DIALEKSIS.COM | Opini - Perundungan (bullying) adalah ancaman serius yang dapat menghancurkan rasa aman dan integritas psikologis peserta didik. Tekanan yang tampak ringan bagi sebagian orang sering kali menumpuk menjadi luka emosional yang mendalam.
Di era digital, perundungan hadir dalam berbagai bentuk -- intimidasi daring, tekanan kelompok, dan manipulasi sosial yang halus -- namun dampaknya nyata: menyisakan luka yang terpendam yang memengaruhi karakter, motivasi belajar, serta interaksi sosial anak. Setiap ejekan atau perilaku dominan yang tidak ditangani dengan serius dapat menjadi bagian dari luka yang terus membesar di hati peserta didik.
Selama berkecimpung di dunia pendidikan, saya menyaksikan sendiri bahwa tekanan sosial dan perilaku perundungan dapat muncul di mana saja, termasuk di lembaga yang terstruktur dan diawasi dengan baik. Dalam hal ini, dibutuhkan kesabaran yang tinggi. Ada kalanya baru kemarin diadakan sosialisasi anti-perundungan, besoknya kasus serupa muncul lagi. Padahal di dinding sekolah terpampang kampanye besar bertuliskan “Stop Bullying.” Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan perilaku membutuhkan proses panjang, komitmen bersama, dan konsistensi seluruh pihak.
Tekanan yang dialami siswa atau santri, bila tidak tersalurkan, dapat memicu reaksi serius bahkan sampai hal tidak masuk akal seperti pembakaran dan hal lain penun dendam yang mengerikan. Maka, pencegahan dan penanganan perundungan harus dilakukan secara berkelanjutan dan sistemik agar luka yang terpendam tidak berkembang menjadi tragedi. Sering kali, perhatian kecil dan komunikasi terbuka dapat mencegah situasi menjadi lebih parah.
Luka yang ditimbulkan perundungan sering bersifat internal dan sulit dikenali. Banyak korban menutup diri, menahan rasa malu atau takut, dan mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan. Dari perspektif psikologi pendidikan, pengalaman ini menurunkan motivasi belajar, menimbulkan kecemasan berlebihan, dan berpotensi memicu depresi atau gangguan psikososial jangka panjang. Dampaknya tidak hanya pada individu, tetapi juga pada hubungan sosial di sekolah atau lembaga pendidikan, membayangi iklim akademik yang seharusnya kondusif.
Data berbagai penelitian internasional, seperti laporan UNESCO (2020), menunjukkan bahwa siswa yang menjadi korban perundungan mengalami penurunan prestasi akademik yang signifikan -- bahkan hingga sekitar dua puluh persen dibanding rekan yang bebas dari tekanan sosial. Lebih jauh, hierarki kuasa yang timpang sering muncul, di mana kelompok senior atau mayoritas menekan junior atau minoritas, menciptakan ruang yang tidak aman dan membatasi potensi peserta didik. Era digital memperparah situasi karena cyberbullying menjalar ke ruang privat, dan guru maupun pembina sulit mengawasi. Luka yang tertimbun akibat perundungan ini menjadi semakin sulit dikenali dan diatasi.
Masalah ini tidak hanya menyangkut korban individu, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistem pendidikan dalam menangani perundungan secara komprehensif. Banyak lembaga belum menyediakan jalur pelaporan aman, belum memasukkan edukasi empati dan resolusi konflik dalam kurikulum secara sistematis, dan guru maupun pembina masih minim strategi praktis untuk mencegah atau menanggulangi perundungan. Akibatnya, luka yang muncul tidak sembuh, melainkan tersimpan dan terkubur, siap memicu masalah lebih serius di masa depan.
Menuju Pendidikan Tanpa Luka
Dalam praktik pendidikan, pendekatan inovatif dan sistemik menjadi sangat penting. Kurikulum perlu mengintegrasikan pembelajaran empati, kecerdasan emosional, dan resolusi konflik. Materi seperti ini tidak cukup diajarkan secara teori; praktik simulasi, role-play, dan mentoring berbasis kelompok kecil terbukti efektif dalam membangun kesadaran sosial dan empati peserta didik.
Program mentoring lintas jenjang dapat mengubah dinamika kekuasaan yang rawan perundungan. Senior tidak hanya berfungsi sebagai otoritas, tetapi juga sebagai pembimbing yang menanamkan rasa tanggung jawab dan solidaritas.
Pada suatu kesempatan, saya mengantar anak dan mengikuti pertemuan orang tua santri di salah satu pesantren di Jawa Tengah. Saya menanyakan langsung bagaimana mereka menangani isu perundungan dan senioritas. Pihak pesantren menjelaskan dengan tegas bahwa mereka tidak mentolerir perundungan. Para senior yang ditugaskan membimbing adik leting dipilih melalui catatan psikologi yang baik dan rekam perilaku positif. Bahkan mereka menunjukkan contoh konkret: salah satu santri asal Aceh yang saya kenal, berprestasi, dan dipilih sebagai salah satu mentor. Mereka dipilih bukan asal tunjuk. Model ini menunjukkan bahwa senioritas bisa diarahkan untuk fungsi edukatif, bukan dominasi.
Pendekatan semacam ini secara bertahap dapat mengikis hierarki dominasi yang menjadi akar perundungan. Membangun budaya terbuka dan saling percaya juga penting untuk menumbuhkan rasa aman bagi semua peserta didik.
Teknologi dapat dimanfaatkan sebagai alat solusi yang aman dan etis. Platform internal lembaga pendidikan yang memungkinkan pelaporan perundungan secara anonim memberi ruang bagi korban untuk bersuara tanpa takut akan hukuman atau stigma. Aplikasi konseling daring yang dikelola profesional dapat menyalurkan kasus lebih cepat sekaligus memberikan pendampingan awal.
Guru dan pembina perlu mendapatkan pelatihan intensif berbasis praktik empati dan resolusi konflik. Pelatihan ini tidak hanya teori, tetapi juga melibatkan simulasi komunikasi antarpeserta didik, mediasi konflik, dan pembiasaan perilaku sosial yang sehat. Penelitian psikologi pendidikan menunjukkan bahwa guru yang terlibat aktif dalam pencegahan perundungan mampu menurunkan insiden hingga empat puluh persen.
Pendidikan karakter juga dapat diperkuat melalui kegiatan kolaboratif kreatif seperti proyek sosial, seni, atau olahraga tim. Aktivitas ini tidak hanya melatih keterampilan sosial, tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan, solidaritas, dan empati, sehingga budaya perundungan sulit berkembang.
Mengabaikan perundungan sama dengan membiarkan luka menjadi bagian dari budaya pendidikan. Luka yang terpendam bukan hanya milik individu, tetapi juga menjadi cermin kegagalan sistemik dalam menumbuhkan rasa aman dan empati. Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang menyembuhkan, bukan melukai; ruang yang menumbuhkan karakter, bukan menindas.
Dengan pendekatan holistik, sistemik, dan berorientasi kemanusiaan, kita dapat menghadirkan pendidikan yang menumbuhkan manusia empatik dan tangguh. Luka yang dulu terpendam tidak harus menjadi warisan, melainkan menjadi titik balik menuju budaya belajar yang sehat, suportif, dan beradab.
Penulis: Djamaluddin Husita, S.Pd., M.Si (Kepala MA Ulumul Quran Kota Banda Aceh dan Ketua Kelompok Kerja Madrasah (K2M) Aliyah Kota Banda Aceh)