Beranda / Opini / Menunggu Asuransi Pertanian Syariah

Menunggu Asuransi Pertanian Syariah

Kamis, 23 Februari 2023 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Husaini Yusuf, S.P., M.Si


DIALEKSIS.COM |  Opini - Hingga hari ini, Provinsi Aceh masih diguyur hujan lebat. Menurut perkiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Provinsi Aceh, dalam beberapa hari ke depan sebagian besar wilayah di Aceh masih akan mengalami hujan dengan intensitas sedang sampai tinggi (BMKG, 2023). Di sebagian Kabupaten Pidie misalnya, hingga hari ini masih tergenang akibat curah hujan tinggi yang terjadi beberapa hari yang lalu.

BMKG mencatat, paling tidak, dalam periode musim tanam Oktober-Maret 2023 saja sudah beberapa kali terjadi banjir besar di Aceh. Pada awal November misalnya, banjir telah menenggelamkan beberapa wilayah di Aceh seperti Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Selatan, Kota Subulussalam, dan Kota Langsa. Saat itu, Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Tamiang merupakan wilayah yang tergolong parah.

Curah hujan tinggi ini bukan saja menggenangi sejumlah pemukiman penduduk tetapi telah mengakibatkan sedikitnya 8.855 ha lahan padi sawah mengalami banjir (Serambi, 30/1). Hal ini tentu saja berdampak terhadap penurunan produksi padi dan kerugian bagi petani bahkan gagal panen. Ini ancaman bagi ketahanan pangan dan stabilitas ekonomi masyarakat pedesaan.  

Menurut perhitungan penulis, kerugian modal petani padi sawah akibat banjir (gagal panen) bisa mencapai 15 juta hingga 16 juta rupiah per hektar (ha). Umumnya, modal mereka pinjaman dari pihak lain seperti toko sarana produksi dan toke-toke di desa. Jika terjadi gagal panen seluas 8.855 ha, maka diperkirakan petani akan mengalami kerugian modal mencapai 133 miliar rupiah. Ini bukan angka kecil.

Belum lagi dari aspek kehilangan potensi hasil. Katakanlah produksi padi 6,0 ton/ha dikali jumlah luasan gagal panen sebesar 8.855 ha, maka kehilangan produksi mencapai 53.130 ton gabah kering panen (GKP). Jika dikalkulasi dalam bentuk uang, maka terjadi kehilangan pendapatan petani sebesar 265 miliar rupiah. Duh! Miris.  

Oleh karena itu, menyelamatkan petani dari kerugian adalah suatu keniscayaan. Mereka memang harus diselamatkan! Karena disinilah sumber kemiskinan masyarakat agraris. Ketika gagal panen, mereka tidak tahu harus mengadu ke siapa. Modal hilang, konon lagi bicara untung. Mungkin inilah salah satu faktor generasi muda kita tidak tertarik pada sektor agraris ini.

Secara Nasional, pemerintah memang telah menghadirkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Ini salah satu bentuk strategi pemerintah dalam melindungi petani dari ancaman risiko sektor pertanian yaitu dilahirkan fasilitas Produk Asuransi Pertanian. 

Ada beberapa produk asuransi yang difasilitasi pemerintah seperti Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP), Asuransi Usahatani Jagung (AUTJ), dan Asuransi Usahatani Ternak Sapi/Kerbau (AUTS/K) untuk sektor peternakan. Lalu ada Asuransi Nelayan bagi nelayan dan Asuransi Perikanan Pembudidayaan Ikan Kecil (APPIK) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Artinya, dengan kehadiran UU No 19 Tahun 2013 itu, pelaksanaan asuransi dalam melindungi petani sudah dilakukan sejak 2015 dan sudah berjalan genap delapan tahun. Secara nasional, realisasi dan jumlah peserta yang bergabung memiliki trend positif. 

Realisasi AUTP selama empat tahun terakhir (2015-2018) menunjukkan tren positif dengan total lahan sawah yang diasuransikan mencapai 2,5 juta ha dari target 3,5 juta ha atau 72,50 persen. Hingga Desember 2019 realisasi AUTP, luas lahan yang tercover asuransi sekitar 971.218,76 ha (97,12 persen) dari target seluas 1 juta ha.

Namun, kondisi berbeda terjadi di Aceh. Realisasi asuransi pertanian di Aceh terus anjlok. Data pada 2018 menyebutkan dari target 4000 ha luas lahan untuk AUTP, realisasinya hanya 503 ha (12 persen). Menurut amatan penulis, setidaknya ada tiga hal penting yang menyebabkan petani di Aceh enggan untuk bergabung dan mendaftarkan diri menjadi anggota asuransi pertanian konvensional. 

Pertama, terkait dengan sistemnya masih dianggap riba dalam pelaksanaannya di lapangan. Bagi petani di Aceh, bertani itu bukan saja untuk mendapatkan keuntungan namun mereka juga menginginkan usaha mereka itu benar-benar bersih jauh dari praktik riba. Hal ini sesuai dengan slogan ureung atjeh “pang ulee buet ibadat, pang ulee hareukat meugoe” . Motto ini sangat berarti bagi petani kita. 

Kedua, petani menganggap proses administrasi yang panjang dan ribet menyebabkan mereka agak sukar menjadi anggota asuransi pertanian tersebut. Selama ini justru petani lebih suka meminjam modal usahatani pada toke-toke dan kios saprodi yang ada di desa. Pasalnya, mudah dan tidak administratif. 

Ketiga, masih banyaknya jenis hama yang belum dapat dijadikan klaim oleh petani dalam program asuransi tersebut. Kepinding tanah, misalnya, disamping juga beberapa hama lain seperti serangan burung/gajah, wereng hijau yang sering menyebabkan kegagalan panen di Aceh.

Pentingnya Asuransi Syariah Berkaca pada kondisi di atas, tentu petani sangat berharap dan menunggu hadirnya asuransi pertanian syariah di bumoe Aceh ini. Asuransi pertanian syariah adalah solusi yang sangat ditunggu-tunggu petani sehingga mereka merasa nyaman secara batin dalam berusahatani meskipun dalam ancaman anomali iklim. 

Sebagai provinsi yang menerapkan Syariat Islam, penerapan asuransi pertanian syariah sudah sangat relevan bagi masyarakat petani di Aceh. Terakhir adalah sistem perbankan yang resmi dimerger menjadi lembaga dengan sistem Syariah. 

Hal ini berdasarkan Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Dalam mengimplementasikan Qanun Lembaga Keuangan Syariah itu, pada Bab IV Lembaga Keuangan Non Bank Syariah, pada bagian kesatu tentang Asuransi Syariah disebutkan pada pasal 22, bahwa apabila di Aceh/kabupaten/kota belum ada usaha asuransi syariah, Pemerintah Aceh dapat memfasilitasi atau membentuk usaha asuransi syariah. 

Menindaklanjuti perintah Qanun LKS tersebut, tentu saja sektor pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat juga membutuhkan asuransi pertanian syariah. Beberapa hari yang lalu melalui media ini, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo berjanji akan segera merespon dan melakukan perubahan atau penyesuaian Peraturan Menteri Pertanian No 40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang fasilitas asuransi pertanian (Serambi, 21/1). 

Respon Mentan itu tentu menjadi kabar baik dan sangat dinantikan petani kita di Aceh. Karena kita tahu bahwa sektor pertanian merupakan sangat rentan terhadap berbagai risiko seperti kondisi perubahan iklim, serangan organisme penganggu tanaman (OPT), kehilangan hasil, dan bahkan terakhir kematian ternak akibat terjadi serangan penyakit mulut dan kuku (PMK) yang mewabah seantero negeri. 

Oleh karena itu, kita mengusulkan kepada Kementerian Pertanian bahwa dengan lahirnya regulasi asuransi pertanian syariah agar dapat memasukkan jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) yang sering terjadi di kalangan petani di Aceh untuk dimasukkan dalam daftar OPT yang dapat ditanggung/diklaim. Diakhir tulisan ringkas ini kita berharap Pemerintah Aceh dapat terus mengawal dan memberikan atensi khusus agar asuransi pertanian syariah yang ditunggu-tunggu petani ini segera hadir untuk melindungi petani dan peternak dari segala ancaman usahataninya. InsyaAllah! 

Husaini Yusuf, S.P., M.Si

Berkhidmat di Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP) Aceh, Alumnus Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB University dan Pengurus Pemuda ICMI Aceh. Putra Aceh Besar. Email: hussainiyussuf85@gmail.com

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda