Beranda / Opini / Dana Desa, Generasi Millenial dan Intelektualitas Pembangunan

Dana Desa, Generasi Millenial dan Intelektualitas Pembangunan

Rabu, 03 Maret 2021 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +



Oleh Husaini Yusuf, S.P., M.Si

Aceh kembali menerima alokasi dana desa (ADD) sejumlah Rp 4.9 Triliun pada 2021 untuk 23 kabupaten/kota (Kemendes PDTT, 2021). Sejatinya, dana berlimpah tersebut dapat pula mendorong peningkatan gizi masyarakat pedesaan ke arah lebih baik melalui edukasi program diversifikasi pangan dan asupan gizi yang baik.

Pasalnya selama ini kita melihat pembangunan desa masih berkutat pada sarana fisik namun mengabaikan pembangunan sumber daya manusia. Padahal unsur penting dalam sebuah program pembangunan adalah keragaman dan ketersediaan sumberdaya manusia yang mumpuni (Notoatmodjo, 1998).

Sumberdaya manusia yang dimiliki Aceh saat ini belum menunjukkan sesuatu yang menggembirakan terutama dalam mengelola dana desa yang masih apoh apah (amburadul). Kondisi di atas tak lepas dari kemampuan sumberdaya yang tersedia di pedesaan. Ini memang patut dimungkiri, pasalnya beberapa daerah pedalaman dan terisolir di Aceh baru saja keluar dari konflik berkepanjangan dan musibah besar Tsunami.

Generasi Y

Generasi Y merupakan generasi yang muncul setelah Generasi X atau kerap disebut sebagai generasi Millenial. Ungkapan Generasi Y itu mulai digunakan pertama oleh koran besar di Amerika Serikat pada Agustus tahun 1993. Beberapa Negara sepakat bahwa generasi Y adalah generasi yang lahir pada 1980 hingga 2000. Mereka dianggap sebagai generasi istimewa karena memiliki beberapa kelebihan.

Amatan penulis, untuk beberapa tahun mendatang, estafet kepemimpinan Bangsa ini perlahan akan diserahkan kepada generasi Y. Pasalnya, mereka kini sudah berusia 40 tahun, usia emas bagi seorang generasi.

Generasi ini, menurut Kompas (2016) adalah generasi yang relatif lebih bahagia pertumbuhannya dibandingkan dengan generasi X atau baby boomers dan generasi greatest generations (GI). Mereka sarat dengan perkembangan digital dan teknologi serta akses informasi yang memadai dengan segala lini untuk menjangkau dunia.

Bagaimana dengan generasi Y Aceh? terutama mereka yang lahir pada awal 1980-an? Sayang, masa keemasan generasi Y kita tidak secemerlang generasi lainnya diluar sana. Pasalnya, generasi Y kita dalam rentang waktu tersebut sedang dilanda konflik besar, yakni sejak diberlakukan status daerah operasi militer (DOM) pada 1989 hingga – 1998 terutama di kawasan timur Aceh (Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara dan Aceh Timur).

Celakanya, pasca pencabutan DOM, konflik bersenjata yang kemudian nyaris terjadi seantero Aceh, tak terkecuali Aceh Besar dan Banda Aceh. Tak ayal, membuat masa pertumbuhan generasi Y kita kian tercoreng.

Soetjiningsih (1998) mengatakan, faktor sosial ekonomi, pendidikan, pekerjaan, teknologi, budaya dan pendapatan keluarga merupakan faktor yang menentukan pertumbuhan manusia. Karena faktor di atas berinteraksi satu dengan yang lainnya sehingga dapat mempengaruhi masukan unsur gizi pada anak yang pada akhirnya akan mengakibatkan pertumbuhan terganggu.

Beberapa faktor di atas nyata terjadi di Aceh tatkala konflik berkecamuk yang konon telah mempengaruhi pertumbuhan sumberdaya manusia kita. Tidak semua orang tua generasi Y kita saat itu dapat menyuplai asupan gizi yang sempurna untuk janin dan balitanya akibat minim akses dan pula karena masyarakat saat itu serba kesulitan.

Akibat konflik berkepanjangan, beberapa faktor di atas nyaris semua dialami generasi Y Aceh, sehingga masa keemasan generasi Y kita mengalami gangguan pertumbuhan.

Konflik yang menimpa Aceh selama tiga dekade itu ikut meruntuhkan segala sendi kehidupan masyarakat termasuk didalamnya akses masyarakat terhadap kesehatan dan makanan yang memiliki nilai gizi yang baik. Praktis hal ini sangat berkorelasi terhadap intelektualitas yang dialami generasi Aceh kini.

Sayang, akibat konflik, selain makanan dengan nilai gizi minim, banyak generasi Y terutama di daerah “garis hitam” mengalami putus sekolah dan bahkan sebagian dari mereka memilih bergabung bersama “pasukan perjuangan” sehingga tentu saja mereka jauh dari pendidikan akademik. Memang ada beberapa diantara generasi Y kita memilih migrasi ke luar daerah itupun untuk mengamankan diri dari “kawasan hitam”.

Soal Akses dan Ekonomi

Menurut penulis, generasi Y kita mengalami tiga fase kehidupan selama hidupnya. Pertama adalah fase masa dak. Dak dalam bahasa Aceh diketahui sebagai kondisi dimana masyarakat mengalami paceklik besar dan nyaris serba kekurangan. Kedua, fase masa deuk (kelaparan). Kondisi ini terjadi sejak masa Daerah Operasi Militer (DOM) hingga masa Darurat Militer (DM) dan Darurat Sipili (DS).

Saat itu kondisi ekonomi Aceh lumpuh, masyarakat tercengkram tidak bebas beraktifitas, mulai dari petani, pekebun, pedagang, pebisnis konon lagi bicara investasi.

Terakhir adalah fase masa doek. Masa doek di sini adalah ketika masyarakat Aceh “dihujani” berbagai sumberdaya finansial. Berbagai negara di belahan dunia ikut menyumbang dalam proses rekonstruksi pasca bencana tsunami dan juga dana otonomi khusus dari pemerintah pusat yang kian mengilau.

Masa doek ini juga dialami sebagian dari generasi Y kita konon lagi yang mengklaim diri sebagai “pasukan perjuangan”. Beberapa diantara mereka yang berada di bawah payung partai, memiliki akses ekonomi dan sumberdaya yang mudah dengan pemerintah. Mereka memiliki relasi kuat dengan penguasa baik eksekutif maupun legislatif. Hal ini terjadi pasca perdamaian dan tsunami Aceh.

Konteks yang berbeda terjadi saat ini. Masyarakat sudah bebas beraktivitas meskipun lapangan pekerjaan masih menjadi problema besar di Aceh. Namun setidaknya kehadiran dana desa dapat menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan gizi yang baik, akses modal yang mudah untuk beraktifitas sehingga kemampuan mereka untuk meningkatkan makanan yang bernilai gizi pun dapat ditingkatkan guna menekan stunting.

Minim Intelektualitas

Krishnamurthi (2016) mengatakan gizi memiliki pengaruh besar pada kecerdasan manusia. Kekurangan gizi pada anak-anak akan menyebabkan rendahnya tingkat kecerdasan dan berbagai indikator kualitas hidup lain yang tidak dapat diperbaiki tatkala masa remaja atau dewasa. Tentu kecerdasan seseorang akan menjadi harapan bagi regenerasi bangsa dalam melahirkan intelektualitas pembangunan.

Kini, generasi Y kita telah memasuki usia produktif dan dipastikan kepemimpinan Bangsa akan berada pada pundaknya. Pemerintah harus memberdayakan mereka terutama yang belum mendapatkan pendidikan secara sempurna guna mengisi pos-pos pembangunan. Pelaku pembangunan bukan saja mereka yang ada dalam sistem pemerintahan namun seluruh generasi dan masyarakat dalam pembangunan itu sendiri.

Tentu, untuk meningkatkan modal sosial masyarakat dalam pembangunan, maka suplemen gizi memadai harus disediakan terutama untuk mencegah stunting. Ruang untuk memuluskan program peningkatan gizi masyarakat pedesaan kini terbuka lebar dengan program Desa Peduli Kesehatan. Tinggal lagi koordinasi dengan pihak terkait seperti dinas kesehatan terkait mekanisme pelaksanaannya dan pengelola dana desa yang memiliki kewenangan akan penggunaannya.

Keinginan penggunaan dana desa untuk memenuhi program peningkatan gizi masyarakat pedesaan perlu mendapatkan sambutan dari pengelola dana desa itu sendiri seperti perangkat desa dan pendampingnya. Harapannya kerelaan mereka agar penggunaan dana tersebut dapat diarahkan sedikit ke proyek non fisik yang menjadi titik awal dalam pembangunan manusia, sehingga ke depan akan tersedia banyak SDM yang memadai dalam mengisi sektor pembangunan. Sumbangsih hari ini adalah untuk masa depan bersama.

Puncak pembangunan senantiasa dilatarbelakangi oleh sumberdaya yang handal. Impian untuk menghasilkan sumberdaya manusia mumpuni itu selalu diawali dari keluarga tentu didalamnya adalah dengan pemenuhan gizi seimbang dan pembentukan karakter di lingkungannya.

Oleh karena itu, tiga pilar yang telah ditetapkan Kemendes PDTT dalam pembangunan desa seperti Lingkar Budaya Desa (Karya Desa), Jaring Komunitas Wiradesa (Jamu Desa), dan Lumbung Ekonomi Desa (Bumi Desa) adalah dukungan nyata dalam meningkatkan kapasitas SDM desa untuk melaksanakan program pemenuhan gizi masyarakat. Artinya, pemanfaatan dana desa untuk meningkatkan gizi masyarakat tidak akan menjadi kekeliruan dalam pertanggungjawaban kepada Negara. Semoga!

Husaini Yusuf, S.P., M.Si Peneliti di BPTP Aceh, Alumnus IPB Bogor dan Pengurus Ikatan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Cabang Aceh. Tinggal di Gampong Jurong Peujeura, Ingin Jaya, Aceh Besar. Email: hussainiyussuf85@gmail.com


Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda