Jum`at, 22 Agustus 2025
Beranda / Opini / 8 Dekade: Simbol Bendera One Piece dan Mediasi Makna Identitas

8 Dekade: Simbol Bendera One Piece dan Mediasi Makna Identitas

Jum`at, 22 Agustus 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Firdaus Mirza

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Delapan dekade sejak proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia telah menempuh perjalanan panjang dari negara pascakolonial menuju republik demokratis dengan segala dinamikanya. Namun, perayaan kemerdekaan tahun ini memperlihatkan sesuatu yang unik di tengah gegap-gempita merah putih, berkibar pula bendera hitam bergambar tengkorak dari serial One Piece di berbagai sudut kota, kampus, hingga media sosial. 

Fenomena ini bukan sekadar anak muda sedang ikut tren. Ia adalah cermin dari bagaimana simbol-simbol populer global menyeberang batas negara, mengisi ruang publik, dan merasuk ke dalam perayaan nasional. Dalam perspektif sosiologi media, kita melihat proses yang disebut mediatization of culture ketika media, terutama media digital, menjadi arena utama pembentukan makna sosial, bahkan terhadap momen yang seharusnya sarat muatan historis seperti kemerdekaan.

Bendera nasional adalah simbol otoritatif yang menyatukan, mengingatkan sejarah, dan menandai kedaulatan. Sementara bendera One Piece adalah simbol fiksi sebagai lambang kru bajak laut Straw Hat yang melambangkan petualangan, kebebasan, dan perlawanan terhadap otoritas yang korup. Ketika keduanya berkibar berdampingan, kita sedang menyaksikan benturan sekaligus negosiasi makna.

Pesan kritis dari bendera One Piece diperlakukan sebagai simbol perlawanan terhadap otoritas. Dalam dunia fiksi, kru bajak laut Straw Hat menentang World Government yang digambarkan penuh korupsi, penindasan, dan manipulasi. Resonansi ini tidak berhenti di ranah hiburan bagi sebagian anak muda Indonesia, pengibaran Jolly Roger di tengah upacara merah putih adalah bentuk satire atau bahkan kritik simbolik terhadap negara yang dianggap belum sepenuhnya adil, korupsi yang merajalela, atau birokrasi yang lamban. Dengan kata lain, bendera ini menjadi kanal ekspresi ketidakpuasan terhadap negara tanpa harus mengangkat senjata, tetapi cukup melalui simbol budaya populer yang sarat makna resistensi.

Di era media sosial, makna simbol tidak lagi dikontrol sepenuhnya oleh negara atau institusi formal. Pengguna TikTok, Instagram, dan X dapat dengan bebas mengombinasikan merah putih dengan lambang Jolly Roger, menciptakan narasi alternatif kemerdekaan yang lebih personal, imajinatif, dan terkadang satir. Ini menggeser otoritas penafsiran dari negara ke ruang partisipatif yang dikelola algoritma dan tren.

Narasi kemerdekaan Indonesia dibangun di atas kisah perjuangan kolektif, pengorbanan, dan persatuan. Sementara narasi One Piece berputar pada pencarian harta karun legendaris, persahabatan, dan perlawanan terhadap kekuasaan global fiktif (World Government). Kedua narasi sama-sama berbicara tentang kebebasan, tetapi dari perspektif yang berbeda, satu berakar pada sejarah nyata, yang lain lahir dari dunia hiburan global.

Bagi generasi muda, terutama mereka yang tumbuh di era digital, One Piece bisa jadi terasa lebih relevan secara emosional daripada kisah proklamasi yang diajarkan di buku sejarah. Bukan karena mereka mengabaikan sejarah, tetapi karena One Piece menawarkan narasi yang mereka konsumsi setiap minggu, dibicarakan di forum daring, dan dihidupkan kembali lewat meme serta cosplay. Di sini, media menjadi jembatan yang mengalihkan fokus dari teks sejarah formal ke narasi hiburan yang sarat makna emosional.

Ruang Publik yang Hybrid

Kehadiran bendera One Piece di perayaan kemerdekaan menunjukkan bahwa ruang publik Indonesia kini bersifat hybrid yang memadukan simbol nasional, budaya populer global, dan ekspresi digital dalam satu panggung. Ini sejalan dengan konsep glocalization dalam sosiologi media yaitu budaya global tidak menghapus identitas lokal, tetapi bercampur dengannya, menghasilkan bentuk-bentuk ekspresi baru.

Namun, ini juga menimbulkan pertanyaan apakah campuran ini memperkaya atau justru mengaburkan makna kemerdekaan? Apakah generasi muda melihat kemerdekaan sebagai petualangan yang terbuka seperti di One Piece, ataukah sebagai warisan sejarah yang memerlukan penjagaan serius? Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena di balik semua estetika pop culture, ada potensi banalitas simbol ketika bendera menjadi sekadar properti foto, bukan penanda nilai.

Media tidak hanya sebagai saluran informasi, tetapi juga produsen realitas sosial. Ketika media digital memediasi ulang perayaan kemerdekaan dengan ikon-ikon anime, mereka ikut membentuk cara generasi muda memahami kebebasan, nasionalisme, dan identitas. Merdeka, bagi sebagian anak muda, mungkin berarti bebas berekspresi tanpa batas, bahkan jika itu berarti mengganti lambang negara dengan simbol bajak laut fiksi selama itu menyenangkan dan bisa viral.

Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah momen refleksi, bukan hanya selebrasi. Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa simbol-simbol nasional kini bersaing dengan simbol-simbol global dalam merebut imajinasi publik. Di sini peran media menjadi strategis, bukan sekadar menyiarkan upacara bendera, tetapi juga memediasi ulang pesan kemerdekaan dalam bahasa, estetika, dan narasi yang relevan bagi generasi digital.

Penulis: Dosen Sosiologi FISIP Universitas Syiah Kuala, Firdaus Mirza

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
sekwan - polda
bpka