DIALEKSIS.COM | Opini - Kritik tajam Jusuf Kalla yang dilontarkan melalui media Tirto.id tentang Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera, meski telah menerima dana otonomi khusus (Otsus) triliunan rupiah, adalah pengingat penting akan tantangan tata kelola yang ada. Namun, jika dibaca tanpa konteks yang adil, pernyataan ini berisiko menyesatkan dan meremehkan perjuangan panjang rakyat Aceh serta dampak nyata dari dana Otsus.
Perbandingan Aceh dengan provinsi lain, yang sering kali tidak mengalami gejolak serupa, adalah perbandingan yang tidak adil. Ini seperti membandingkan pelari maraton yang baru pulih dari cedera parah dengan pelari yang sudah berlari tanpa hambatan sejak awal.
Menurut Teori Pembangunan Pasca-Konflik yang dikemukakan oleh Johan Galtung, setiap masyarakat yang keluar dari konflik membutuhkan fase reconstruction and reconciliation sebelum masuk ke tahap pembangunan ekonomi yang stabil. Dalam konteks Aceh, fase ini bahkan diperberat oleh bencana tsunami 2004 yang meluluhlantakkan hampir seluruh sendi ekonomi dan infrastruktur.
Profesor Ishak Hasan, ekonom Universitas Teuku Umar, menegaskan bahwa Aceh tidak bisa diukur dengan kacamata pembangunan biasa. “Otsus Aceh lebih tepat dipahami sebagai recovery fund ketimbang sekadar development fund. Sebab, titik awal kita bukan nol, melainkan minus, setelah konflik panjang dan tsunami,” jelasnya.
Titik Awal yang Menghancurkan: Sebelum dana Otsus efektif, Aceh berada di titik terendah. Angka kemiskinan melonjak dari 14,75% pada 1999 menjadi puncaknya di atas 32% pada 2005. Ini adalah akibat langsung dari konflik berkepanjangan dan tsunami dahsyat.
Dampak Nyata Dana Otsus: Dana Otsus bukanlah sekadar dana pembangunan biasa; ia adalah dana pemulihan. Berkat dana ini, Aceh berhasil menurunkan angka kemiskinan dari lebih dari 30% hingga kini mencapai 12,33% (Maret 2025). Angka ini bahkan lebih rendah dari tingkat kemiskinan pra-konflik.
Melampaui Titik Nol: Jika angka kemiskinan 1999 kita jadikan "titik nol," Aceh tidak hanya berhasil kembali ke titik tersebut tetapi juga telah melampauinya.
Pakar tata kelola keuangan daerah, Dr. Syukriy Abdullah, juga menyatakan bahwa pencapaian ini menunjukkan Otsus punya daya ungkit signifikan. “Persoalannya bukan pada ada atau tidaknya dampak, tapi bagaimana dampak itu bisa diperluas secara merata,” katanya.
Tentu, kritik terhadap tata kelola harus terus disuarakan. Korupsi, inefisiensi, dan kurangnya transparansi adalah masalah serius yang menghambat pemerataan kesejahteraan. Namun, menurut teori good governance yang dikemukakan oleh UNDP, keberhasilan pembangunan bukan hanya ditentukan oleh besar kecilnya anggaran, melainkan oleh kualitas institusi yang mengelola anggaran tersebut.
Dalam hal ini, pesan bijak Umar bin Khattab layak direnungkan,“Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, maka jika kami mencari kemuliaan dengan selainnya, niscaya kami akan hina.” Pesan ini dapat dibaca dalam konteks Aceh, bahwa kehormatan dan martabat Aceh tidak terletak pada jumlah dana yang diterima, tetapi pada cara amanah, jujur, dan adil dalam mengelolanya.
Narasi yang adil adalah narasi yang menempatkan konteks sejarah di depan. Narasi itu mengakui bahwa meski banyak yang harus diperbaiki, Aceh telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa.
Dr. Edward Aspinall, akademisi Australian National University yang banyak menulis tentang Aceh, pernah mengingatkan bahwa “setiap analisis tentang Aceh harus selalu membawa dua kata kunci yakni conflict dan recovery. Tanpa itu, kita jatuh pada jebakan simplifikasi.”
Dan sebagaimana pesan bijak Jalaluddin Rumi,“Luka adalah tempat cahaya masuk ke dalam dirimu.” Luka konflik dan tsunami yang dialami Aceh seharusnya menjadi pintu masuk bagi cahaya pembaharuan”sebuah kesempatan untuk membangun tata kelola yang lebih baik dan masa depan yang lebih bermartabat.
Hanya dengan narasi yang jujur, adil, dan penuh kebijaksanaan, kita bisa fokus pada tantangan nyata di depan: membangun kepercayaan, memastikan tata kelola yang baik, dan mewujudkan imajinasi bersama tentang Aceh yang mandiri, makmur, dan berdikari.
Penulis: Aryos Nivada, Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala sekaligus pendiri Jaringan Survei Inisiatif.