Minggu, 13 Juli 2025
Beranda / Opini / Ali Basrah Maju, Golkar Aceh di Persimpangan Jalan

Ali Basrah Maju, Golkar Aceh di Persimpangan Jalan

Kamis, 10 Juli 2025 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Firdaus Mirza Nusuary

Firdaus Mirza Nusuary, Pengamat Politik dan Pemerintahan sekaligus Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala. Foto: doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Opini - Hingga kini, jadwal pelaksanaan Musyawarah Daerah (Musda) XII Partai Golkar Aceh belum juga ditetapkan. Namun, dinamika internal partai terus bergerak cepat. Setelah wacana penggunaan diskresi untuk mengangkat Bustami Hamzah mengalami jalan buntu akibat resistensi dari kader daerah, kini muncul sosok baru yang diperbincangkan H. Ali Basrah, S.Pd., M.M., kader senior Partai Golkar asal Aceh Tenggara.

Ali Basrah bukanlah figur asing dalam kancah politik Aceh. Ia memiliki rekam jejak panjang, baik di kelembagaan partai maupun pemerintahan. Namun, sebagaimana setiap figur politik, kemunculannya menyimpan peluang sekaligus tantangan yang tidak dapat diabaikan.

Jika Ali Basrah terpilih sebagai Ketua DPD I Golkar Aceh, ada sejumlah keuntungan yang bisa diharapkan. Pertama, ia memiliki kekuatan struktural di legislatif. Saat ini, Ali menjabat sebagai Wakil Ketua II DPR Aceh periode 2024 - 2029. Posisi ini memberinya daya dorong politik yang kuat dalam pengambilan kebijakan serta potensi untuk memperluas pengaruh Golkar di parlemen daerah.

Kedua, Ali memiliki pengalaman organisasi yang solid di tubuh partai. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris DPD I Golkar Aceh periode 2020 - 2025 dan Ketua Dewan Penasehat DPD II Aceh Tenggara. Pengalaman ini membekalinya dengan pemahaman mendalam mengenai kultur dan dinamika internal organisasi partai.

Ketiga, rekam jejaknya di eksekutif dan birokrasi turut memperkuat posisinya. Ali pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Aceh Tenggara (2012 - 2017) dan sebelumnya sebagai Kepala Dinas Pendidikan setempat. Bersama Bupati Hasanuddin Beruh, keduanya dikenal berhasil membangun ikon daerah berupa Masjid Agung dengan nilai proyek mendekati Rp100 miliar.

Keempat, Ali juga memiliki latar belakang kuat dalam organisasi sosial kemasyarakatan. Sejak muda, ia aktif di berbagai organisasi seperti KNPI, PGRI, dan Pemuda Pancasila, yang memperluas basis sosialnya meskipun masih dominan di tingkat lokal.

Namun, keuntungan tersebut bukan tanpa tantangan. Salah satu isu utama adalah latar belakang etnis. Ali Basrah berasal dari suku minoritas di Aceh, bermarga Pasaribu. Dalam konteks politik Aceh yang masih sensitif terhadap identitas kultural, hal ini bisa menjadi titik lemah dalam membangun konsolidasi emosional dengan kader akar rumput.

Selain itu, basis dukungan Ali dinilai masih terlalu lokal. Meski kuat di Aceh Tenggara, ia belum menunjukkan jejaring politik yang kokoh di seluruh wilayah Aceh. Dominasi elektoralnya masih bersifat kedaerahan, belum menyentuh skala provinsi secara menyeluruh. Penerimaan di DPD II Golkar kabupaten/kota juga belum menunjukan arah dukungan ke dirinya, selain itu nilai bargaining position secara pengakuan eksistensi dengan elit politik lokal di Aceh belum kuat. 

Artinya, DPP Partai Golkar perlu mempertimbangkan secara matang keuntungan dan tantangan jika mendukung Ali Basrah, dengan kajian yang komprehensif dan berbasis data valid. Jangan sampai keputusan memberikan restu justru merugikan eksistensi dan masa depan Partai Golkar Aceh dalam kepemimpinan periode mendatang.

Kemampuan menjalin relasi lintas partai juga menjadi sorotan. Di level nasional, nama Ali Basrah belum cukup dikenal. Kapasitasnya dalam melakukan lobi ke elit pusat pun dipertanyakan, terlebih karena sebagian manuver politiknya disebut-sebut melibatkan aktor dari partai lokal.

Yang lebih mengkhawatirkan, muncul dugaan bahwa dorongan terhadap pencalonan Ali Basrah tidak sepenuhnya berasal dari internal Golkar. Ada aroma kuat cawe - cawe dari politisi partai lokal yang diduga sedang mengamankan agenda Pilkada 2029 dan menghindari potensi Pergantian Antar Waktu (PAW) di DPR Aceh.

Jika benar demikian, ini merupakan bentuk intervensi politik yang melampaui batas etika. Golkar sebagai partai besar nasional seharusnya berdiri di atas kepentingan konstituen dan kadernya, bukan menjadi alat dari kekuatan eksternal yang berorientasi pada kepentingan jangka pendek.

Musda yang dikendalikan oleh kekuatan di luar partai tidak hanya mencederai prinsip kemandirian politik, tetapi juga meruntuhkan martabat Golkar sebagai partai modern yang seharusnya menjadi lokomotif demokrasi, bukan boneka kekuasaan.

Cawe - cawe politik dari luar adalah ancaman nyata bagi demokrasi internal partai. Ini bukan sekadar soal siapa yang akan menang dalam Musda, tetapi menyangkut masa depan soliditas dan otonomi Golkar Aceh. Partai ini tidak boleh menjadi korban manuver elit eksternal yang berambisi mengatur panggung dari balik layar.

Jika intervensi semacam ini dibiarkan, Musda hanya akan menjadi pertunjukan boneka. Keputusan partai tidak lagi lahir dari musyawarah kader, melainkan dari rekayasa politik segelintir elite yang duduk nyaman di luar struktur resmi Golkar.

Ketidakmampuan Golkar Aceh menata Musda secara independen dan demokratis akan berdampak serius terhadap peta politik menjelang Pilkada 2029. Konflik internal yang tidak selesai akan menggerus kepercayaan publik terhadap partai ini sebagai institusi politik yang kredibel.

Kondisi ini berpotensi menurunkan elektabilitas Golkar di Aceh. Masyarakat pemilih, khususnya generasi muda yang kritis terhadap transparansi dan integritas partai politik, akan memandang Golkar sebagai partai yang lemah, mudah diintervensi, dan kehilangan arah perjuangan. Jika kekisruhan internal terus berlarut hingga memasuki tahapan Pilkada, maka Golkar berisiko kehilangan kursi strategis di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.

Lebih jauh, citra partai di tingkat nasional pun dapat terdampak. Musda yang kacau dan penuh intervensi akan menjadi preseden buruk dalam proses regenerasi politik. Partai yang gagal menunjukkan konsolidasi sehat di daerah akan sulit tampil sebagai kekuatan nasional yang utuh dan berpengaruh.

Musda harus dikembalikan ke marwahnya sebagai forum musyawarah kader, bukan arena titipan kepentingan. Siapa pun yang mencalonkan diri, termasuk Ali Basrah, harus melalui proses yang adil, demokratis, dan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.

Golkar Aceh tidak boleh kehilangan independensinya hanya karena nafsu kekuasaan segelintir aktor politik. Kemandirian, integritas, dan kepatuhan terhadap aturan organisasi harus dijaga agar partai tetap menjadi rumah besar bagi kader-kader terbaiknya.

Hingga kini, teka-teki mengenai waktu pelaksanaan Musda masih menggantung. Apakah DPP Partai Golkar sedang menunggu momentum yang tepat, atau sedang berhitung terhadap dampak politik yang lebih besar? Hanya mereka yang tahu jawabannya.

Yang pasti, Golkar Aceh saat ini berada di persimpangan penting. Masa depan partai ini akan sangat ditentukan oleh cara ia menata dirinya dalam Musda mendatang: apakah memilih jalan demokratis yang membangun atau justru terjebak dalam permainan kekuasaan yang merusak.

Penulis: Firdaus Mirza Nusuary, Pengamat Politik dan Pemerintahan sekaligus Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala. 

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI