DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melalui Panitia Khusus (pansus) mineral, batu bara serta minyak bumi pada tanggal 25 September 2025 mengumumkan hasil temuan dan investigasi lapangan bahwa sebanyak 450 titik tambang ilegal beroperasi di Aceh menggunakan 1000 unit alat berat (beko/escavator) dengan total kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 360 Milyar per tahun.
Menanggapi hasil temuan tim Pansus DPRA tentang mineral, batu bara serta minyak bumi, Gubernur Aceh Muzakir Manaf memberikan peringatan dan ultimatum paling lama 2 (dua) pekan agar pelaku menarik seluruh alat berat dari hutan di Aceh. Pemerintah Aceh akan mengambil langkah tegas jika ultimatum ini tidak dipenuhi. Gubernur Muzakir Manaf pun telah membentuk Tim Penanganan Tambang Ilegal di Aceh (Serambi Indonesia, 02 Oktober 2025).
Aceh sebagai provinsi yang kaya akan sumber daya alam seperti biji besi, emas, perak dan batu bara. Namun hingga saat ini kita tidak mengetahui pasti dimana dan berapa besar potensi sumberdaya mineral yang dimiliki Aceh. Hal itu disebabkan karena kurangnya eksplorasi yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat, Pemerintah Aceh maupun oleh pihak swasta.
Kita hanya mengetahui di Aceh banyak terdapat emas, biji besi, batu bara. Diluar itu kita tidak tahu pasti dimana dan berapa sumberdaya mineral yang dimiliki Aceh. Hal ini tentu sangat merugikan Aceh karena Aceh tidak memiliki database dan tidak mengetahui besarnya potensi sumber daya alam yang dimiliki.
Saya berkesempatan berdiskusi panjang lebar bersama pakar dan praktisi tambang nasional putra Aceh Dr. Said Aziz, M.Sc mantan Peneliti Utama bidang pertambangan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), sejak tahun 2005 menjabat sebagai direktur dari beberapa perusahaan tambang emas dan batubara di NTB dan Kalimantan, sekarang sebagai Komisaris di beberapa perusahan tambang emas di NTB. Sewaktu saya sebagai bagian dari insan BUMD Aceh PT. Pembangunan Aceh (Perseroda) baik ketika di Jakarta maupun ketika beliau pulang ke Aceh.
Beliau telah berhasil mengembangkan usaha pertambangan dan mendulang emas bersama Group Indotan, terutama di Maluku utara, Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada acara National Leadership Camp di gedung Nusantara DPR-RI menyampaikan apresiasi pada putra Aceh ini melalui unit usaha PT. Indotan Halmahera Bangkit yang telah berhasil membuka lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga Maluku Utara mendapat peringkat pertama pertumbuhan ekonomi terbaik nasional tahun 2023.
Pemerintah Aceh perlu memberikan izin kepada masyarakat Aceh untuk melakukan penambangan berupa Wilayah Penambangan Rakyat (WPR) bekerjasama dengan perusahaan besar yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) karena masyarakat memiliki keterbatasan dalam hal teknologi, modal kerja serta keselamatan dan kesehatan kerja. Pada masa Sultan Iskandar Muda, sebagian pendapatan rakyat dan kerajaan berasal dari penambangan rakyat. Bahkan mata uang Aceh sendiri dibuat dari logam mulia ini, belum ada daerah lain di Indonesia sampai sekarang yang memiliki mata uang emas, selain kerajaan Aceh Darussalam.
Menurut Dr. Said Aziz, M.Sc yang merupakan Direktur Utama di PT. Indotan Aceh Bangkit, di provinsi lain seperti Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku Utara, Kulon Progo Yogyakarta, pemerintah daerahnya berinisiatif mengalokasikan sebagian wilayah yang memiliki potensi emas kepada masyarakatnya dengan memberikan izin WPR yang kemudian. Dari alokasi WPR ini pemerintah daerah mengeluarkan IUPR (Izin Usaha Pertambangan Rakyat) dengan luas areal sekitar 5 - 10 ha baik untuk usaha perorangan maupun dalam bentuk koperasi.
Izin yang dikeluarkan tetap sesuai peraturan yang ada, harus ada FS (feasibility study) dan AMDAL (analisis dampak lingkungan) dengan pembinaan dan edukasi dari pemerintah, sehingga pemegang IUPR dapat bekerja dengan baik dan aman serta hasilnya dapat dinikmati masyarakat gampong/mukim di Aceh untuk jangka panjang. Bahkan usaha ini apabila dikelola dengan baik dan ramah lingkungan, pendapatan yang diperoleh dari usaha ini mampu untuk membiayai pendidikan hingga perguruan tinggi dan selebihnya dari pendapatan ini dapat di belanja gampong/mukim. Kelebihan uang yang diperoleh dari usaha ini akan mendorong daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga uang beredar di lingkungan gampong/mukim.
Tentu efeknya akan lebih besar lagi dengan banyaknya uang yang beredar di gampong/mukim akan mendorong usaha-usaha dan industri kreatif masyarakat lainnya termasuk dikalangan generasi muda Aceh. Karena daya beli masyarakat meningkat, inisiatif untuk menghidupkan kembali Hari Peukan juga akan terjadi di Aceh. Hari Peukan merupakan warisan endatu Aceh yang mempertemukan antara produsen dengan konsumen dengan harga yang sangat kompetitif.
Sayangnya warisan keuneubah endatu Aceh ini tergerus perkembangan zaman walaupun di beberapa negara tetangga yang sudah maju ekonominya seperti Thailand masih mempertahankan warisan endatu ini yang dikemas dalam bentuk “Pasar Bursa Komoditi” seperti “Pasar Bursa Komoditi Karet” di Thailand Selatan yang pernah penulis kunjungi.
Pemerintah Aceh atau Pemerintah Kabupaten/Kota melalui dinas terkait juga harus mendampingi dan mengedukasi masyarakat pemegang IUPR agar mengelola usahanya secara ramah lingkungan. Masyarakat juga didampingi dan diedukasi dengan penggunaan-penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri serta bahan kimia alternatif lainnya yang ramah lingkungan. Proses monitoring serta evaluasi ini dilakukan terus-menerus sehingga terciptanya masyarakat pemegang IUPR yang sadar lingkungan serta menjadikannya yang terdepan dalam menjaga lingkungan dan alam sekitarnya.
Pemerintah daerah belum mengajukan untuk ditetapkan WPR (wilayah pertambangan rakyat) di wilayah masing-masing, kecuali Kabupaten Aceh Barat. Berbeda dengan kabupaten dan provinsi-provinsi lain yang sudah terlebih dahulu menetapkan WPR untuk wilayahnya, sehingga rakyat kecil dapat menikmati dan mengelola nikmat dan berkah dari Allah SWT untuk kesejahteraan dan kemakmuran. Upaya ini sebagai salah satu strategi melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku dari pengelolaan dari sumber daya alam. Selama ini masyarakat setempat kurang didampingi dan diedukasi pemerintah untuk menjalankan SOP (standard operating procedure) minimal yang harus dipenuhi penambang rakyat.
Dengan ditetapkannya WPR dan IUPR oleh pemerintah disertai pendampingan dan edukasi yang dilakukan pemerintah dengan monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan terhadap penambangan rakyat, insya Allah penambang rakyat akan dapat bekerja dengan baik dan aman sesuai dengan peraturan perundangan serta SOP yang telah ditetapkan, sehingga masyarakat setempat dapat mengelola sumberdaya alam yang dimiliki dan tidak menjadi penonton atas kehadiran perusahan besar yang mengeksploitasi sumberdaya alam yang mereka dimilikinya.
Langkah ini tentu akan memberikan win-win solution dalam pengelolaan dari sumber daya alam, masyarakat setempat tidak menjadi penonton atas kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, sehingga dapat meminimalisir timbulnya gejolak masyarakat setempat dengan kehadiran perusahaan besar yang mengelola sumberdaya alam mineral yang mereka miliki. Justru dengan strategi demikian penambang rakyat menjadi mitra strategis perusahaan besar yang memiliki modal, tenaga ahli, teknologi yang tidak dimiliki penambang rakyat.
Upaya yang saling menguntungkan ini, insya Allah dengan tekad dari Gubernur Muzakir Manaf saya yakin pertambangan rakyat bisa dilaksanakan dan apabila dibina dengan baik oleh pemerintah secara berkelanjutan akan membuka lapangan kerja yang luas di tengah sulitnya memperoleh pekerjaan saat ini di Aceh. Dengan terbukanya lapangan kerja akan mendorong daya beli masyarakat setempat yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemajuan Aceh, semoga....
Penulis: Anggota Majelis Adat Aceh (MAA) dan Wakil Sekretaris Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh, Fauzi Umar