Rabu, 29 Oktober 2025
Beranda / Opini / Hak Hidup bagi Masyarakat Adat di Tengah Tegangnya Kawasan Hutan

Hak Hidup bagi Masyarakat Adat di Tengah Tegangnya Kawasan Hutan

Selasa, 28 Oktober 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Prof. Dr. Apridar

Prof. Dr. Apridar, S.E., M.Si. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. Foto: for Dialeksis 


DIALEKSIS.COM | Opini - Lanskap hukum agraria dan kehutanan Indonesia baru saja mendapat napas segar. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membebaskan masyarakat adat dari kewajiban izin pemerintah pusat untuk membuka kebun di kawasan hutan bukan sekadar putusan normatif. Ini adalah koreksi fundamental atas cara negara memandang dan memperlakukan komunitas paling awal yang hidup dan menggantungkan hidupnya dari hutan. 

Putusan ini, yang lahir dari pengujian materi Undang-Undang Cipta Kerja, pada hakikatnya adalah upaya mendudukkan kembali relasi yang timpang antara negara, hukum modern, dan kearifan tradisional.

Selama puluhan tahun, bayang-bayang sanksi pidana selalu menghantui masyarakat adat. Aktivitas yang bagi mereka adalah ritual turun-temurun untuk memenuhi pangan, sandang, dan papan dikenal sebagai bukaan kebun, ngarai, atau nguma tiba-tiba berubah menjadi “perambahan hutan” dan “pelanggaran hukum” di bawah rezim UU Kehutanan dan diperkuat oleh klausul dalam UU Cipta Kerja. Negara, melalui kewenangan izinnya, telah meminggirkan logika subsistensi dengan logika kapital dan birokrasi. Sebuah paradoks yang pahit: mereka yang telah menjadi penjaga hutan paling efektif justru dikriminalisasi oleh aturan yang seharusnya melindungi ekosistem tersebut.

Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan bahwa terdapat sedikitnya 20 juta hektar wilayah adat yang tumpang tindih dengan kawasan hutan negara. Dalam konflik ruang yang masif ini, masyarakat adat selalu menjadi pihak yang kalah. Mereka dituduh sebagai perusak hutan, padahal studi-studi ekologi membuktikan sebaliknya. Sistem perladangan berpindah yang dilakukan secara tradisional, dengan masa bera yang panjang, justru menjaga biodiversitas dan kesuburan tanah. Mereka membuka kebun secukupnya, bukan untuk mengeksploitasi, melainkan untuk menghidupi keluarga. Praktik ini sangat berbeda secara diametral dengan pembukaan lahan skala besar untuk perkebunan monokultur yang justru mendapat izin dan mengakibatkan deforestasi masif.

Oleh karena itu, putusan MK ini harus dipahami sebagai sebuah penegasan bahwa “kebutuhan hidup sehari-hari” tidak boleh dikorbankan demi kepentingan investasi dan simplifikasi birokrasi. Dengan menegaskan syarat bahwa kegiatan ini hanya untuk subsistensi dan bukan komersialisasi, MK sesungguhnya sedang melindungi dua hal sekaligus: hak asasi masyarakat adat dan kelestarian fungsi hutan. Ketika masyarakat adat diberi kepastian untuk memenuhi kebutuhannya, mereka akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat untuk menolak godaan atau tekanan menjual tanahnya kepada korporasi. Keberlanjutan ekologis justru lahir dari pengakuan terhadap sistem pengetahuan lokal yang telah teruji ribuan tahun.

Namun, euforia atas putusan progresif ini tidak boleh membuat kita lengah. Sebuah putusan, sehebat apapun, hanyalah sebuah dokumen di atas kertas jika tidak diimplementasikan dengan semangat yang sama di lapangan. Tantangan terbesarnya terletak pada tiga hal.

Pertama, tantangan definisi dan verifikasi. Siapa yang dimaksud “masyarakatakat adat” dalam konteks ini? Putusan MK mensyaratkan komunitas yang hidup “secara turun-temurun.” Ini merujuk pada putusan MK sebelumnya (No. 35/PUU-X/2012) yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat sebelum negara Indonesia berdiri. Namun, proses pengakuan (recognition) masyarakat adat di tingkat daerah masih berjalan lambat dan penuh kerumitan politik. Hingga saat ini, hanya sebagian kecil dari ribuan komunitas adat di Indonesia yang telah mendapat pengakuan resmi melalui Perda. Tanpa pengakuan formal, mereka tetap rentan dikriminalisasi oleh aparat di lapangan yang mungkin tidak memahami atau mengabaikan putusan MK ini.

Kedua, tantangan penafsiran dan pengawasan. Bagaimana membedakan antara “kebutuhan hidup sehari-hari” dan “kepentingan komersial” dalam praktiknya? Garis pemisah ini bisa sangat tipis. Sebuah keluarga mungkin menjual surplus hasil kebunnya ke pasar desa tetangga. Apakah ini sudah dianggap komersial? Diperlukan pedoman operasional yang jelas dan disosialisasikan secara masif baik kepada masyarakat adat maupun aparat penegak hukum (polisi hutan, jaksa) untuk mencegah kesalahpahaman yang berujung pada konflik baru. Pengawasan harus dilakukan secara partisipatif, melibatkan lembaga adat setempat, bukan dengan pendekatan represif.

Ketiga, tantangan koherensi kebijakan. Putusan MK ini ibarat oasis di gurun kebijakan yang masih didominasi oleh paradigma ekstraktif. UU Cipta Kerja secara keseluruhan masih bermuara pada kemudahan berinvestasi, yang seringkali berbenturan dengan perlindungan wilayah adat. Jika pemerintah tidak konsisten, ruang hidup yang baru saja dibuka oleh MK ini bisa kembali tertutup oleh aturan turunan atau kebijakan sektoral lainnya yang masih memprioritaskan izin usaha kehutanan dan perkebunan di atas tanah ulayat.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Putusan MK ini harus menjadi momentum untuk mempercepat langkah-langkah strategis. Pertama, pemerintah pusat dan daerah harus mempercepat proses pengakuan dan pemetaan wilayah adat (participatory mapping). Ini adalah fondasi utama agar hak-hak masyarakat adat memiliki basis legal yang kuat. Kedua, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu menerbitkan surat edaran atau peraturan menteri sebagai pedoman teknis pelaksanaan putusan MK ini untuk seluruh jajarannya di lapangan. Ketiga, membangun sistem verifikasi dan pengawasan yang melibatkan masyarakat adat sendiri, LSM, dan pemerintah dalam memantau pemanfaatan hutan untuk kebutuhan hidup, sehingga tercipta akuntabilitas bersama.

Pada akhirnya, putusan MK ini adalah pengingat bahwa hutan bukan sekadar kumpulan pohon dan karbon yang bisa diperdagangkan. Hutan adalah rumah. Ia adalah supermarket, apotek, perpustakaan pengetahuan, dan tempat ibadah bagi masyarakat adat. Dengan memberi ruang bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, negara sesungguhnya sedang berinvestasi pada kelestarian hutan itu sendiri. Keputusan ini adalah sebuah kemenangan kecil dalam perjalanan panjang memperjuangkan keadilan agraria. Ia adalah seberkas cahaya yang menembus kanopi rimbun, mengingatkan kita bahwa di balik wacana pembangunan dan investasi, hak untuk hidup secara layak dan bermartabat di atas tanah leluhur adalah hak yang tidak bisa ditawar lagi. Mari jaga agar cahaya ini tidak padam, dengan menjadikannya sebagai batu pijakan untuk membangun kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua, termasuk bagi para penjaga hutan yang sejati.

Menguatkan hak hidup Masyarakat Adat di lautan kawasan hutan yang masih tegang, merupakan prioritas yang harus didahulukan untuk menjemput kehidupan yang lebih layak bagi komunitas insan yang membutuhkan asupan untuk hidup sehat. Semoga kriminalisasi bagi kaum adat yang lemah tidak terjadi. Mari kita jaga kelestarian hutan untuk dapat hidup bersama yang berkelanjutan. 

Penulis: Prof. Dr. Apridar, S.E., M.Si. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI