Beranda / Opini / Nova Menembus ‘Langit Kaca’

Nova Menembus ‘Langit Kaca’

Kamis, 10 Desember 2020 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

M. Rizwan Haji Ali. [Foto: Ist.]

Pelantikan Nova Iriansyah sebagai Gubernur Aceh definitif masa sisa jabatan 2020-2022 menggantikan Irwandi Yusuf pada 5 November 2020 adalah sebuah fakta politik bahwa struktur politik Aceh sedang mengalami perubahan mendasar. Walaupun hal itu tidak direncanakan sebagai satu perubahan struktural, tetapi faktanya politik Aceh memperoleh dampak dari demokrasi langsung.

Hampir tidak terbayangkan dalam struktur politik Aceh pasca Perdamaian Helsinki, Aceh akan memiliki gubernur yang secara nasab berasal dari wilayah tengah Aceh. Tetapi, ternyata nasib bisa mengatasi persoalan nasab. Kesimpulan ini, bahwa sedang terjadi perubahan dalam struktur politik Aceh, barangkali bisa kita perdebatkan secara teoritis dan empiris. Namun, mari kita ikuti dulu jalur argumentasi sebagaimana akan saya sampaikan di batang tubuh tulisan ini dengan menggunakan paradigma atau pendekatan struktur dan agensi dari khazanah ilmu politik. 

Dalam ilmu politik dan ilmu sosial lainnya, pendekatan struktur-agensi merupakan pendekatan yang lazim untuk melakukan analisis sosial politik, kendatipun harus diakui adanya persaingan ontologis-epistemologis dari pendekatan-pendekatan lain. Pendekatan struktur-agensi diklaim oleh sejumlah ilmuan sosial terkemuka sebagai ‘isu teoritis paling penting dalam ilmu tentang manusia’. Bahkan, sejumlah ilmuwan politik bergerak lebih maju lagi dengan menegaskan bahwa ‘persoalan struktur-agensi harus dianggap sebagai inti cara kita memahami politik’.

Pendekatan struktur-agensi mengasumsikan bahwa realitas sosial diatur oleh kompleksitas interaksi antara struktur ekonomi, politik, dan ideologi yang memiliki otonomi relatif masing-masing antara satu sama lain. Sementara individu atau agen tidak mempunyai kekuatan otonom, mereka hanya mempunyai peran sejauh mereka adalah pembawa struktur. Individu bertindak sesuai dengan struktur yang tidak bisa mereka lihat, dan mereka tidak memiliki kesadaran tentang adanya struktur itu.  

Sebagai ilustrasi, seorang individu dari kaum minoritas yang gagal dalam sebuah kompetisi pencalonan pada sebuah jabatan mungkin akan mengatakan bahwa ia gagal karena tidak bisa melewati tahapan ujian yang sangat berat dan sukar yang tidak mungkin dicapai oleh kapasitas pribadinya yang tidak memperoleh pendidikan terbaik.  

Contoh kasus ini, dalam pandangan struktur-agensi dianggap sebagai sebuah realitas bahwa individu ini menjelaskan kegagalan itu karena kelemahan pribadinya, tanpa menyadari bahwa ia telah menjadi korban struktur sosial atau administratif yang tidak bisa dihindarinya. Dengan kata lain, seperti kata kaum strukturalis, ia telah dihambat oleh apa kadangkala disebut sebagai ‘langit-langit kaca’ (David Marsh dan Gerry Stoker, 2012), yaitu sebuah struktur diskriminatif yang bertindak secara halus menghambat mobilitas vertikal seseorang ke posisi tertentu. 

Langit Kaca

Langit kaca politik Aceh adalah sebuah kepercayaan bahwa para pemimpin Aceh harus berasal dari nasab-nasab utama yang berada di wilayah utama ke-Aceh-an. Dengan sebuah resiko untuk didebat, saya ingin mengklasifikasi nasab-nasab politik Aceh yang menjadi langit kaca diskriminatif dalam struktur politik Aceh. Katakanlah, dari wilayah Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur dan Langsa. Sementara Aceh Barat Selatan adalah nasab peringkat kedua, dan peringkat ketiga ditempati oleh wilayah tengah, dan peringkat keempat ditempati oleh Aceh luar seperti Aceh Tamiang, Simeulu, Singkil dan Subulussalam.

Walaupun langit-langit kaca semakin disadari oleh isu ALA-ABAS, tetapi isu ini tidak runtuh karena politik elektoral Indonesia sangat bertumpu pada jumlah, bukan pada representativeness (keterwakilan). Hal yang sama juga terjadi dalam sistem politik Indonesia yang hampir mustahil membicarakan presiden RI dari luar Jawa. Namun, sangat mungkin menempatkan wakil presiden dari luar Jawa.

Namun, ketika Nova Iriansyah yang dipersepsikan berasal dari nasab lapis ketiga dalam struktur politik Aceh tanpa henti melakukan ikhtiar politik dengan menempatkan dirinya sebagai cawagub dalam dua pilkada Aceh, dan akhirnya menjadi Gubernur Aceh definitif, maka sudah dapat dikatakan bahwa pandangan strukturalis yang melihat bahwa individu yang hidup dalam struktur hanya pembawa struktur, mengalami gugatan. Fakta mulai menunjukkan bahwa agensi bisa memiliki kemampuan untuk mempengaruhi struktur itu lewat interaksinya yang cermat, hati-hati dan penuh perhitungan terhadap struktur.

Kita tahu bahwa Nova Iriansyah pernah menjadi calon wakil gubernur Muhammad Nazar pada pilkada 2012. Walaupun kalah, Nova sudah memiliki modal politik karena berpasangan dengan salah satu tokoh populer dalam konflik Aceh. Nazar pernah menjadi ketua presidium SIRA yang pernah mengerahkan massa dalam jumlah besar untuk menuntut referendum Aceh. 

Pilkada 2017, Nova kembali maju mendampingi tokoh yang sangat populer di Aceh, yaitu Irwandi Yusuf. Kalkulasi politik yang matang dilakukan Nova. Kendati Partai Demokrat lebih besar dibanding partainya Irwandi, PNA, Nova bersedia menjadi wakil.

Dengan menjadi wakil gubernur dan kemudian menjadi gubernur definitif, Nova telah melompati dua struktur sekaligus. Pertama, melewati struktur ketiga naik ke struktur nasab politik level kedua dengan menjadi wakil gubernur. Kedua, mobilitas vertikalnya semakin mantap dengan menjadi gubernur Aceh definitif yang dulunya hanya ditempati oleh para elit dari nasab utama.

Demokrasi langsung yang telah berlangsung di Aceh bukan hanya memberi peluang kepada para mantan GAM untuk melakukan mobilitas vertikal ke jaringan utama politik Aceh. Tetapi juga membuka kesempatan kepada para tokoh dari wilayah ALA-ABAS untuk naik dalam jabatan-jabatan politik strategis di Aceh. 

Oleh sebab itu, politik identitas di Aceh semakin terkikis karena munculnya tekanan dari semakin kuatnya pengaruh individu atau agensi dalam politik Aceh. Apakah ini merupakan fenomena anomali yang dapat dikesampingkan dalam pengujian teori struktur-agensi, kita dapat mengujinya pada kasus-kasus politik lainya. Sejauh ini saya menyimpulkan bahwa dalam konfigurasi dan struktur politik Aceh Gubernur Nova Iriansyah adalah orang pertama yang menembus langit kaca itu.  

Penulis: M Rizwan Haji Ali

Pengajar di Prodi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Malikussaleh

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda