DIALEKSIS.COM | Opini - Perbincangan tentang kedekatan emosional antara Presiden Prabowo Subianto dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf akrab dipanggil Mualem tak lagi sekadar bisik-bisik politik daerah. Dari panggung pendaftaran capres hingga upacara militer dan forum internasional, jejak digital memperlihatkan sebuah narasi yang konsisten dari dua figur politik yang pernah berada di sisi berlawanan kini menunjukkan keintiman publik yang sulit diabaikan.
Jejak pertama yang sering dikutip pendukung adalah pengakuan langsung Prabowo. Saat mendaftar ke KPU di Indonesia Arena, Prabowo menyebut Muzakir Manaf sebagai salah satu pendukung kuat Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Pernyataan singkat itu “Salah satu pendukung kita yang paling kuat, adalah Mualem, Ketum Partai Aceh. Terima kasih Mualem” lalu dipetik sebagai indikator penting hubungan politik kedua tokoh tersebut. Pernyataan ini bukan sekadar sapaan protokoler; di konteks kampanye nasional, pengakuan semacam itu mengirim sinyal politik dan simbolik yang kuat kepada pemilih Aceh maupun panggung nasional.
Latar belakang Muzakir Manaf sendiri memuat dimensi historis yang menarik: bekas Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dalam perjalanan hidupnya berubah dari komandan lapangan menjadi politisi dan kini menjabat sebagai Gubernur Aceh. Julukan “Mualem” yang melekat karena reputasinya pada kemampuan militer dan kepemimpinan kini dibawa ke ruang politik formal, termasuk sebagai Ketua Umum Partai Aceh sejak 2007. Profil dan pergerakan Mualem versi registrasi publik memperlihatkan transformasi dari aktor konflik menjadi aktor pemerintahan.
Momen-momen protokoler menguatkan kesan kedekatan itu. Pada upacara Parade Senja di Akademi Militer (Akmil) Magelang, 27 Februari 2025, publik menyaksikan interaksi hangat antara Prabowo dan Mualem: salam hormat, jabat tangan, bahkan tepukan di punda gesture yang, dalam budaya politik, menyiratkan keakraban dan penghormatan lebih dari sekadar etika protokoler. Adegan-adegan seperti ini kemudian beredar luas di kanal-kanal berita dan jejaring sosial, menjadi bukti visual yang mudah dipahami publik tentang bagaimana keduanya menempatkan hubungan personal di depan kamera.
Tidak sekadar momen domestik, bentuk pengakuan itu juga muncul di panggung internasional. Saat Prabowo tampil sebagai pembicara mengenai perdamaian dan rekonsiliasi di St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF), contoh rekonsiliasi antara mantan lawan menjadi bagian dari narasinya, bagaimana tokoh yang semula berkonflik kini mampu berdamai dan bersinergi dalam negeri. Penggalan pidato dan pujian publik kepada Mualem yang tersebar di kanal digital semakin memperkuat narasi rekonsiliasi dan persatuan politik. Sumber-sumber lokal yang mengangkat jejak digital aktivitas Mualem pasca-dilantik turut mendokumentasikan agenda-agenda yang menempatkan hubungan lintas elite politik sebagai bagian dari strategi politik dan pemerintahan.
Jejak digital terbaru semakin menempatkan momen kedekatan itu dalam suasana krisis kemanusiaan. Ketika Presiden Prabowo tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda untuk meninjau penanganan banjir dan longsor, interaksi di landasan antara Presiden dan Gubernur Aceh menunjukkan kehangatan yang lebih nyata terlihat perilaku sambutan, pelukan, dan pembicaraan singkat yang berlangsung di tengah aktivitas mekanis pesawat kepresidenan. Tayangan-sayangan televisi lokal yang merekam momen itu kemudian menjadi bahan perbincangan luas bukan hanya soal protokol kenegaraan, tetapi soal makna simbolik kepemimpinan yang hadir di tengah korban bencana.
Dari sudut pandang politik, kedekatan semacam ini menghadirkan sejumlah peluang dan dinamika yang menarik. Pertama, dalam konteks elektoral, pengakuan dari tokoh nasional terhadap pemimpin daerah berpotensi memperkuat keyakinan pemilih, terutama bila pemimpin lokal tersebut memiliki basis dukungan kuat seperti yang ditunjukkan Partai Aceh pada pemilu sebelumnya. Kedua, pada aspek legitimasi, perjalanan seorang mantan komandan yang kini memimpin daerah dan mendapatkan apresiasi dari Presiden memperkuat narasi rekonsiliasi serta menguatkan legitimasi politik pasca-konflik. Ketiga, dari sisi dinamika politik, hubungan yang semakin terbuka ini dapat mendorong dialog lebih luas antar-elite, meski di saat yang sama tetap perlu memastikan agar kedekatan personal tidak menimbulkan ruang salah persepsi terkait batas antara hubungan pribadi dan kepentingan publik.
Namun penting untuk membedakan antara fakta yaitu pertemuan, salam, pelukan, pengakuan publik dengan tafsir: kedekatan emosional tidak otomatis berarti pengaruh kebijakan yang tidak proporsional, juga bukan jaminan bahwa seluruh keputusan publik dibentuk oleh relasi personal. Jejak digital menawarkan rekaman; tafsir atas rekaman itu berada di ranah analisis politik dan nilai-nilai etika publik.
Bagi masyarakat Aceh dan publik nasional, kisah Prabowo - Mualem memuat pelajaran ganda. Di satu sisi, ia menegaskan bahwa politik rekonsiliasi dapat membawa transformasi dari konflik menuju pemerintahan bersama. Di sisi lain, ia menuntut kewaspadaan rekonsiliasi yang sehat harus dibarengi akuntabilitas dan kepastian bahwa kepentingan publik tidak tergeser oleh hubungan elite.
Di akhir rangkaian jejak ini, ada satu catatan yang tak boleh luput: politik adalah seni bersekutu dan seni mengabdi. Ketika dua tokoh yang pernah berseberangan kini berdiri bersama di depan publik, publik berhak bertanya bukan sekadar tentang kedekatan mereka, tetapi tentang bagaimana kedekatan itu diterjemahkan menjadi kerja nyata untuk rakyat. Jejak digital mungkin menunjukkan kehangatan, tetapi rakyat menilai dari buah pertanyaan apakah kebijakan pro-rakyat akan mengalir dari keakraban itu, apakah perlindungan terhadap korban bencana akan diperkuat, apakah janji-janji pembangunan akan ditepati.
Tulisan menyimpulkan kedekatan antar pemimpin bukan akhir dari cerita, melainkan pembuka babak baru. Jika keakraban itu dipasangi kompas moral dan mekanisme akuntabilitas yang jelas, ia bisa menjadi modal rekonsiliasi yang memperkuat negeri. Namun tanpa itu, keakraban berisiko menjadi panggung simbolik tanpa substansi. Oleh karena itu, masyarakat sebagai pengamat sekaligus penghakiman terakhir harus terus mengawasi menilai bukan hanya dari salam dan pelukan, tetapi dari kebijakan yang menyentuh hidup paling rentan. Di situlah makna sejati dari sebuah persahabatan politik bukan sekadar terlihat dekat, melainkan terbukti berguna.
Penulis: Aryos Nivada, Pendiri Jaringang Survei Inisiatif dan Lingkar Sindikasi