Beranda / Opini / Akal, Perilaku, Tindakan dan Corona

Akal, Perilaku, Tindakan dan Corona

Minggu, 22 Maret 2020 15:02 WIB

Font: Ukuran: - +


[Foto: IST/Dialeksis.com]

Oleh: Rustam Effendi

Kita sudah dianugerahi segalanya oleh Allah Swt. Allah Maha Pencipta, Maha Perkasa. Manusia punya mata untuk melihat apa yang terjadi di seputar kita, membaca berita yang berjarak dengan kita.

Ada Telinga untuk mendengar sesuatu yang baik maupun yang buruk. Dianugerahi Otak sebagai pengatur sebagian besar gerakan dan perilaku serta fungsi tubuh kita. Diberi Akal untuk bisa membedakan mana yang salah, mana yang benar, mana yang baik, dan mana yang buruk.

Dibekali Pikiran untuk meneruskan kerja Otak dalam menerjemahkan segala informasi, berpikir, merenungi, atau mencari tahu yang tersembunyi dan yang terpapar, memahami serta memecahkan masalah dan membuat keputusan dalam hidup ini.

Dan, ada pula hati yang bertindak sebagai penetral racun yang masuk ke dalam tubuh, pengatur komposisi darah, juga sebagai penimbang rasa dan meluapkan perasaan kita.

Tinggal saja bagaimana semua organ itu kita gunakan pada tempatnya sebaik mungkin dan sesuai kebutuhan. Tentu, semuanya tergantung pada kita sendiri.

Dalam situasi yang kurang bersahabat di tengah merebaknya ancaman wabah Virus Corona (COVID-19) saat ini, sebaiknya organ-organ di atas tadi kita fungsikan dengan optimal dan sebaik mungkin, khususnya dalam membentuk sikap, perilaku, dan tindakan dalam keseharian kita.

Alangkah indahnya jika anugerah Allah seperti mata, telinga, otak, akal, pikiran, dan hati yang dimiliki itu kita gunakan dengan tepat, sehingga mampu menuntun sikap, perilaku, dan tindakan kita ke arah yang bukan hanya dapat menyelamatkan kita sendiri dan keluarga, tapi juga (mungkin) menyelamatkan jiwa atau nyawa orang lain.

Agar itu dapat terwujud, maka kuncinya hanya satu. Mari kita hubungkan mata, telinga, otak, akal, pikiran, dan hati itu dengan sikap, perilaku, dan tindakan yang akan kita lakukan. Jangan sesekali kita abai soal hubungan ini.

Jika masih juga kita tidak mau menghubungkannya, alias masih "tungang" (bandel dalam bahasa Aceh), ya sudahlah. Habis sudah cerita itu. "Ka abeeh cara". Tak tahu apa lagi yang mau diceritakan.

Sebagai insan yang dhaif, hanya kepada Allah Swt jua kita berserah diri. Semoga kita masih disayangi dan dilindungi oleh-Nya dari segala mara bahaya. Al Faatihah. Aamiin Yaa Rabb. Salam Prihatin.

Rustam Effendi, Pengamat Ekonomi dan Akademisi FEB Unsyiah

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda