Minggu, 02 November 2025
Beranda / Opini / GTRA, Jembatan Pembaharuan Agraria di Subulussalam

GTRA, Jembatan Pembaharuan Agraria di Subulussalam

Sabtu, 01 November 2025 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Wildan Sastra

Penulis: Wildan Sastra Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Subulussalam


DIALEKSIS.COM | Opini - Di Kota Subulussalam, permasalahan agraria semakin menunjukkan arah yang kian serius. Persoalan batas Hak Guna Usaha (HGU) yang masih simpang siur serta praktik perambahan kawasan hutan menimbulkan persoalan yang kompleks. Kondisi ini seolah menyandera hak-hak masyarakat atas aset dan akses terhadap tanah.

Gubernur Aceh dalam beberapa kesempatan menegaskan rencana untuk mengukur ulang seluruh Hak Guna Usaha (HGU) di Aceh. Langkah ini erat kaitannya dengan program strategis nasional Reforma Agraria yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial melalui penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah atau disebut Reforma Agraria.

Mengacu pada laporan pemerintah Kota Subulussalam terkait persoalan agraria dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (17/9/2025), mengungkap fakta yang cukup mencengangkan yakni terdapat 16 perusahaan pemegang HGU dengan total luas ±15.780 hektar. Dari jumlah tersebut, terdapat perusahaan teridentifikasi menghadapi permasalahan agraria serius, dengan luas konflik mencapai ribuan hektar.

Meskipun data tersebut masih perlu diverifikasi, tampak bahwa akar persoalannya sama, yakni ketimpangan dan lemahnya tata kelola pertanahan. Bentuk pelanggaran yang muncul meliputi tumpang tindih HGU dengan lahan masyarakat, tanah terlantar dan tidak produktif, perpanjangan HGU melebihi batas semula, pembukaan lahan tanpa izin, serta masalah dalam pelaksanaan redistribusi tanah dan PTSL.

Jika ditelusuri lebih dalam, akar masalahnya bukan sekadar pada lemahnya pengawasan, tetapi juga pada kesenjangan kekuasaan dalam penguasaan tanah. Perusahaan memiliki akses hukum dan modal untuk memperpanjang HGU, sementara masyarakat sering kali terpinggirkan dari proses legalisasi lahan yang sudah digarap turun-temurun.

Lahan Bekas HGU: Dari Konflik Menuju Solusi

Banyak permasalahan muncul ketika masa konsesi perusahaan perkebunan berakhir. Di lapangan, sering terjadi penguasaan lahan bekas HGU oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Ada pula tudingan bahwa sebagian perusahaan masih menguasai lahan meskipun izin mereka telah berakhir. Tak jarang, masyarakat juga turut menguasai lahan eks HGU karena kebutuhan ekonomi dan keterbatasan akses terhadap tanah.

Kondisi tersebut menimbulkan ketegangan antara perusahaan dan masyarakat. Situasi menjadi lebih kompleks ketika lahan yang disengketakan berada dalam kawasan hutan yang secara hukum tidak dapat dikuasai di luar pengelola yang sah. Sengketa penguasaan lahan dalam dan luar kawasan hutan yang tidak termasuk dalam Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) kerap menjadi sumber persoalan struktural dan sosial yang berkelanjutan.

Persoalan agraria pada dasarnya tidak hanya bersifat struktural karena lemahnya kebijakan dan tata kelola”tetapi juga sosial dan relasional, akibat tarik-menarik kepentingan antara masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha.

Dalam konteks inilah Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) hadir. Lembaga ini berfungsi sebagai fasilitator, mediator, sekaligus komunikator antara pemerintah, perusahaan perkebunan, dan masyarakat.

GTRA menjadi wadah penghubung berbagai kepentingan: masyarakat yang menuntut akses dan keadilan, serta perusahaan yang merasa masih memiliki ikatan historis dan investasi di lahan tersebut. Namun, hal yang lebih penting daripada sekadar “adu kuat” dokumen dan pasal peraturan adalah komunikasi yang jernih dan terbuka.

Komunikasi terbuka bukan hanya diperlukan dalam hubungan eksternal, tetapi juga di dalam tubuh GTRA sendiri. Tim lintas sektor ini harus menjaga soliditas, menyatukan langkah, dan memastikan tidak ada kepentingan pribadi yang menumpangi agenda publik.

Pertanyaan masyarakat mengenai netralitas GTRA seharusnya tidak dihindari, tetapi dijadikan “CCTV kehidupan” pengingat agar transparansi dan integritas tetap terjaga. Sebab, kepercayaan publik (trust) adalah modal utama. Jika trust ini terawat, posisi pemerintah dalam mengawal proses distribusi tanah akan semakin kuat dan legitimate.

Menguatkan Kolaborasi dan Komunikasi GTRA

Dua aspek penting dalam reforma agraria adalah penataan aset dan penataan akses. Keduanya seharusnya berjalan beriringan, namun dalam praktiknya sering berjalan timpang.

Penataan aset adalah hulu reforma agraria untuk memastikan kepastian subjek dan objek tanah, termasuk legalitas dan perlindungan hukum bagi penerima manfaat. Sementara itu, penataan akses adalah hilirnya harus memastikan tanah yang sudah didistribusikan benar - benar produktif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui dukungan modal, pelatihan, dan kemitraan usaha.

Kedua aspek ini tidak akan efektif tanpa komunikasi yang kuat antarinstansi antara pemerintah daerah, kementerian, dunia usaha, dan masyarakat. Di sinilah GTRA seharusnya berperan sebagai simpul koordinasi dan pusat komunikasi kebijakan.

Sayangnya, tantangan GTRA di daerah sering muncul dari pola komunikasi yang belum menyentuh akar persoalan. Perusahaan merasa tidak dilibatkan sejak awal, sementara masyarakat menilai pemerintah berjalan lamban. Akibatnya, miskomunikasi berubah menjadi kesalahpahaman, dan kesalahpahaman mudah menjelma menjadi konflik.

Padahal, jika komunikasi dijalankan dengan pendekatan partisipatif duduk bersama, mendengar aspirasi, dan menjelaskan kebijakan dengan bahasa sederhana banyak masalah dapat diselesaikan tanpa perlu intervensi lapangan yang menegangkan.

GTRA bukan sekadar pelaksana teknis reforma agraria, melainkan jembatan komunikasi antara pemerintah, perusahaan, dan rakyat. Peran ini menuntut kepekaan, empati, serta strategi komunikasi yang membumi.

Kunci keberhasilan GTRA Subulussalam ada pada kemampuannya membangun dan menjaga kepercayaan (trust)”baik secara internal maupun eksternal. Pemerintah harus berani menjelaskan kebijakan secara terbuka, perusahaan perlu diberikan ruang untuk menyampaikan perspektifnya, dan masyarakat harus diposisikan sebagai subjek aktif, bukan sekadar penerima hasil akhir.

Namun, sebelum menjangkau pihak eksternal, komunikasi internal di tubuh GTRA harus diperkuat terlebih dahulu. Tim lintas sektor perlu memahami peran dan fungsi masing-masing instansi agar kolaborasi yang dibangun tidak tumpang tindih. Ketika seluruh sektor di pemerintahan daerah dan instansi vertikal telah satu suara, komunikasi keluar akan lebih solid, terarah, dan meyakinkan.

Dinamika komunikasi memang sering kali pasang surut. Tradisi birokrasi yang kaku dan formal sering kali terkesan “kurang serius” dalam menangani persoalan. Karena itu, perlu ada pola kolaborasi antara kebijakan berbasis regulasi dan pendekatan persuasif, seperti dialog dan musyawarah bersama untuk mengambil keputusan yang mengedepankan kepentingan bersama.

Jika GTRA di Subulussalam berhasil mengawal pelaksanaan reforma agraria secara utuh”dari penataan aset hingga penataan akses keberhasilan ini patut dijadikan model bagi daerah lain. GTRA dapat menjadi wadah kolaborasi nyata lintas sektor di pemerintahan daerah dan instansi vertikal untuk bersama-sama mengawal agenda reforma agraria.

Penulis: Wildan Sastra Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Subulussalam

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI