DIALEKSIS.COM | Jakarta - Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menyatakan keprihatinan mendalam atas serangkaian kasus keracunan makanan yang menimpa ribuan siswa penerima manfaat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai wilayah Indonesia.
Organisasi ini menilai peristiwa tersebut bukan sekadar insiden operasional, melainkan bentuk kegagalan sistemik dalam perlindungan konsumen anak.
Sejak awal tahun 2025, FKBI mencatat lebih dari 4.000 siswa mengalami gejala keracunan makanan. Hasil uji laboratorium bahkan menunjukkan adanya kontaminasi bakteri E. coli pada sejumlah sampel makanan MBG.
“Tragedi ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan tata kelola program sosial yang seharusnya menjamin hak dasar anak, terutama dalam hal keamanan pangan,” ujar Tulus Abadi, Ketua FKBI, Senin (22/9/2025).
Dapur Tak Layak, Data Tak Transparan
FKBI mengungkap sejumlah temuan yang menunjukkan kegagalan sistemik dalam standar keamanan pangan. Salah satunya adalah kondisi Dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang dinilai tidak memenuhi standar kebersihan minimum.
“Banyak dapur yang menyiapkan makanan di lantai tanpa alat penangkal serangga. Selain itu, waktu distribusi ke sekolah terlalu panjang, sehingga meningkatkan risiko kontaminasi,” kata Tulus.
Lebih lanjut, FKBI menyebut tidak adanya data publik mengenai vendor penyedia makanan, audit dapur, maupun hasil uji laboratorium. Bahkan, lembaga ini menduga sekitar 5.000 dapur MBG yang tercatat secara administratif kemungkinan bersifat fiktif.
“Ini sangat mengkhawatirkan. Tanpa transparansi, publik tidak bisa mengawasi, dan negara gagal menjamin keselamatan anak-anak,” ujarnya.
Anak-anak Jadi Korban, Negara Harus Bertanggung Jawab
FKBI juga menyoroti pelanggaran hak konsumen anak, terutama terkait keamanan, informasi, dan kompensasi. Hingga saat ini, belum ada skema ganti rugi maupun dukungan psikososial bagi korban dan keluarganya.
“Anak-anak sebagai konsumen rentan tidak mendapatkan perlindungan apa pun. Pemerintah belum menunjukkan langkah pemulihan yang nyata,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi telah menyampaikan permintaan maaf atas nama pemerintah dan Badan Gizi Nasional (BGN) pada Jumat (19/9/2025). Namun FKBI menilai permintaan maaf tersebut belum cukup.
“Permintaan maaf penting, tetapi itu bukan akhir dari tanggung jawab negara. Harus ada langkah konkret dan sistemik agar kejadian ini tidak terulang,” ujarnya.
Tuntutan FKBI kepada Pemerintah
FKBI mendesak pemerintah dan BGN untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program MBG. Setidaknya ada lima tuntutan utama yang disampaikan:
1. Audit Publik dan Transparansi Vendor MBG
FKBI meminta audit independen terhadap seluruh penyedia makanan MBG dan publikasi hasilnya secara terbuka.
2. Skema Ganti Rugi dan Pemulihan Korban
Pemerintah diminta menyediakan kompensasi medis, psikologis, dan hukum bagi siswa terdampak dan keluarganya.
3. Reformasi Tata Kelola Program
Libatkan komunitas sekolah, organisasi orang tua, dan lembaga perlindungan anak dalam pengawasan program secara partisipatif.
4. Sistem Pelaporan Berbasis Komunitas dan Early Warning System
Perlu diterapkan sistem pelaporan insiden yang inklusif serta mekanisme deteksi dini terhadap risiko pangan.
5. Evaluasi Model Distribusi dan SOP Terbuka
FKBI menyarankan opsi desentralisasi penyediaan makanan, seperti pemanfaatan kantin sekolah atau pemberian dana langsung kepada orang tua.
FKBI juga menyuarakan urgensi moratorium atau penghentian sementara pelaksanaan program MBG hingga ada jaminan keselamatan dan akuntabilitas yang lebih kuat.
“Ini menyangkut nyawa dan masa depan anak-anak. Negara tidak boleh abai,” tutup Tulus Abadi, Ketua FKBI. [*]