Selasa, 06 Mei 2025
Beranda / Opini / Penambahan 4 Satuan Batalyon Baru di Aceh: Langkah Mundur dari Perdamaian

Penambahan 4 Satuan Batalyon Baru di Aceh: Langkah Mundur dari Perdamaian

Selasa, 06 Mei 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Aiyub Abbas

Penulis: Aiyub Abbas Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Aceh. Foto: Dok Humas Pidie Jaya


DIALEKSIS.COM | Opini - Aceh, yang telah melewati jalan panjang penuh penderitaan akibat konflik bersenjata, kini berdiri tegak dalam semangat perdamaian. Perjanjian Damai Helsinki yang disepakati pada tahun 2005 menjadi fondasi bagi proses rekonsiliasi dan pembangunan Aceh pasca-konflik. Namun, kebijakan terbaru yang mengusulkan penambahan 4 satuan batalyon militer di Aceh seakan membawa kita mundur ke masa lalu. Keputusan ini memicu kekhawatiran masyarakat Aceh, yang merasa langkah tersebut bertentangan dengan semangat perdamaian yang telah kita raih bersama.

Perjanjian Damai Helsinki pada tahun 2005 tidak hanya menandai berakhirnya konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia, tetapi juga membuka pintu bagi kebijakan otonomi yang lebih besar untuk Aceh. Salah satu poin penting dalam perjanjian tersebut adalah pengurangan jumlah militer di Aceh, sebagai langkah untuk mewujudkan perdamaian yang lebih abadi. Masyarakat Aceh diharapkan untuk merasakan perubahan melalui pembangunan ekonomi, penguatan kelembagaan lokal, dan penyelesaian masalah-masalah sosial tanpa melibatkan lagi kekuatan militer secara berlebihan.

Namun, keputusan untuk menambah 4 satuan batalyon baru di Aceh jelas mengundang tanda tanya besar. Jika kita melihat jumlah satuan tempur dan batalyon peralatan tempur (Banpur) yang ada saat ini, Aceh sudah memiliki lebih dari 11 satuan militer. Dengan jumlah penduduk Aceh yang tidak lebih dari 5 juta orang, penambahan pasukan militer tersebut terasa berlebihan dan tidak mendesak. Keamanan di Aceh saat ini sudah cukup terjaga dengan adanya kekuatan militer yang ada. Jika tidak ada ancaman signifikan yang muncul, maka langkah ini justru bisa dianggap sebagai langkah mundur yang tidak mencerminkan semangat perjanjian damai.

Dalam konteks keamanan, Aceh telah beranjak dari masa konflik menuju kondisi yang lebih stabil. Ancaman yang ada saat ini, baik dari segi kejahatan terorganisir, kelompok bersenjata ilegal, maupun gangguan lainnya, belum cukup besar untuk membenarkan penambahan batalyon dalam jumlah yang signifikan. Bahkan dengan lebih dari 11 satuan tempur dan Banpur yang sudah ada, Aceh telah terbukti mampu mempertahankan kedamaian dan keamanan. Oleh karena itu, penambahan pasukan militer lebih kepada langkah yang tidak diperlukan dan tidak akan memberikan dampak positif terhadap situasi keamanan Aceh.

Selain itu, menambah jumlah pasukan di Aceh justru berisiko membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Pengalaman buruk selama konflik antara masyarakat dan militer masih menyisakan trauma. Langkah ini bisa menumbuhkan ketidakpercayaan antara masyarakat dan aparat, yang akan merusak proses rekonsiliasi sosial yang sudah berjalan cukup baik. Masyarakat Aceh ingin merasakan kedamaian dengan pendekatan berbasis pada pembangunan ekonomi dan penguatan institusi sipil, bukan dengan menambah jumlah pasukan yang hanya akan menambah ketegangan.

Penambahan batalyon baru di Aceh tidak didasarkan pada urgensi yang jelas. Dengan keamanan yang relatif stabil dan ancaman yang minimal, keputusan untuk menambah pasukan terasa tidak relevan. Bukankah lebih baik kita fokus pada masalah sosial yang lebih mendesak, seperti kemiskinan, pengangguran, dan pembangunan yang merata di seluruh Aceh? Sumber daya yang ada seharusnya lebih difokuskan untuk penguatan sektor-sektor yang dapat mempercepat proses pemulihan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Aceh.

Daripada menambah kekuatan militer, perhatian utama seharusnya diberikan pada penguatan sektor-sektor sipil yang lebih mendesak. Pemberdayaan ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan penyelesaian sengketa tanah adalah beberapa isu yang lebih relevan untuk diatasi saat ini. Program-program berbasis masyarakat yang melibatkan partisipasi aktif dari warga Aceh akan lebih memberikan dampak positif bagi pembangunan daerah dan menciptakan rasa aman yang lebih mendalam bagi masyarakat.

Selain itu, menguatkan sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur akan menciptakan dampak jangka panjang yang lebih signifikan dalam menciptakan kedamaian. Penyelesaian masalah sosial yang ada dan pembangunan ekonomi yang merata lebih akan membangun kepercayaan dan memperkuat rasa kebersamaan di Aceh.

Melangkah Maju dalam Perdamaian

Sebagai bagian dari masyarakat Aceh, saya percaya bahwa perdamaian sejati hanya bisa terwujud melalui pendekatan yang lebih humanis dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Penambahan batalyon tidak akan mempercepat tercapainya tujuan tersebut. Sebaliknya, kita harus melanjutkan langkah-langkah yang lebih produktif, seperti memperkuat sektor-sektor sipil dan memfokuskan sumber daya pada pembangunan yang lebih inklusif dan berbasis pada kebutuhan masyarakat.

Mari kita terus menjaga semangat perdamaian yang telah dibangun melalui perjanjian Helsinki, dan berusaha mewujudkan Aceh yang lebih sejahtera, damai, dan makmur. Penambahan batalyon baru di Aceh adalah langkah mundur yang harus dihentikan. Aceh membutuhkan pembangunan yang berkelanjutan, bukan tambahan kekuatan militer. Dengan demikian, kita dapat menjaga perdamaian sejati yang sudah kita capai bersama.

Menambah batalyon infanteri di Aceh saat ini sebenarnya dapat dipertanyakan urgensinya. Jika dilihat dari kondisi keamanan di Aceh yang relatif stabil setelah bertahun-tahun mencapai kedamaian pasca-konflik, penambahan pasukan seharusnya bukanlah langkah pertama yang perlu diambil. Berikut adalah beberapa pertimbangan terkait urgensi penambahan batalyon infanteri di Aceh, khususnya dalam kaitannya dengan pembangunan di wilayah ini.

Pertama, keamanan yang relatif stabil. Aceh saat ini sudah memiliki lebih dari 11 satuan tempur dan batalyon peralatan tempur (Banpur), dengan jumlah penduduk sekitar 5 juta orang. Kondisi keamanan Aceh saat ini dapat dikatakan sudah cukup stabil, dan tidak ada ancaman signifikan yang membutuhkan penambahan pasukan dalam jumlah besar. Bahkan, meskipun masih ada tantangan terkait kejahatan terorganisir atau potensi gangguan kecil lainnya, penambahan pasukan seharusnya tidak menjadi prioritas.

Kedua, ⁠fokus pada Pembangunan Sosial dan Ekonomi. Aceh memerlukan perhatian lebih besar dalam pembangunan ekonomi, pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan infrastruktur. Penambahan batalyon infanteri tidak akan menyelesaikan masalah-masalah mendasar yang dihadapi oleh masyarakat Aceh, seperti pengangguran, ketimpangan sosial, dan kurangnya akses ke pendidikan dan layanan kesehatan yang baik. Oleh karena itu, sumber daya yang ada seharusnya lebih difokuskan pada pembangunan yang dapat memberikan dampak langsung kepada masyarakat.

Ketiga, proses rekonsiliasi sosial. Keberadaan militer yang besar di Aceh dapat menimbulkan rasa ketidakpercayaan di kalangan masyarakat, terutama karena masa lalu Aceh yang penuh dengan ketegangan antara masyarakat dan militer. Penambahan batalyon infanteri dapat berisiko membuka luka lama yang belum sembuh dan menambah ketegangan antara pihak militer dan masyarakat sipil. Fokus yang lebih baik akan lebih mengarah pada penguatan hubungan antara masyarakat dan aparat negara melalui pendekatan yang lebih berbasis pada dialog dan pemberdayaan.

Keempat, pertimbangan ekonomi dan efisiensi. Penambahan batalyon infanteri membutuhkan anggaran yang besar, baik dari sisi operasional, logistik, maupun gaji pasukan. Dengan terbatasnya anggaran negara, lebih bijaksana untuk memprioritaskan investasi pada pembangunan yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, atau pemberdayaan ekonomi lokal. Ini akan memberi dampak jangka panjang yang lebih besar bagi kemajuan Aceh.

Keelima, pendekatan Pembangunan yang berkelanjutan. Keamanan di Aceh dapat lebih ditingkatkan melalui pendekatan berbasis pembangunan sosial dan ekonomi, bukan dengan menambah kekuatan militer. Penyelesaian sengketa lahan, pembukaan lapangan kerja, serta pemberdayaan masyarakat lokal dalam sektor-sektor strategis seperti pertanian, perikanan, dan industri kreatif akan menciptakan rasa aman yang lebih tahan lama dan menyeluruh. Ketika masyarakat merasa sejahtera dan diberdayakan, stabilitas keamanan akan lebih terjaga.

Ketujuh, menjaga Spirit Perdamaian. Penting untuk diingat bahwa penambahan pasukan militer yang besar justru bisa menciptakan ketidakpastian dan kembali memperburuk citra Aceh sebagai daerah yang rawan konflik. Seharusnya kita menjaga dan memperkuat semangat perdamaian yang telah tercipta melalui perjanjian damai Helsinki dengan cara yang lebih konstruktif, yaitu dengan memperkuat sektor-sektor sipil dan pembangunan yang dapat mengurangi potensi ketegangan.

Secara keseluruhan, urgensi penambahan batalyon infanteri di Aceh tidaklah kuat jika kita melihat kondisi terkini yang stabil dan mendukung pembangunan sosial dan ekonomi. Alih-alih memperbesar kehadiran militer, sebaiknya fokus utama pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program pembangunan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat Aceh. Penambahan batalyon tidak akan menyelesaikan masalah pembangunan yang lebih mendesak, seperti pengentasan kemiskinan, pemerataan pembangunan, dan penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi tantangan ke depan.

Penulis: Aiyub Abbas Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Aceh

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
penghargaan mualem
diskes
hardiknas