DIALEKSIS.COM | Opini - Tahun ini, PBAK (Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan) lagi-lagi datang tanpa makna. Disusun rapi, dibuka megah, tapi isinya? Kosong. Mahasiswa baru disuruh datang pagi-pagi, berdiri dengan penuh semangat yang masih mentah, lalu dipulangkan jam 10. Sisanya daring, lewat Zoom, dengan slide yang sangat membosankan.
Kampus menyambut mahasiswa baru seolah menyambut tamu tak diundang, dilakukan dengan terpaksa, diselesaikan dengan cepat, dan dilupakan begitu saja.
Tidak ada konsumsi. Tidak ada jamuan. Tidak ada sedikit pun tanda bahwa mereka ini manusia. Tak ada niat menyambut, yang ada hanya niat menggugurkan kewajiban. Bahkan air putih pun dianggap terlalu mewah untuk diberikan. Gila!. Di kampung, tamu datang jam 7 pagi masih dikasih kue dan kopi. Di kampus ini, tamu datang dikasih rundown, disuruh senyum, lalu diusir pelan-pelan dengan format hybrid yang katanya canggih.
Dan jangan pura-pura kaget. Format hybrid itu bukan inovasi. Itu akal-akalan kampus supaya nggak keluar duit. Supaya tidak ada kewajiban menyediakan makan siang. Disuruh datang sebentar, biar pulangnya sebelum lapar. Ini bukan efisiensi. Ini kelicikan yang dibungkus dengan tabel dan jadwal. Kita semua tahu itu. Tapi ya begitulah, kampus lebih pintar menyusun alasan daripada menyusun anggaran.
Lalu siapa yang disuruh kerja? Mahasiswa. Organisasi mahasiswa. Panitia. Disuruh siapkan teknis. Disuruh pegang mic. Disuruh cari mentor. Disuruh ikut gladi bersih yang lebih sering berantakan daripada bersih. Tapi soal logistik? Soal dana? Soal makan minum? Jawabannya "Efisiensi", “Itu bukan urusan ormawa”. Lah terus, kami ini apa? Hiasan? cuma pelengkap lembaga kampus?
Dan yang lebih membuat darah naik bukan cuma kampus. Tapi para ketua-ketua ormawa yang mulutnya mendadak bisu. Yang biasanya paling semangat foto bareng dan posting ucapan selamat datang untuk maba, tapi kali ini pura-pura tidak tahu. PBAK sudah berubah jadi parade kesenjangan dan ketidakadilan, tapi mereka memilih diam. Mungkin takut kehilangan jatah foto di depan mimbar. Atau takut tidak dilibatkan tahun depan. Lucu. Mereka menyebut dirinya pemimpin mahasiswa, tapi tidak berani memperjuangkan mahasiswa.
Ingat, ini bukan soal nasi kotak. Ini soal martabat. Mahasiswa baru datang dengan semangat, tapi yang mereka dapat hanya rundown dan sambutan. Mereka tidak dikenalkan kampus dengan cinta, tapi dengan formalitas yang membosankan. Dan para ketua ormawa diam, seolah mereka tidak lahir dari perjuangan, tapi dari lembar disposisi birokrasi.
Saya muak. Saya benar-benar muak. Kampus ini makin hari makin kehilangan nurani. Fakultas saya makin meninggalkan makna dakwah. Dan para pimpinan mahasiswa lebih sibuk mencuci tangan daripada menggenggam tangan mahasiswa baru. Kalau penyambutan saja sudah separah ini, jangan salahkan kalau maba jadi apatis.
Saya tidak sedang cari panggung. Saya marah karena ini keterlaluan. Kita mengaku kampus Islam. Fakultas dakwah. Tapi bahkan untuk menyambut saudara-saudara baru saja kita gagal total. Dakwah apa yang kita pertontonkan? Dakwah mimbar? Dakwah rundown dan PowerPoint? Dakwah yang melupakan nilai paling dasar. Memanusiakan manusia!
Dalam dakwah, kita diajarkan untuk menyambut yang lemah, mengangkat yang terpinggirkan, menyuarakan yang dibungkam. Tapi sekarang, mahasiswa baru datang disambut dengan panggung dingin dan barisan panitia yang juga bingung. Tak ada nilai. Tak ada perjuangan. Tak ada ruh.
Saya tidak akan diam. Dan saya juga tidak akan pura-pura sibuk membantu PBAK yang cuma formalitas ini. Kalau PBAK hanya jadi sarana pamer struktur, pamer jabatan, dan ajang memperkuat relasi dengan birokrasi, ya sudah saya tidak mau terlibat. Kalau harus menyambut mahasiswa baru dengan cara seperti ini, lebih baik tidak usah ada PBAK sama sekali.
Saya tidak akan ikut menari di atas panggung yang dibuat dari pengkhianatan. Saya tidak akan pura-pura menyambut, padahal dalam hati saya tahu bahwa ini semua adalah pesta atas nama efisiensi yang menghina mahasiswa baru. Saya lebih baik menyambut mereka di luar sistem. Di warung kopi. Tapi dengan kehangatan, ketulusan, dan keberanian untuk berkata: “Di kampus ini kamu akan belajar berpikir, berdialektika, bukan cuma mendengarkan mentah-mentah materi dari dosen.”
Dan kalau para ketua ormawa masih terus diam, ya silakan. Tapi jangan sebut diri kalian pemimpin. Kalian hanya petugas pelengkap rundown PBAK. Sementara kami yang memilih untuk melawan, akan tetap bersuara. Karena kampus ini terlalu lama dibiarkan berjalan di atas logika anggaran, bukan logika nurani.
Selamat datang, mahasiswa baru. Maafkan kami yang menyambutmu dengan sistem yang kering dan ketua-ketua yang apatis. Tapi ketahuilah, masih ada yang marah. Masih ada yang peduli. Dan selama itu ada, kami tidak akan diam.
Kalau harus dimulai dari satu suara, biarlah suara itu menjadi gangguan. Karena gangguan itulah yang mengingatkan bahwa kampus ini butuh dibangunkan. [**]
Penulis: Rahmatal Riza (Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry)