Beranda / Berita / Nasional / UU Tipikor soal Hakim-Jaksa-Polisi Tak Kebal OTT, Ini Penjelasannya

UU Tipikor soal Hakim-Jaksa-Polisi Tak Kebal OTT, Ini Penjelasannya

Sabtu, 20 November 2021 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Ilustrasi. [Foto: Ist]

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Seorang jaksa, polisi, maupun hakim bisa dilakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh aparat penegak hukum. Hal itu sebagaimana diatur dalam KUHAP maupun Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Aturan yang berlaku sampai saat ini menepis pernyataan anggota Komisi III DPR Fraksi PDI-Perjuangan, Arteria Dahlan yang menyebut tidak seharusnya jaksa, polisi, dan hakim masuk ke dalam objek OTT kasus dugaan korupsi.

OTT yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, termasuk KPK, adalah tindakan yang legal.

Pasal 1 angka 19 KUHAP mengatur bahwa:

"Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu."

Sedangkan dalam UU Tipikor, diatur pidana terhadap pegawai negeri dan penyelenggara negara yang terbukti menerima hadiah atau janji (suap). Polisi dan jaksa adalah penyelenggara negara.

Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar:

  1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
  2. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Sementara untuk jabatan Hakim, ketentuan pidana diatur dalam Pasal 12 huruf c UU Tipikor yang berbunyi: 

"Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili." 

Sebelumnya, Arteria mengatakan bahwa polisi, jaksa, dan hakim yang bertugas di Indonesia tidak seharusnya menjadi objek OTT kasus dugaan korupsi.

Anggota Indonesia Memanggil (IM57+) Institute yang juga mantan pegawai KPK, Rasamala Aritonang, berpendapat Arteria harus memperbaiki logika berpikir. Sebab, menurut dia, sebagai wakil rakyat Arteria seharusnya lebih banyak memotivasi penegakan hukum supaya konsisten dan memperbaiki kepercayaan publik terhadap penegak hukum yang kian menurun.

Diketahui, OTT menjadi senjata KPK dalam beberapa tahun terakhir. Melalui metode tersebut, KPK berhasil menangkap tangan hakim dan jaksa selaku penegak hukum serta bisa membongkar kasus dugaan korupsi.

Salah satu peristiwa yang sempat membuat heboh publik adalah penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, pada Oktober 2013. (CNN Ind)

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda