DIALEKSIS.COM | Opini - Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni bukan hanya momentum reflektif atas fondasi ideologis bangsa, tetapi juga kesempatan menelaah relasi dinamis antara Pancasila dan entitas-entitas lokal yang memiliki sejarah politik dan identitas tersendiri. Salah satu yang paling menonjol adalah Aceh -- sebuah wilayah dengan kekhasan sejarah, budaya, dan pengalaman politik yang menjadikannya unik dalam konstelasi kebangsaan Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia mengusung nilai-nilai universal: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan Sosial. Namun, dalam praktik historisnya, Pancasila juga mengalami ketegangan ketika diterapkan pada konteks-konteks lokal yang memiliki konstruksi nilai yang khas. Aceh adalah salah satu contoh nyata bagaimana nilai lokal dan nasional kadang bersinggungan, bahkan bersitegang secara ideologis dan politis.
Sejak awal kemerdekaan, Aceh menempati posisi strategis. Selain dikenal sebagai “Daerah Modal” karena peran krusialnya dalam mendukung revolusi kemerdekaan, Aceh juga mencerminkan model masyarakat Islam yang kuat dan berakar panjang. Namun relasi Aceh dan pusat berubah drastis setelah digabungkan dengan Sumatra Utara tanpa proses konsultatif pada era Demokrasi Terpimpin. Otonomi yang dijanjikan kepada Aceh pasca proklamasi pun tak kunjung direalisasikan.
Kekecewaan politik dan marginalisasi identitas lokal menjadi bibit dari ketegangan panjang. Puncaknya terjadi pada tahun 1976, ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyatakan perlawanan terhadap Jakarta. Dalam narasi GAM, Pancasila kerap diasosiasikan sebagai simbol penyeragaman pusat dan instrumen negara untuk menghapus keistimewaan Aceh. Sejak itu, selama hampir tiga dekade, Aceh menjadi medan konflik berdarah antara kekuatan militer Indonesia dan kelompok separatis bersenjata.
Penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) pada akhir 1980-an hingga 1998 memperburuk relasi antara negara dan rakyat Aceh. Di mata sebagian besar masyarakat Aceh, negara hadir dalam wajah koersif, bukan sebagai pelindung nilai-nilai Pancasila, melainkan seolah-olah pengingkaran atasnya. Nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, misalnya, sulit dirasakan dalam situasi kekerasan sistemik yang melanda tanah Serambi Mekkah itu.
Reformasi 1998 membuka ruang baru bagi Aceh untuk menyuarakan aspirasi dengan cara berbeda. Namun konflik belum berakhir. Ketegangan ideologis tetap hidup, terutama ketika Aceh mencoba menegaskan kembali jati dirinya sebagai wilayah dengan nilai-nilai Islam yang kuat dan identitas budaya tersendiri. Pancasila, dalam banyak pandangan lokal saat itu, dianggap terlalu "sekuler" dan "Jawa-sentris" untuk diterapkan mentah-mentah di Aceh.
Namun, sejarah mencatat bahwa konflik bukan tak bisa diselesaikan. Titik balik paling krusial terjadi pada 15 Agustus 2005, saat Pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki). Perjanjian ini mengakui secara formal status khusus Aceh, termasuk hak untuk mengatur pemerintahan sendiri dalam kerangka NKRI. Tak lama kemudian, lahirlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai manifestasi hukum dari kesepakatan tersebut.
MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh bukan sekadar penyelesaian konflik bersenjata, tetapi juga momen transformatif dalam relasi antara Pancasila dan Aceh. Untuk pertama kalinya, Pancasila tidak lagi dipahami sebagai alat pemaksaan ideologi negara, tetapi sebagai wadah nilai-nilai inklusif yang mampu merangkul keragaman, termasuk nilai-nilai keacehan yang berbasis syariat Islam.
Dengan status otonomi khusus, Aceh memperoleh hak untuk menerapkan hukum Islam dalam kerangka hukum nasional. Pemerintah Aceh memiliki lembaga legislatif lokal, partai politik lokal, dan sistem peradilan syariah yang diakui. Namun semua itu berjalan tanpa meninggalkan Pancasila sebagai ideologi pemersatu. Inilah bukti bahwa antara lokalitas dan nasionalitas tidak harus bertentangan, justru bisa saling menguatkan.
Di titik ini, terlihat bahwa transformasi relasi Aceh dan Pancasila bukanlah proses instan, tetapi hasil dari dialektika panjang antara konflik dan kompromi. Justru melalui jalur demokratis, Pancasila menemukan relevansinya kembali sebagai platform ideologis yang mampu mengakomodasi kekhasan daerah tanpa kehilangan arah nasionalnya.
Fenomena Aceh juga memberi pelajaran penting bahwa kekuatan Pancasila bukan terletak pada dogmatisme, melainkan pada elastisitasnya dalam menghadapi dinamika zaman. Pancasila yang hidup bukanlah yang dibacakan di podium-podium seremonial, tetapi yang diimplementasikan dalam kebijakan yang adil, inklusif, dan menghormati pluralitas bangsa.
Aceh hari ini bukan hanya bagian dari Indonesia, tetapi juga contoh bagaimana narasi kebangsaan bisa ditulis ulang tanpa senjata. Semangat keislaman di Aceh tidak diposisikan berlawanan dengan Pancasila, melainkan berdampingan secara harmonis. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial-politik Aceh yang semakin stabil, meski tantangan seperti kemiskinan, korupsi, dan radikalisme masih membayangi.
Keberhasilan rekonsiliasi antara Aceh dan pusat juga tak lepas dari kesediaan negara untuk berubah. Pancasila tak lagi dijadikan alat koersif, melainkan jembatan dialog. Pemerintah pusat tidak memaksakan keseragaman, melainkan memberi ruang bagi perbedaan yang konstruktif. Ini adalah bentuk praksis dari sila ke-3 dan ke-5: Persatuan Indonesia dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Tentu perjalanan ini masih panjang. Aceh, seperti wilayah lain di Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam konsolidasi demokrasi, pembangunan berkeadilan, dan penguatan masyarakat sipil. Namun relasi yang telah dibangun pasca-MoU Helsinki merupakan fondasi yang kuat untuk melangkah lebih jauh dalam bingkai NKRI yang ber-Pancasila.
Pada Hari Lahir Pancasila ini, kita diingatkan bahwa ideologi negara bukanlah sesuatu yang kaku dan beku. Ia adalah nilai hidup yang terus berkembang seiring zaman. Sejarah hubungan Aceh dan Pancasila menunjukkan bahwa dengan pendekatan dialogis, keadilan, dan pengakuan terhadap lokalitas, maka ideologi negara bisa menjadi alat rekonsiliasi, bukan sekadar simbol kekuasaan.
Aceh tidak pernah benar-benar menolak Pancasila. Yang ditolak adalah ketimpangan, kekerasan, dan ketidakadilan yang pernah dibungkus dengan nama ideologi. Kini, ketika Aceh diberi ruang untuk mengatur dirinya sendiri, kita melihat bagaimana nilai-nilai keislaman dan Pancasila bisa berjalan beriringan dalam satu semangat kebangsaan.
Dari titik ini, Indonesia bisa belajar. Pluralitas bukan ancaman, melainkan kekayaan. Pancasila bukan alat pemaksaan, melainkan rumah bersama. Dan Aceh, dengan segala kompleksitas sejarahnya, telah menjadi cermin bahwa rekonsiliasi adalah mungkin -- asal ada kemauan, keberanian, dan kebijaksanaan. [**]
Penulis: Nasrul Zaman (Pengamat Kebijakan Publik)