Kamis, 07 Agustus 2025
Beranda / Berita / Nasional / Webinar SEPAHAM Ungkap Bahaya Penulisan Sejarah Versi Negara

Webinar SEPAHAM Ungkap Bahaya Penulisan Sejarah Versi Negara

Rabu, 06 Agustus 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia menggelar webinar bertajuk "Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Kebutuhan Akademik atau Agenda Politik?", pada Senin, 4 Agustus 2025. [Foto: Tangkapan layar media dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia menggelar webinar bertajuk "Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Kebutuhan Akademik atau Agenda Politik?", pada Senin, 4 Agustus 2025.

Kegiatan ini menghadirkan sejumlah tokoh penting di bidang hak asasi manusia, sejarah, dan pendidikan kritis.

Ketua SEPAHAM, Muktiono, menyampaikan bahwa webinar ini digelar sebagai bentuk kegelisahan bersama atas upaya sistematis penulisan ulang sejarah Indonesia yang belakangan gencar didorong pemerintah.

Menurutnya, ada tanda-tanda kuat bahwa proyek ini bukan semata demi kepentingan akademik, melainkan disusupi agenda politik untuk menutup luka lama dan mengaburkan kebenaran atas pelanggaran HAM masa lalu.

"Kami khawatir proyek sejarah resmi yang saat ini tengah berjalan justru menjadi instrumen represi baru. Bukan hanya terhadap korban pelanggaran HAM, tapi juga terhadap kebebasan berpikir di ruang akademik dan masyarakat sipil," ujar Muktiono dalam Zoom Meeting yang dihadiri media dialeksis.com.

Dalam sesi utama, Indria Fernida Alphasonny, Regional Program Manager di Asia Justice and Rights (AJAR), menekankan bahwa sejarah adalah ruang pertarungan narasi, tempat berbagai kepentingan berusaha merebut dominasi memori kolektif bangsa.

“Sejarah resmi kita lahir dari rezim otoriter. Banyak cerita korban tidak pernah ditulis, bahkan sengaja dihilangkan. Penulisan ulang sejarah 2025 ini, kalau tidak disikapi secara kritis, bisa menjadi instrumen politisasi dan penguatan narasi negara yang menyembunyikan kejahatan masa lalu,” ujarnya tegas.

Indria menegaskan pentingnya mengedepankan empat hak korban dalam proses penulisan sejarah yang adil dan bermartabat yaitu hak atas kebenaran, untuk mengetahui apa yang benar-benar terjadi. Hak atas keadilan, agar pelaku kejahatan bertanggung jawab di hadapan hukum dan Hak atas pemulihan berupa reparasi simbolik maupun material. Jaminan ketidakberulangan agar reformasi institusional agar tragedi tak terulang.

“Sejarah bukan hanya soal dokumen masa lalu. Ia adalah ruang keadilan untuk hari ini dan masa depan. Tanpa keadilan, sejarah menjadi alat kekuasaan. Bukan alat penyembuhan,” tambahnya.

Pembicara berikutnya, Manunaaal K. Wardaya, pengajar dan peneliti dari SEPAHAM, menyampaikan temuan-temuan penting seputar sejarah kelam Indonesia yang masih berada di luar narasi resmi: dari pembunuhan massal 1965“1966, penahanan di Pulau Buru, pencabutan kewarganegaraan, hingga praktik penyiksaan yang diabaikan negara.

“Peristiwa 1965-66 sudah dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Komnas HAM. Tapi sampai hari ini belum ada satu pun proses peradilan. Negara malah memilih diam, bahkan hendak membungkam,” kata Wardaya.

Ia mengkritisi proyek penulisan sejarah resmi yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk target penyelesaian pada Agustus 2025.

Istilah sejarah resmi, katanya, mengandung bahaya besar: menutup pintu terhadap narasi alternatif, mengabaikan pengalaman korban, dan mempersempit ruang berpikir kritis di kampus maupun sekolah.

Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Sari Wijaya, aktivis pendidikan dari YAPPIKA. Menurutnya, kebebasan akademik kini terancam oleh kontrol kurikulum dan intervensi negara yang membungkam suara berbeda. Mahasiswa dan dosen menjadi takut bersuara, sementara universitas kehilangan fungsinya sebagai ruang intelektual yang bebas.

"Kita tidak sedang hidup di masa demokratis yang penuh ruang berpikir. Kita hidup di masa penuh represi halus yang menyamar lewat proyek-proyek akademik," ucap Sari.

Ia menegaskan dalam konteks negara pasca-konflik dan pasca-otoritarian seperti Indonesia, penulisan sejarah yang adil harus membuka ruang bagi pengakuan, pemulihan, dan rekonsiliasi. Proses ini hanya mungkin terjadi jika negara bersedia mendengar suara korban, bukan malah membungkamnya.

"Menulis sejarah bukan soal siapa yang menang. Tapi soal siapa yang masih berani berkata jujur, demi masa depan yang lebih bermartabat,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI