DIALEKSIS.COM | Opini - Setiap tahun, ketika tanggal 4 Desember tiba, Aceh menapaki ruang ingatan yang panjang, sebuah momen yang dahulu identik dengan ketegangan, kini berubah menjadi ruang refleksi tentang masa lalu dan arah masa depan. Hari lahir Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamasikan Hasan Tiro pada 4 Desember 1976 bukan lagi berada dalam bayang-bayang senjata atau patroli militer, melainkan dalam suasana doa, tausiah, dan kegiatan sosial yang menandai berjalannya dua dekade masa damai.
Namun, suasana yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Jika biasanya peringatan hari lahir Gerakan Aceh Merdeka diwarnai spanduk, zikir akbar, dan temu kangen para mantan kombatan, tahun ini banyak gampong justru sibuk membersihkan lumpur, menata tenda pengungsian, dan menghitung kerugian pasca banjir bandang yang melanda hampir seluruh wilayah provinsi pada November 2025.
Data Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menunjukkan, sepanjang 18-27 November 2025, banjir dan longsor melanda 16 kabupaten/kota di Aceh, mulai Pidie, Aceh Besar, Pidie Jaya, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Subulussalam, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Singkil, Aceh Utara hingga Aceh Selatan. Sedikitnya 33.817 kepala keluarga (119.988 jiwa) terdampak dan 6.998 KK atau 20.759 jiwa mengungsi, dengan satu orang dilaporkan hilang terseret arus di Bener Meriah.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, dalam rangkaian bencana hidrometeorologi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, terdapat ratusan korban jiwa. Untuk Aceh sendiri, pada hari-hari awal status tanggap darurat tercatat puluhan orang meninggal, puluhan hilang, dan puluhan ribu keluarga mengungsi.
Di berbagai titik, akses jalan terputus, jembatan rusak, dan sejumlah wilayah masih terisolasi. Pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, TNI-Polri, PLN maupun Kementerian Komunikasi dan Digital bergerak memulihkan listrik, membuka akses jalan, dan menggelar internet darurat di area bencana.
Namun para pakar hidrologi dan kehutanan dari UGM mengingatkan, banjir bandang bukan semata soal hujan lebat. Kerusakan ekosistem hutan di hulu daerah aliran sungai hilangnya tutupan hutan dan berkurangnya kapasitas tanah menyerap air membuat kawasan hulu kehilangan kemampuan meredam curah hujan tinggi, memicu erosi masif, longsor, dan banjir bandang di hilir.
Dalam konteks inilah, peringatan 4 Desember 2025 tidak bisa hanya dipahami sebagai ritual historis mengenang perjuangan bersenjata. Di tengah tenda pengungsian yang berdiri di lapangan meunasah, di antara warga yang kehilangan rumah dan ladang, dan di bawah langit yang menurut BMKG masih akan didominasi hujan hingga akhir Desember.
4 Desember seharusnya menjadi momen refleksi, apa makna perdamaian jika rakyat masih sedemikian rentan terhadap bencana yang sebenarnya bisa dikurangi risikonya? Konflik bersenjata Aceh resmi berakhir dengan penandatanganan MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan GAM pada 15 Agustus 2005, yang menegaskan komitmen penyelesaian konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi rakyat Aceh.
Kesepakatan itu kemudian diterjemahkan ke dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006, yang memberi Aceh kewenangan khusus mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam, perencanaan tata ruang, serta pembentukan qanun sebagai payung hukum lokal.
Dengan kata lain, perdamaian memberikan Aceh alat politik dan hukum untuk mengelola hutan, sungai, dan ruang hidupnya secara lebih mandiri dan berkeadilan. Ketika banjir bandang November 2025 menghancurkan rumah, jembatan, dan kebun rakyat di 16 kabupaten/kota, pertanyaan yang mengemuka bukan hanya mengapa hujan begitu lebat, tetapi juga apakah kewenangan khusus yang diperoleh pasca-Helsinki sudah sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk membangun sistem tata ruang dan perlindungan lingkungan yang tangguh?
Di banyak lokasi banjir, warga menyebutkan faktor-faktor yang sudah lama dikenali mulai dari pendangkalan sungai, alih fungsi lahan di hulu, kebun sawit dan tanaman komersial di lereng-lereng curam, hingga minimnya pemeliharaan jaringan drainase di kota-kota. Laporan BPBA sendiri menegaskan bahwa rangkaian banjir November 2025 dipicu kombinasi curah hujan tinggi, angin kencang, dan kondisi geologi yang labil sehingga memicu banjir, tanah bergerak, dan longsor di banyak titik.
Ini artinya, bencana yang terjadi bukan sekadar “musibah alam”, tetapi juga cermin kualitas tata kelola ruang dan lingkungan.
Di sinilah peringatan 4 Desember layak dimaknai ulang. Selama puluhan tahun, 4 Desember identik dengan narasi heroik tentang perlawanan, martabat, dan identitas politik. Kini, di tengah krisis iklim dan kerusakan lingkungan, musuh baru Aceh bukan lagi pasukan bersenjata, melainkan kombinasi cuaca ekstrem dan kerentanan struktural yang lahir dari pilihan kebijakan.
Banjir bandang yang menghantam rumah-rumah warga di Bener Meriah, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Singkil, dan kabupaten lain tidak bertanya apakah penghuninya mantan kombatan, aparat, petani, atau pedagang, semuanya menjadi korban dalam derajat yang sama.
Peringatan 4 Desember 2025 seharusnya menjadi mimbar moral untuk menggeser fokus dari glorifikasi masa lalu ke agenda penyelamatan masa depan. Para mantan kombatan yang kini duduk di partai lokal dan lembaga legislatif daerah, para birokrat yang memegang kewenangan perizinan dan tata ruang, para ulama yang setiap pekan mengisi mimbar khutbah, serta jaringan masyarakat sipil dan akademisi, punya tanggung jawab yang sama yaitu menjadikan damai sebagai kekuatan untuk melindungi rakyat dari bencana yang bisa diperkecil risikonya.
Dalam kerangka itu, ada setidaknya tiga pesan penting yang relevan disuarakan pada 4 Desember pasca banjir bandang November 2025. Pertama, perdamaian harus diterjemahkan ke dalam keberpihakan nyata pada keselamatan warga dan kelestarian ruang hidup. Ini berarti peninjauan serius terhadap praktik alih fungsi lahan di kawasan hulu DAS, pengendalian deforestasi, penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang, serta rehabilitasi hutan dan daerah resapan air. Analisis akademisi UGM bahwa kerusakan ekosistem hutan memperparah banjir bandang, seharusnya menjadi dasar ilmiah untuk kebijakan konkret, bukan sekadar catatan seminar.
Kedua, peringatan dini harus dipadukan dengan kapasitas respons yang memadai di tingkat gampong. BMKG mengakui sudah mengeluarkan peringatan cuaca ekstrem beberapa hari sebelum bencana, tetapi apakah informasi itu benar-benar sampai dan dipahami di tingkat desa? Apakah struktur pemerintahan Aceh pasca-UUPA sudah membangun sistem kesiapsiagaan bencana di level mukim dan gampong, lengkap dengan jalur evakuasi, titik kumpul aman, dan edukasi berkala? Di era otonomi khusus, kegagalan membangun kapasitas lokal seperti ini tidak bisa lagi hanya disandarkan pada “keterbatasan pusat”.
Ketiga, 4 Desember perlu menjadi momentum konsolidasi politik untuk menjadikan isu iklim dan bencana sebagai agenda utama “dividen perdamaian”. Selama ini, banyak energi politik Aceh terkuras pada perdebatan symbol bendera, lambang, dan dinamika pusat-daerah, sementara agenda adaptasi iklim, penguatan infrastruktur hijau, dan perlindungan kelompok rentan (petani kecil, perempuan kepala keluarga, anak-anak) belum mendapat perhatian sepadan. Padahal, makna “damai yang bermartabat” sebagaimana ditegaskan dalam MoU Helsinki sulit diwujudkan jika setiap musim hujan rakyat harus berulang kali mengungsi.
Dalam perspektif ini, tenda pengungsian di halaman meunasah dan tumpukan lumpur di jalan desa pasca banjir bandang bukan sekadar “luka November”, melainkan cermin kualitas perdamaian. Peringatan 4 Desember yang hanya berisi pidato seremonial tanpa menyentuh nasib puluhan ribu warga terdampak banjir akan terasa hampa. Sebaliknya, ketika tokoh-tokoh Aceh memanfaatkan momentum ini untuk mempertegas komitmen pada reformasi tata ruang, penegakan hukum lingkungan, dan penguatan sistem peringatan dan mitigasi bencana, maka 4 Desember benar-benar menjadi hari di mana sejarah perjuangan dipertautkan dengan tugas zaman hari ini.
Dua puluh tahun lalu, Aceh bangkit dari reruntuhan konflik bersenjata dan tsunami. Tahun 2025, Aceh dihadapkan pada babak baru yaitu bagaimana membuktikan bahwa damai bukan hanya ketiadaan tembakan, tetapi juga kehadiran negara dan pemerintah daerah yang mampu melindungi warganya dari ancaman bencana yang semakin sering terjadi.
Jika 4 Desember mampu menjadi hari untuk memperbarui janji kolektif itu dan janji untuk berhenti memperdagangkan ruang hidup rakyat demi keuntungan jangka pendek maka luka banjir bandang November 2025, setidaknya, melahirkan satu pelajaran penting yakni perdamaian sejati tidak hanya mengakhiri perang, tetapi juga memaksa kita menjaga bumi dan manusia yang hidup di atasnya.
Penulis: Safriady Pemerhati Perdamaian Aceh dan Kolumnis Dialeksis