DIALEKSIS.COM | Opini - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah menjadi perhatian penting dalam sistem demokrasi elektoral Indonesia. Putusan tersebut menyatakan bahwa mulai tahun 2029, pelaksanaan pemilihan umum akan dipisahkan antara pemilu nasional (untuk memilih anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden) dan pemilu daerah atau lokal (untuk memilih anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota). Pemisahan ini akan dilakukan dengan jeda waktu antara dua hingga dua setengah tahun.
MK menyampaikan hal ini sebagai hasil pengujian atas Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang - Undang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Dalam putusannya, MK juga mengakui akan adanya masa transisi yang perlu diatur dengan cermat, termasuk masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 yang akan diperpanjang tanpa pemilihan ulang.
Namun, di tengah pengaruh besar putusan tersebut, publik Indonesia tampak pasif. Minimnya respons publik dapat dimaknai sebagai penerimaan atas prinsip finalitas dan kekuatan hukum mengikat (binding force) dari putusan MK. Tetapi, apakah final dan mengikat berarti tidak boleh dikritisi? Apakah putusan tersebut sudah benar-benar mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan?
Menurut filsuf hukum Gustav Radbruch, hukum yang ideal seharusnya memenuhi tiga nilai utama: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Dalam konteks ini, pertanyaan besar muncul: apakah Putusan MK ini telah memenuhi ketiga nilai tersebut?
Jika kita tinjau dari ketiganya, keputusan MK justru membuka ruang ketidakpastian, khususnya dalam aspek legalitas perpanjangan masa jabatan anggota DPRD yang tidak memiliki dasar hukum eksplisit dalam regulasi yang berlaku saat ini. Hal ini tentu menjadi celah ketidakjelasan yang berpotensi menimbulkan ketegangan konstitusional.
Pasal 22E UUD 1945 secara eksplisit menyebut bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilu tersebut diperuntukkan bagi pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. Dengan demikian, pemilu yang serentak setiap lima tahun adalah amanat konstitusi.
Hans Kelsen, dalam teori hierarki norma (Stufenbau Theory), menegaskan bahwa konstitusi merupakan "Grundnorm" atau norma dasar yang menjadi puncak dari seluruh sistem hukum. Dalam sistem perundang-undangan nasional, UUD 1945 menjadi sumber dari segala sumber hukum, sebagaimana ditegaskan pula dalam Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan.
Jika MK sebagai penjaga konstitusi justru membuat tafsir yang melanggar prinsip dasar UUD, maka integritas konstitusi itu sendiri yang dipertaruhkan. Di sinilah muncul pertanyaan etis dan filosofis mengenai orientasi putusan MK apakah benar ditujukan untuk menguatkan demokrasi atau justru menundukkan prinsip demokrasi di bawah kepentingan teknokratis atau kekuasaan.
Keputusan untuk memperpanjang masa jabatan anggota DPRD tanpa pemilihan dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak konstitusional rakyat untuk memilih wakilnya. Hak memilih adalah fondasi demokrasi. Jika hak tersebut dirampas dengan dalih transisi sistem, maka secara tidak langsung prinsip kedaulatan rakyat sedang dikerdilkan.
Teori kontrak sosial yang dikembangkan John Locke menyatakan bahwa kekuasaan politik hanya sah apabila berasal dari persetujuan rakyat. Tidak ada kekuasaan yang sah tanpa legitimasi dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Dengan kata lain, legitimasi anggota DPRD harus diperoleh melalui proses pemilu, bukan melalui perpanjangan masa jabatan oleh undang-undang.
Maka, jika pemerintah atau legislatif menetapkan perpanjangan masa jabatan DPRD tanpa pelaksanaan pemilu, maka ini jelas mencederai prinsip dasar demokrasi dan melanggar hak rakyat.
Memang benar bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding), sebagaimana ditegaskan dalam asas hukum 'Res Judicata Pro Veritate Habetur' bahwa putusan hakim harus dianggap benar dan tidak dapat dipersoalkan kembali. Namun, itu tidak berarti bahwa putusan tersebut berada di luar kritik akademik dan publik. Justru dalam negara hukum demokratis, setiap putusan harus terus diuji secara akademis, etik, dan moral.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini bisa menjadi bahan kajian serius bagi para pakar hukum tata negara, akademisi, dan praktisi hukum agar memberikan kritik konstruktif. Peradilan konstitusi harus dijaga dalam kerangka akuntabilitas dan transparansi, agar tidak menjauh dari prinsip demokrasi dan konstitusi itu sendiri.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini telah menimbulkan dilema serius. Di satu sisi, ia berupaya menyederhanakan tahapan pemilu dengan memisahkannya demi efisiensi. Namun di sisi lain, putusan ini justru mencederai asas-asas konstitusional, mengabaikan hak politik rakyat, dan membuka potensi pembentukan norma baru yang tidak memiliki dasar hukum yang memadai.
Maka, sudah sepatutnya kita sebagai warga negara, akademisi, dan pegiat demokrasi tetap memberikan pengawasan dan masukan kritis. Sebab dalam demokrasi, tidak ada satu pun lembaga yang kebal terhadap evaluasi publik, termasuk Mahkamah Konstitusi.
Penulis: Bahrul Ulum, S.H., M.H – Praktisi Hukum