Beranda / Opini / Mengapa Pembangunan Belum mengentaskan Kemiskinan?

Mengapa Pembangunan Belum mengentaskan Kemiskinan?

Senin, 15 Januari 2018 12:44 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Fakhruddin


Fakhruddin

Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FEB Unsyiah

"Kemiskinan adalah virus tertua dan paling resisten yang membawa penyakit yang menghancurkan di terutama di negara-negara dunia ketiga. Dampaknya mematikan dari kemiskinan tidak  dapat dibandingkan dengan dengan penyakit apapun dan bahkan lebih buruk dari dampak malaria dan HIV/AIDS yang diklaim sebagai penyakit pembunuh tertinggi".

Pernyataan tersebut disampaikan  oleh Tazoacha Francis dalam sebuah seminar mengenai "kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan" di Bordeaux Prancis tahun 2001. Pernyataan yang berusia hampir dua dekade lalu terlihat seperti sebuah pernyataan yang sudah usang namun bagi penulis pernyataan tersebut bernilai seperti sebuah karya klasik yang tidak lekang oleh perjalanan waktu.

Kemiskinan tak pelak merupakan sebuah tema yang terus menerus dibahas sepanjang sejarah peradaban manusia mulai ditulis. kemiskinan selalu memainkan perannya secara unik mengubah peradaban dunia, mendorong lahirnya berbagai pemikiran dan ide yang melahirkan berbagai cabang ilmu bahkan secara ekstrim "mampu" mengganti pemerintahan di sebuah negara. Namun segala perubahan yang dihasilkan dari kemiskinan tersebut seolah tidak mampu menjawab tuntas permasalahan utama yaitu eksistensi kemiskinan dalam kehidupan ini.

Dalam upaya pengentasan kemiskinan, sepertinya seluruh stakeholders percaya dan yakin bahwa pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan adalah media terbaik untuk "menghilangkan penyakit" tersebut. Hal ini disampaikan oleh banyak pihak seperti Hyun dan Nanan (2004), Arild dan Wunder (2006) dan Duclos dan Verdier (2010). Para ahli tersebut meyakini bahwa pembangunan ekonomi dan pemerataan pendapatan akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Namun demikian, upaya mengurangi angka kemiskinan bukanlah satu hal yang mudah dicapai. Kemiskinan melalui jalannya sendiri, mampu "menetap" menjadi permasalahan yang selalu ada di masing-masing negara.

Hal apa yang membuat banyak pihak menyakini bahwa pembangunan ekonomi dapat mengentaskan kemiskinan? Banyak negara menyakini bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus menerus dan menumbuhkan kekuatan untuk melakukan investasi di dalam negeri (terutama menggunakan modal dalam negeri) akan menyebabkan pendapatan per kapita meningkat dalam jangka panjang. Kebijakan pembangunan seperti ini ternyata memunculkan permasalahan ketimpangan ekonomi pada negara-negara yang justru mengalami pertumbuhan ekonomi. Fokus mengejar pertumbuhan ekonomi membuat banyak negara alpa dalam mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi penduduknya.

Ketimpangan tersebut membuat Todaro mendefinisi ulang tentang pembangunan ekonomi. Menurut Todaro pembangunan ekonomi seharusnya merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan besar secara sosial dalam struktur sosial, sikap mental dan akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan dan pemberantasan kemiskinan. Melalui redefinisi ini Todaro ingin menyampaikan bahwa pembangunan ekonomi bukanlah sebuah konsep yang statis melainkan sebuah proses yang sangat dinamis. Todaro juga mengkritik arah dan strategi pembangunan yang bersumber dari konsep big push, take off, leak-forward dll, dimana konsep tersebut ternyara tidak hanya tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan tetapi juga menyebabkan ketimpanga perekonomian, adanya kelebihan kapasitas produksi yang tidak termanfaatkan, kepadatan perkotaan, pengangguran dan stagnasi. Harusnya pembangunan ekonomi diarahkan pada terciptanya terintegrasi antara desa-kota, penguatan sektor pertanian, penggunaan teknologi madya. Peningkatan pendidikan dan kemampuan tenaga kerja, nutrisi dan kesehatan serta pengembangan sumber daya manusia.

Todaro mengembangkan konsep yang ditawarkan Gaulet yang menyatakan bahwa ada tiga nilai hakiki pembangunan yaitu perbaikan tingkat hidup, peningkatan harga diri dan peningkatan kebebasan. Ketiga nilai tersebut dijabarkan dalam sasaran pembangunan dimana sasaran pembangunan setidaknya harus mencakup tiga hal yaitu: pertama, pembangunan harus mampu menjamin adanya peningkatan kemampuan penyediaan kebutuhan pokok seperti pangan, papan, kesehatan dan lingkungan yang naik; kedua, pembangunan harus mampu mengangkat taraf hidup masyarakat melalui peningkatan pendapatan, penyediaan lapangan kerja dan pendidikan yang lebih baik dengan memerhatikan sisi budaya dan kemanusiaan; dan ketiga perluasan jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individu dengan mengurangi ketergantungan, tidak hanya pada orang lain melainkan juga pada  kebodohan dan penderitaan.

Konsekuensi dari tiga sasaran pembangunan ekonomi diatas maka strategi pembangunan harus diarahkan pada: pertama, pemerintah secara terus menerus harus mampu meningkatkan kemampuan produksi penduduk hingga mencapai tingkat produktivitas yang tinggi. Peningaktan produktivitas akan akan membuat masyarakat mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik dari sebelumnya; kedua, perkembangan ekonomi harus diarahkan pada penciptaan lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi. Penemuhan akan kebutuhan tenaga kerja sebaiknya dipenuhi dengan memanfaatkan tenaga kerja lokal; ketiga, pembangunan harus mampu mengurangi dan memperkecil ketimpangan antar kelompok yang ada di masyarakat; dan keempat pembangunan harus mampu mendorong terciptanya perubahan sosial, sikap mental, dan tingkah laku masyarakat dan lembaga pemerintah.

Pendapat Todaro menurut hemat penulis telah memberikan arah yang jelas mengenai makna dan tujuan pembangunan. Namun pada saat yang sama, juga membuat pembangunan menjadi sesuatu yang "lebih sulit" dari sebelumnya. Kesulitan ini setidaknya terlihat pada upaya pengetasan kemiskinan yang masih menjadi masalah di seluruh dunia. Kesulitan pengentasan kemiskinan tidak hanya menjadi permasalahan bagi negara-negara miskin tetapi juga menjadi masalah bagi negara-negara maju.  Seperti dilansir oleh situs www.statista.com/ sepanjang periode 1990-2016, Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara adidaya dunia hanya mampu menurunkan tingkat kemiskinan kurang dari 1 persen. Artinya selama seperempat abad Amerika Serikat "tidak berdaya" mengentaskan kemiskinan. Kondisi yang relatif sama juga terjadi di negara maju lainnya. Inggris misalnya, hingga tahun 2014 masih memiliki penduduk miskin sekita 16 persen. Jika negara-negara maju saja kesulitan mengurangi kemiskinaan, lalu bagaimana dengan negara berkembang dan negara miskin? Mari kita lihat fakta yang ada di Indonesia.

Dalam periode 1990- 2017 telah terjadi berbagai perubahan di Indonesia, mulai dari runtuhnya rezim orde baru, krisis ekonomi, pergantian presiden berulang kali serta perubahan sistem pemerintah yang setralistik menjadi lebih otonom. Lalu apa dampak semua itu terhadap kemiskinan di Indonesia? Dalam periode tersebut tingkat kemiskinan di Indonesia turun dari 15,10 persen menjadi 10,12 persen (data BPS per sept 2017). Ketika krisis ekonomi 1998 melanda Indonesia kemiskinan Indonesia sempat mecapai 24 persen namun berbagai kebijakan pemerintah terbukti mampu menekan jumlah penduduk miskin Indonesia. Lalu bagaimana dengan kemiskinan di Aceh?

Untuk Aceh mari lihat situasi pasca tsunami dan perdamaian di Aceh. Tingkat kemiskinan Aceh pada tahun 2005 sebesar 28,69 persen dan pada maret 2017 turun menjadi 16,89 persen. Dalam 12 tahun kemiskinan Aceh turun hampir 12 persen. Tentu ini sesuatu yang luar biasa!!! Hal apa apa yang membuat penurunan kemiskinan di Aceh bisa jauh lebih progresif dibanding negara-negara maju? Dan lebih besar dibanding Indonesia?

Perlu diingat bahwa sejak tahun 2006, Aceh mulai memilih kepala daerah secara langsung. Seperti yang kita ketahui bersama, pemilhan langsung dilakukan agar dapat menghasilkan kepala daerah yang dekat dengan rakyatnya, paham kebutuhan masyarakat dan dapat melaksanakan pembangunan sesuai aspirasi rakyat Aceh. Ada beberapa kebijakan pemerintah Aceh yang cukup mengejutkan dan dianggap sulit untuk dilaksanakan yaitu program Jaminan Kesehatan Aceh (sekarang JKRA), Dana Peumakmue Gampong dan bantuang beasiswa sekolah ke luar negeri. Kita tidak lagi memperdebatkan kebijakan tersebut, tetapi dapat dipastikan bahwa kebijakan tersebut masih berjalan hingga saat ini.

Saya hanya ingin menyatakan bahwaa program tersebut berbeda dengan program yang biasa dilakukan oleh pemerintah. Program JKA efektif dalam mengubah taraf hidup penduduk Aceh. Jaminan kesehatan yang mengcover seluruh jenis penyakit dan seluruh biaya berobat telah mengurangi beban biaya hidup masyarakat, saat ini setiap rumah tangga dapat mengalokasikan biaya kesehatan ke pengeluaran lainnya. Sejak dilaksanakan, JKA telah melayani ratusan ribu masyarakat Aceh. Artinya pada saat bersamaan ada ratusan ribu masyarakat yang menggeser alokasi pengeluaran kesehatan ke pengeluaran lainnya. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi rumah tangga dan menaikkan level kesejahteraan masyarakat.

Program  Dana Peumakmue gampong mendorong masyarakat (walau jumlahnya tidak besar) mulai menggerakkan institusi gampong dan program beasiswa membuat semakin banyak penduduk Aceh yang mengenyam pendidikan tinggi. Ketiga kebijakan tersebut menuruh hemat penulis telah masuk pada kategori kebijakan pembangunan yang membuat penduduk mampu memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain pemerintah Aceh telah meletakkan dasar pembangunan daerah yang memerhatikan kebutuhan multidimensional masyarakat Aceh. Hal inilah yang diyakin penulis sebagai salah satu penyebab utama penurunan kemiskinan Aceh secara progresif.

Namun harus diakui juga kebijakan pemerintah Aceh baru pada taraf membantu masyarakat dalam menyediakan dan mengakses kebutuhan pokok. Pemerintah Aceh masih belum efektif dalam mendorong perekonomian untuk menyediakan lapangan kerja dan belum relatif belum mampu memberikan opsi-opsi alternatif bagi masyarakat. Hal inilah yang membuat pada akhirnya penurunan angka kemiskinan di Aceh  mulai melamban. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah Aceh untuk mengelola dan memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimiliki secara efektif untuk mencapai tujuan pembangunan seperti yang Todaro sarankan.



Keyword:


Editor :
Jaka Rasyid

riset-JSI
Komentar Anda