Senin, 15 September 2025
Beranda / Opini / Bank Aceh Syariah: Antara Profit Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial

Bank Aceh Syariah: Antara Profit Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial

Minggu, 14 September 2025 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Masri Amin

Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strateges (LKKS) - Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh, Masri Amin, SE, M.Si


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Bank Aceh Syariah (BAS) dikritik karena menempatkan dana triliunan di luar Aceh. Namun kinerja keuangan terbaru menunjukkan tren positif. Bagaimana menimbang regulasi, bisnis, dan tanggung jawab sosial Bank Aceh?

BAS kembali menuai kritik setelah disebut di sebuah media online dan diikuti di media sosial -- menempatkan triliunan rupiah dana masyarakat di luar Aceh. Kritik ini wajar mengemuka, sebab BAS bukan sekadar lembaga finansial, melainkan simbol ekonomi daerah yang dimiliki Pemerintah Aceh serta Kabupaten/Kota se-Aceh. Dana yang dihimpun dari masyarakat Aceh tentu diharapkan kembali memberi manfaat langsung bagi pembangunan daerah.

Namun, jika dilihat secara utuh, potret BAS jauh lebih kompleks. Dari sisi regulasi, bank ini beroperasi sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Status syariahnya dipertegas lewat Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dengan dasar hukum itu, penempatan dana di luar daerah tidak menyalahi aturan. Secara prinsip manajemen risiko, langkah ini juga lumrah untuk menjaga likuiditas dan keamanan dana.

Namun, teori intermediasi keuangan mengingatkan bahwa fungsi utama bank adalah menyalurkan kembali dana masyarakat ke sektor produktif. Jika dana terlalu banyak diparkir di luar Aceh, efek ganda ekonomi - seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan konsumsi, dan tumbuhnya usaha kecil-tidak optimal. Dari perspektif ekonomi pembangunan, inilah titik kritik yang relevan: BAS tidak boleh hanya sehat di atas kertas, tapi harus menjadi motor penggerak ekonomi Aceh.

Data terbaru memperlihatkan kinerja BAS justru sedang membaik. Laporan Tahunan 2024 mencatat total aset Rp 31,9 triliun, tumbuh 4,82% dari tahun sebelumnya. Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai Rp 26,2 triliun naik 7,15%, dan pembiayaan naik signifikan dari Rp 18,7 triliun (2023) menjadi Rp 20,4 triliun (2024), atau tumbuh 9,19%. Laba bersih mencapai Rp 590 miliar, sementara dividen yang disetor kepada pemegang saham daerah sekitar Rp 300 miliar. Rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 21,89% jauh di atas batas OJK, dan rasio pembiayaan bermasalah (NPF) hanya 1,39%, menandakan kualitas pembiayaan cukup sehat.

Jika dibandingkan dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) lain, performa BAS tergolong kompetitif. Tantangan terbesar memang bukan hanya menjaga profitabilitas, tetapi menyalurkan dana ke sektor produktif Aceh yang sering dianggap berisiko tinggi. Karena itulah sebagian dana ditempatkan di luar daerah untuk menjaga stabilitas. Langkah ini sah secara hukum, tapi dari sisi sosial-ekonomi, masyarakat tentu berharap dana itu kembali memberi manfaat nyata.

Di sinilah manajemen baru BAS dituntut membuktikan kapasitasnya. Kritik publik seharusnya dilihat sebagai dorongan, bukan hambatan. Beberapa langkah yang telah ditempuh - kembali dimaksimalkan pembiayaan ke UMKM, pertanian, perikanan, dan industri kreatif lokal. BAS juga terus bekerja sama dengan Pemerintah Daerah untuk skema penjaminan risiko agar usaha kecil lebih bankable.

Dari perspektif teori multiplier effect, setiap rupiah yang disalurkan ke sektor riil akan berputar di masyarakat, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, dan memperluas basis pajak daerah. Jika Bank Aceh Syariah mampu menyalurkan lebih banyak pembiayaan lokal dengan risiko terkendali, dampaknya akan jauh lebih terasa dibanding sekadar angka dividen di laporan tahunan.

Karena itu, kritik terhadap BAS jangan dilihat sebagai serangan buta, melainkan sebagai alarm moral agar bank ini tidak kehilangan orientasi ke-daerahan-nya. Dengan modal aset yang besar, kesehatan keuangan yang terjaga, dan dukungan penuh masyarakat, BAS punya peluang menjadi lebih dari sekadar bank aman. Ia bisa menjadi katalisator pembangunan Aceh yang berkelanjutan.

BAS kini berada di persimpangan, apakah tetap fokus pada profit bisnis semata, atau bergerak lebih jauh menjalankan tanggung jawab sosial kepada rakyat Aceh. Direktur Utama atau Manajemen baru memegang kunci untuk menjawab dilema ini. Harapannya, ke depan - BAS bukan hanya tampil sehat secara finansial, tetapi juga benar-benar hadir sebagai motor penggerak ekonomi Aceh, sesuai dengan amanah UUPA, Qanun LKS, dan kepercayaan masyarakat yang telah menitipkan dana mereka di BAS.

Penulis: Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strateges (LKKS) - Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh, Masri Amin, SE, M.Si

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
bpka - maulid
bpka