulihan psikologis harus disertai rehabilitasi sosial-ekonomi. Kalau orang punya pekerjaan produktif dan keterampilan sosial, tekanan mental yang memicu agresi bisa berkurang,” tambahnya.
Ia mengatakan bahwa luka psikologis tidak bisa sembuh hanya dengan waktu, tetapi harus ditangani secara profesional.
“Rehabilitasi psikologis preventif wajib dilakukan, bukan hanya di rumah sakit jiwa tapi juga di level komunitas. Kalau tidak, kita akan terus menyaksikan tragedi serupa berulang. Investasi pada trauma healing dan layanan kesehatan mental berbasis komunitas adalah kunci bagi masa depan Aceh,” pungkasnya. [nh]