Beranda / Opini / Fiksi

Fiksi

Selasa, 07 Januari 2020 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)


Identitas: sebuah fiksi. Ia fiksi yang dibentuk dari luar. Orang makin lama makin lupa itu. Bahkan — dengan menerjemahkannya jadi "jati diri" orang menganggap identitas tumbuh secara kodrati dari "dalam" dan sebab itu pas untuk mendeskripsikan apa dan siapa "aku", "engkau" atau "mereka" atau "Minang", "Bugis", "Indonesia", "negro", "Cina"….  

Orang umumnya lupa bahwa sebutan-sebutan itu sebenarnya diwujudkan sebagai kombinasi antara "seakan-akan" dan "seyogyanya".

Dalam "Wedhatama", misalnya. Kitab, yang di abad ke-19 digubah dan dipergunakan untuk mengajari para ningrat muda di Surakarta, menyebut "sarehne sira jawi", ("karena kau pemuda Jawa…"). Jelas, yang tersirat di sana adalah sebuah statemen normatif: "jawa" artinya suatu karakteristik yang seyogyanya memenuhi suatu ukuran, dan pas dengan sebuah ide. Artinya, merupakan sesuatu yang ideal. 

Penggubah "Wedhatama" tak berbicara kepada anak muda sebagaimana yang tiap hari dilihatnya. Ia berbicara kepada anak-anak muda yang ia imajinasikan mengandung benih dari "apa-yang-seyogyanya".

Dan apakah yang disebut "Jawa"? Bukan sesuatu yang sudah ada sejak semula. Dalam "On the Subject of ‘Java’" penelaah antropologi John Pemberton dengan hati-hati tapi tepat menuliskan Jawa dalam tanda kutip. Sebab "Jawa" berubah-ubah. Kata ini juga sebuah ajektif yang didasarkan pada sebuah citra yang disusun dalam sebuah wacana yang dimulai di pusat. 

Wacana tentang apa itu "Jawa" berkembang (sampai hari ini) dari rumusan Mangkunegara VII di tahun 1932. Di masa itu pengaruh politik dan tatacara Belanda merasuk jauh ke dalam dunia Mangkunegaran; baginda, misalnya, berbicara dalam bahasa Belanda yang fasih.

 Dalam posisi terpinggirkan, di hadapan orang-orang asing yang terkesima kepada yang eksotis, "Jawa" hendak ditampilkannya (agar diakui) sebagai sebuah "peradaban yang sangat tinggi", {zeer hooge beschaving."

Maka tiap kali kita menyebut "orang Jawa", (atau juga "Indonesia", "Negro", "Cina", "Islam", "Hindu"), disertai "karakteristik"-nya —kita sebenarnya sedang menyadur idealisasi yang dibangun dan disebarkan dari sebuah "pusat".

 Kwame Anthony Apiah menulis sebuah buku yang membahas hal ini dengan terang, "As If: Idealization and Ideals." 

Appiah mengembangkan apa yang dibahas Hans Vaihinger, seorang filosof Jerman yang dilupakan, yang hidup antara 1852 dan 1933. Vaihinger dikenal karena karyanya, "Die Philosophy das Als Ob" (1911). 

Penerus Kant ini menunjukkan bahwa kita tak mungkin mengetahui realitas yang sesungguhnya mendasari dunia dan segala anasirnya. Maka kita membangun satu sistem pikiran dan berasumsi bahwa sistem itu seakan-akan ("als ob") cocok dengan model yang kita bangun. 

Appiah orang yang tepat berbicara tentang itu. Ia seorang filosof gay, Ayahnya seorang tokoh politik Ghana dan ibunya seorang aristokrat Inggris. Riwayat hidupnya membuat ia peka akan salah sangka yang disebut "identitas".  

Dalam "Af If" ia tunjukan bahwa identitas dirumuskan demikian rupa hingga seakan-akan mengandung sifat-sifat yang stabil dan berdasar pada fakta. Tapi sebenarnya, "dalam jantung theoritis kita", kita tahu hal yang seperti itu tak pernah ada. Sifat-sifat itu hanya "idealisasi" atau sehimpun fiksi yang efektif. Seorang "Negro" atau "homoseksual", misalnya, dalam kenyataannya punya hal-hal yang sangat kompleks dalam dirinya, yang lebih majemuk ketimbang sebutan itu.  

Mengidentifikasi adalah mengidealkan dan mereduksi.

Dilihat secara demikian, identitas menyingkirkan apa yang dianggap tak pantas masuk dalam rumusannya — menyingkirkan yang berbeda, yang dianggap ganjil dari yang seyogyanya. Dalam arti tertentu, identitas dibentuk dengan sejenis dominasi, bahkan kekerasan.

Ada cerita sedikit tentang kuncir.

Di Cina, di pertengahan abad ke-17 penguasa Manzu mengharuskan bangsa Han punya identitas baru: memakai gaya potongan rambut yang khas — kepala nyaris botak dan di bagian belakang, di dekat kuduk, ada kuncir. Di tahun 1622, Maharaja Taizu dari Dinasti Qing menyerbu ke Selatan dan mengharuskan penduduk jazirah Laodong gundul dan memakai kuncir. Yang membantah dihukum mati.

Pada umumnya, orang Han menyerah. Mereka menjadikan kuncir identitas "Cina" selama bertahun-tahun. 

Tapi jelas itu bukan ciri ke-Cina-an yang abadi. Bahkan dilawan. Di antara bangsa ini ada yang menyimpan diam-diam pilihan mereka untuk berambut gondrong. Hidup dalam paksaan, mereka angkat senjata. Seorang Eropa yang menyaksikan perang itu mencatat bahwa "para pembangkang [anti-kucnir] ini lebih berperang mati-matian demi rambut mereka ketimbang demi Raja dan Kerajaan."   

Si Eropa salah: rambut dan identitas, seperti Raja dan Kerajaan, juga soal politik sebuah fiksi yang bisa membentuk harga diri sebuah kelompok. Pernah ada masanya "politik identitas" membantu pembebasan kaum perempuan dan memajukan kesetaraan bagi orang Hitam di Amerika. Tapi ada masanya juga ketika "politik identitas" menggerus, bahkan menghapus, kemerdekaan personal.

Pada akhirnya, "politik identitas", seperti "nasionalisme" yang berdasarkan identitas etnik di Serbia, adalah politik jalan buntu. Ketika menampik apa yang universal dalam sesama manusia, ia tak akan mampu mengimbau suara hati dari delapan penjuru. Ia tak punya perspektif yang oleh Appiah, dalam "The Ethics of Identity", disebut "kosmopolitanisme."

Tapi tanpa kosmopolitanisme sekalipun manusia akan melihat: fiksi yang disebut identitas tak akan mempersatukan manusia ketika bumi, ruang hidup bersama ini, terancam hancur. Seperti sekarang.


Penulis

Goenawan Mohamad

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda