Beranda / Berita / Nasional / Revisi UU Pemilu, Partai Demokrat: Jangan Berangus Partai Lokal

Revisi UU Pemilu, Partai Demokrat: Jangan Berangus Partai Lokal

Minggu, 17 Januari 2021 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

[Foto: doc Humas DPP Demokrat]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Partai Demokrat yang diwakili Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, meminta revisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu) jangan sampai memberangus keberadaan partai lokal. 

"Keberadaan partai lokal harus tetap dipertahankan, karena merupakan hasil kesepakatan damai bersama antara pemerintah Indonesia dan GAM, yang tertuang dalam MoU Helsinki," kata Herzaky, Minggu (17/1/2021).

Partai Demokrat juga meminta agar Pilkada tahun 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan, akan tetapi tidak digabung antara Pemilihan Legislatif (Plileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) di tahun 2024. 

Herzaky menyampaikan, terdapat tiga pertimbangan besar. Pertama, Pilkada serentak dengan Pileg dan Pilpres 2024 akan menciptakan beban teknis pemilihan berlebih bagi penyelenggara pemilu.

"Pileg dan Pilpres yang disatukan pada tahun 2019 kemarin saja telah memakan korban 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Petugas meninggal dan sakit ini tidak lepas dari rata-rata beban kerja petugas yang sangat tinggi sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan," kata Herzaky.

Walaupun pemungutan suara pemilu dan pilkada pada 2024 direncanakan tidak bersamaan harinya, pemilu biasanya bulan April, sedangkan pilkada pada November 2024 seperti tercantum di Pasal 201 Ayat 8 UU No. 10/2016, lanjut dia, tahapan-tahapannya akan beririsan satu sama lain. hal ini akan membuat beban petugas semakin berlipat. 

"Tragedi meninggalnya ratusan petugas pada Pileg dan Pilpres 2019, sangat mungkin bakal berulang kembali, bahkan memunculkan korban berlipat ganda, jika Pilkada dipaksakan dilaksana serentak dengan Pileg dan Pilpres pada 2024," jelasnya.

Kedua, munculnya permasalahan akibat penjabat kepala daerah yang terlalu lama menjabat jika daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya pada 2022 dan 2023 baru akan melaksanakan pilkada pada tahun 2024, kata dia, penjabat kepala daerah ini tidak dapat mengambil keputusan strategis, sedangkan kita tidak pernah tahu.

"Sebagai contoh, apakah tahun 2022 dan 2023 nanti isu pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi yang kita alami saat ini sudah berakhir," tuturnya.

Ia berujar, dengan adanya kepala daerah definitif hasil pemilu, kebijakan strategis pro rakyat untuk mengatasi pandemi covid-19 maupun dampak ekonomi yang menyertai dapat diambil. Ketiadaan kepala daerah yang definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat dalam jangka waktu yang cukup panjang (satu-dua tahun) seperti skenario di UU Nomor 10 Tahun 2016 pun mencederai demokrasi.

Ketiga, belum lagi jika mempertimbangkan faktor politik gagasan. Pengalaman Pemilu 2019, kampanye legislatif tenggelam oleh riuh rendahnya pemilu presiden. Perdebatan visi-misi di tingkat pileg, pilpres, dan pilkada akan tumpang tindih. 

"Isu pilkada akan tenggelam jika pelaksanaannya berdekatan dengan pileg dan pilpres 2024. Proses kompetisi pun sangat kompleks. Hal ini bisa memicu tindakan-tindakan ilegal laiknya politik uang, politisasi sara, dan politik identitas secara terstruktur, sistematis, dan masif, demi kemenangan semata," katanya.

Selain itu, partai Demokrat juga berkepentingan agar revisi UU Pemilu ini semakin memenuhi prinsip-prinsip keadilan politik bagi Indonesia ke depannya. 

Pertama, untuk pilpres, Demokrat mengusulkan setiap parpol yang lolos ke parlemen, memiliki hak untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Dengan demikian, masyarakat bakal memiliki lebih banyak pilihan calon pemimpin. 

Di sisi lain, mengentalnya polarisasi politik dan terbelahnya masyarakat Indonesia akibat hanya memiliki dua calon presiden pada tahun 2014 dan 2019, bisa dicegah untuk terjadi kembali di tahun 2024. 

Herzaky mengatakan, memang rekonsiliasi di tingkat elit sudah dilakukan pasca pilpres, tetapi luka mendalam di masyarakat, terutama kalangan akar rumput, sudah terlanjur dalam dan sulit untuk dipulihkan. Kondisi seperti ini tentunya sangat tidak sehat untuk demokrasi Indonesia. 

"Sangatlah jahat jika ada pihak-pihak yang memilih mempertahankan polarisasi dan keterbelahan masyarakat dengan memaksakan kembali hanya ada dua capres di Pilpres 2024 demi kekuasaan semata. Partai Demokrat berharap parpol-parpol lain yang benar-benar pro demokrasi dan pro rakyat, sama-sama berusaha memperjuangkan penghapusan ambang batas presiden ini," katanya.

Kedua, partai Demokrat belum melihat urgensi dari peningkatan ambang batas parlemen. Peningkatan ambang batas parlemen, hanya akan membuat semakin banyak suara rakyat yang terbuang sia-sia. 

Merujuk pada Pileg 2014, kata dia, jika ambang batas parlemen dinaikkan ke lima persen saja, maka akan ada 19,8 juta suara yang terbuang sia-sia, meningkat dari 13,5 juta suara dengan ambang batas empat persen yang kemarin berlaku. 

"Sedangkan jika ambang batas parlemen menjadi tujuh persen, maka PAN yang memiliki 6,84 persen suara (9,5 juta suara) dan PPP yang memiliki 4,52 persen suara (6,3 juta), tidak akan lolos. Berarti, akan ada 29 juta suara sah yang bakal terbuang atau menjadi wasted vote. Ini setara seperlima suara sah di tahun 2019," jelasnya.

Herzaky menjelaskan, peningkatan ambang batas parlemen pun bisa memberangus keberagaman dan keterwakilan masyarakat di parlemen. Adanya tokoh-tokoh potensial, yang punya komitmen tegas dan jelas dalam memperbaiki kehidupan politik, memiliki ide-ide alternatif, tidak berhasil masuk parlemen karena parpolnya terjegal ambang batas parlemen yang terlalu tinggi. 

"Mesti diingat, masyarakat Indonesia ini sangat beragam. Unsur keberagaman dan keterwakilan ini seharusnya menjadi semangat utama dalam menentukan ambang batas parlemen," pungkasnya [*].

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda