Beranda / Opini / Tsunami dan Narasi Aceh Sebagai Donya

Tsunami dan Narasi Aceh Sebagai Donya

Kamis, 28 Desember 2023 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
T. Muhammad Jafar Sulaiman

T. Muhammad Jafar Sulaiman. [Foto: Ist.]


DIALEKSIS.COM | Opini - Ingatan yang paling baik tentang Tsunami yaitu telah menghentikan perang puluhan tahun antar manusia di Aceh, dia hadir persis ketika di puncak penderitaannya, manusia masih saja enggan dan tidak mau berhenti untuk saling membunuh. Tsunami datang untuk menghentikan itu dengan caranya sendiri, diluar kuasa manusia, sehingga ada yang harus terenggut dan terambil oleh gelombang besar ini, mereka yang terenggut dan terambil oleh tsunami adalah orang-orang baik yang terhormat dan bermartabat.

Manusia tidak kuasa melawan alam, sehingga akhirnya harus menyerah dan menghentikan segala pertikaian. Alam memberikan penanda penting bagi Aceh, bahwa manusia tidak perlu sombong dengan menunjukkan kuasa bisa saling membunuh, bahkan dengan cara-cara yang paling keji, alam pun bisa melakukan lebih dari itu, alam bisa merenggut kehidupan melebihi kehidupan yang direnggut oleh manusia. Jika manusia saling merenggut kehidupan selama puluhan tahun, maka alam melalui gelombang besarnya hanya butuh sekejap saja untuk merenggut kehidupan secara massal. 

Kedahsyatan alam akhirnya menyadarkan manusia, bahwa mereka hanyalah debu, kerdil dan kecil dihadapan yang Maha Kuasa. Kita segera tersadar bahwa setelah tsunami, kita adalah bangsa yang ditakdirkan berada di daerah titik bencana yang bisa datang kapan saja, sehingga kewaspadaan kita belum berakhir, derita kita belum berakhir sehingga harus terus mempersiapkan kapasitas pengetahuan, teknologi dan spiritualitas kita untuk menghadapi segala bencana.

Sebelum tsunami datang, hari-hari di Aceh adalah derita, kecemasan dan kesuraman. Melewati hidup dalam genggaman darurat militer, darurat sipil, seolah tidak tahu kapan akan berakhir segala derita jiwa dan raga. Saat itu orang Aceh harus menjalani hidup tanpa kedaulatan sebagai manusia, karena kedaulatan telah beralih ke ujung senjata. Di titik ini, Aceh kemudian kembali di uji dengan hadirnya kiamat di depan mata, air yang menjadi gelombang besar dan menerjang daratan adalah kiamat dahsyat yang tidak akan mungkin bisa dilupakan begitu saja. 

Manusia pada saat itu hanya bisa saling memikirkan nasibnya sendiri, tidak punya kuasa untuk saling menolong yang lainnya secara sempurna. Saya sendiri langsung mengalami bagaimana manusia saat itu benar-benar lemah dan hanya bisa berdoa bahwa ada kehidupan baru setelah peristiwa ini. Akhirnya cahaya untuk Aceh itu benar-benar hadir memadamkan segala kegelapan untuk hidup normal sebagai manusia, tsunami memaksa kedua belah pihak yang bertikai untuk berdamai dan berakhirlah perang besar.

Ingatan sebagai Donya

Segala ketertutupan dan keterisolasian Aceh akibat konflik segera terbuka paska tsunami. Bencana tsunami Aceh bukanlah bencana daerah, apalagi bencana nasional, tapi bencana dunia sehingga berbagai negara, berbagai agama, berbagai suku bangsa masuk ke Aceh dan memberikan bantuan untuk Aceh. Saat itu, derita Aceh tidak mungkin bisa dibantu oleh orang Aceh sendiri, tetapi harus dibantu oleh orang lain dan orang-orang tersebut adalah orang “ban sigom donya”. 

Derita Aceh segera dirasakan oleh orang-orang donya, bahwa ada persoalan kemanusiaan serius di Aceh yang harus dibantu, murni persoalan kemanusiaan, saat itu Aceh menerima semua kebaikan masyarakat donya tersebut. Anak-anak Kristen, anak-anak Budha, anak-anak Kong Huchu dan berbagai agama lainya menyisihkan uang jajan mereka untuk membantu teman-teman seusia mereka yang sekarang ada di Aceh. 

Saat itu Aceh yang terisolir segera menjadi “gampong donya” atau disebut dengan “gampong global”, beragam manusia tumpah ruah ke Aceh. Momen ini sebenarnya adalah momen penting bagi Aceh untuk mempersiapkan diri menjadi bagian dari donya dengan sebenarnya, bukan kamuflase. Saat itu kita tahu bagaimana berhubungan dengan manusia yang tidak lagi kita lihat sebagai agama, suka, ras, warna kulit tetapi murni sebagai manusia yang baik dan berbuat kebaikan di Aceh. Sekarang, spirit itu semakin luntur seiring perjalanan waktu.

Salah satu mental sebagai donya itu adalah tahu berterima kasih dan bangsa Aceh sudah melakukan itu dengan membuat Monumen “Thanks To The World” di lapangan Blang Padang. Monumen ini adalah simbol dari rasa syukur rakyat Aceh kepada negara, lembaga-lembaga tinggi negara, relawan, LSM, perusahaan, sipil, dan militer baik nasional maupun internasional yang telah berpartisipasi dalam pembangunan Aceh setelah bencana Tsunami .

Selain monumen, rakyat Aceh juga membuat prasasti ucapan terima kasih kepada 53 negara yang telah memberikan kontribusi untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh melalui prasasti persahabatan. Prasasti tersebut diletakkan di sepanjang jogging track yang mengelilingi lapangan Blang Padang sepanjang 1 kilometer, plakat tersebut bertuliskan “Thanks You And Peace” dalam berbagai bahasa dunia. Plakat yang berbentuk kapal yang hampir tenggelam dan pada plakat tersebut tertulis nama negara, bendera negara, dan rasa syukur ekspresi ‘Terimakasih dan Damai’ dalam bahasa masing-masing negara.

Selain mental berterima kasih, Aceh seperti tidak punya mental donya yang lain. Setelah 19 tahun tsunami, spirit menjadi seperti donya tidak ada lagi. Setelah sekian belas tahun, kita ternyata semakin terisolasi dengan berbasis pada agama, sehingga kembali mengaburkan spirit sebagai donya. 

Kini, setelah 19 tahun tsunami, ingatan sebagai gampong donya itu kembali hadir karena Aceh sudah semakin jauh untuk menjadi donya dan cenderung mengekslusifkan diri sebagai bangsa berbasis agama, bukan bangsa berbasis donya. Segala kehidupan, segala kemajuan diukur berdasarkan nalar agama, bukan nalar donya, sehingga kita tidak tahu mencantolkan dan menempatkan dimana segala kemajuan yang ingin dicapai.

Semoga Aceh segera menjadi donya kembali!. [**]

Penulis: T. Muhammad Jafar Sulaiman

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda