DIALEKSIS.COM | Opini - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh pada akhir November 2025 berdampak dahsyat. Dalam sepekan, 16 hingga 17 kabupaten/kota di Aceh porak-poranda. Gubernur Aceh menetapkan status Tanggap Darurat mulai 28 November 2025 hingga 11 Desember 2025 dan diperpanjang mulai 12 Desember hingga 25 Desember 2025.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 14 Desember 2025 mencatat lebih dari 1.006 orang meninggal dan 212 hilang, dengan 5.400 orang luka-luka akibat banjir bandang dan longsor yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bencana ini berdampak luas di 52 kabupaten/kota tiga provinsi Sumatra, menjadikannya tragedi hidrometeorologi terbesar sejak tsunami 2004 di Aceh.
Kerusakan infrastruktur dan permukiman sangat masif. Sedikitnya 158.000 rumah warga rusak (ringan hingga berat). Selain itu, 1.200 fasilitas umum, 219 fasilitas kesehatan, 581 sekolah, dan 434 rumah ibadah turut rusak. 145 jembatan putus mengisolasi daerah, bahkan Aceh Tengah dan Bener Meriah sempat terkurung total. Dampak ini melumpuhkan aktivitas ekonomi dan pelayanan dasar warga. Pascatanggap darurat, Aceh menghadapi pekerjaan rumah besar untuk rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) jangka panjang untuk memulihkan kehidupan masyarakat.
Pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh merespons dengan membentuk satuan tugas khusus untuk percepatan pemulihan. Presiden Prabowo Subianto memastikan segera membentuk badan atau satgas rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sumatra. Kementerian PUPR telah digerakkan membangun 2.000 unit hunian sementara dan tetap bagi korban di Aceh, Sumut, dan Sumbar.
Lebih dari seribu alat berat, jembatan darurat Bailey, dan bantuan logistik dikerahkan. Pemerintah pusat mengklaim APBN siap Presiden menegaskan “uangnya ada” berkat efisiensi anggaran. Bahkan dana tanggap darurat Rp4 miliar per kabupaten/kota terdampak sudah dikucurkan ke 52 daerah di Sumatra dalam hitungan hari.
Namun, besarnya skala kerusakan membuat bantuan tersebut ibarat buah tangan yang jauh dari cukup. Ketua Komisi V DPR RI Lasarus menilai Rp4 miliar per daerah “gak ada apa-apanya” dibanding kebutuhan nyata di lapangan. Ia mengibaratkan, membangun satu gorong-gorong sungai saja bisa menelan Rp4 miliar. Padahal ratusan jembatan putus, ribuan rumah hancur, jalan nasional terbelah kerugian infrastruktur mencapai triliunan. BNPB memperkirakan Aceh membutuhkan Rp25,41 triliun untuk rehab-rekon, terbesar di antara provinsi terdampak (Sumut Rp12,88 T, Sumbar Rp13,52 T). Angka ini setara US$1,6 miliar lebih, mendekati separuh anggaran tahunan Pemerintah Aceh. Jelas, APBD Aceh tak akan sanggup menanggungnya sendiri.
Jika beban sepenuhnya pada APBD, proses pemulihan akan berjalan sangat lambat dan memakan waktu puluhan tahun, seperti diingatkan Muhammad Zubir dari YARA. Dengan kata lain, tanpa dukungan kuat nasional dan internasional, masyarakat Aceh bisa menanti hingga belasan tahun untuk bangkit.
Belajar dari Tsunami 2004: Pentingnya Dukungan Internasional
Pengalaman tsunami Aceh 2004 memberikan pelajaran berharga tentang skema rehab-rekon. Saat itu, dunia bersatu membantu Aceh. 463 organisasi lokal dan internasional turun tangan membangun “Aceh baru”. Bantuan global terkumpul mencapai US$7,7 miliar (sekitar Rp70 triliun saat itu) jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk satu bencana di negara berkembang. Pemerintah Indonesia membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dengan mandat empat tahun untuk mengoordinasi proyek raksasa ini.
Hasilnya, dalam kurun hanya lima tahun, Aceh berhasil dibangun kembali. Dibangun 140.000 rumah baru, 3.700 km jalan, 1.700 sekolah, hampir 1.000 gedung pemerintahan, dan puluhan pelabuhan serta bandara. Dunia memuji tagline “build back better”, membangun lebih baik dari sebelumnya.
Meski tidak sempurna, kisah rekonstruksi tsunami membuktikan bahwa dukungan internasional masif mampu mempercepat pemulihan Aceh. Bayangkan bila saat itu Indonesia bekerja sendiri tanpa donor asing; mustahil capaian serupa terwujud hanya dalam 4-5 tahun.
Pendanaan dan keahlian global lah yang mendorong percepatan. Bahkan, BRR kala itu merekrut diaspora dan ahli mancanegara, memastikan alih pengetahuan. Dengan bantuan 450+ LSM asing dan puluhan negara, Aceh pulih dalam 5 tahun. Maka pertanyaan krusialnya: tanpa bantuan internasional, berapa dekade Aceh akan butuh untuk pulih dari banjir bandang 2025?
Sejauh ini, respons global terhadap banjir Sumatra 2025 tak sedramatis tsunami. Bencana ini melanda banyak wilayah tapi dengan korban jauh lebih kecil dibanding tsunami. Meski demikian, kondisinya tetap darurat. Gelombang bendera putih berkibar di berbagai penjuru Aceh sebagai sinyal keputusasaan warga yang merasa bantuan lamban.
Di kampung, posko, bahkan kantor camat, warga dan aparatur mengibarkan bendera putih bukan tanda menyerahnya rakyat Aceh, melainkan tanda protes bahwa negara tak kunjung hadir memenuhi hak mereka. Mereka kelaparan di pengungsian, logistik menipis, bantuan “mengalir bak keran mampet”. “Masyarakat menyerah dan butuh bantuan. Kami tidak sanggup lagi,” keluh Bahtiar, warga Aceh Timur. Sudah tiga pekan bencana, bantuan dirasa sangat minim, hingga warga terpaksa membuka dapur umum mandiri dengan bahan seadanya yang kian menipis.
Fenomena bendera putih ini harus dibaca serius oleh pemerintah pusat. Ia merupakan rapor merah: pertanda warga menilai negara “tidak hadir” di Aceh. Bahkan sejumlah aksi demonstrasi di Banda Aceh pada 18 Desember 2025 membawa bendera putih dan mendesak pemerintah menetapkan status Bencana Nasional. Mereka berharap, dengan status nasional, skala bantuan dan koordinasi meningkat drastis.
“Bendera dikibarkan sebagai tanda darurat dan meminta dunia internasional membantu Aceh,” ujar Bahtiar. Artinya, rakyat Aceh sendiri memanggil uluran tangan dunia. Ini tamparan bagi kita: jangan sampai demi gengsi menolak bantuan asing, korban justru menderita. Ego birokrasi pusat harus dikendalikan fokuslah pada kebutuhan korban.
Patut disayangkan, menurut Posko Darurat Aceh, sejumlah tawaran bantuan internasional (helikopter, tim SAR asing) yang sebenarnya siap membantu terkendala aturan dan prosedur di Indonesia. Karena status belum bencana nasional, regulasi memperlambat izin masuk bantuan luar negeri. Hal-hal seperti ini perlu evaluasi segera. Saat tsunami 2004, Indonesia cepat membuka pintu bagi relawan dan logistik asing, menyadari keterbatasan kapasitas domestik.
Kini pun, jangan ragu menerima dukungan luar yang dapat mempercepat evakuasi atau distribusi logistik ke pedalaman. Terlebih, Pemerintah Aceh secara resmi sudah meminta bantuan lembaga internasional seperti UNDP dan UNICEF yang berpengalaman tangani bencana besar. Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, menyebut per 14 Desember ada 77 lembaga kemanusiaan (lokal, nasional, internasional) dengan 1.960 relawan aktif di lapangan.
Kolaborasi relawan lintas negara ini menjadi kekuatan penting di tengah medan Aceh yang berat dan cuaca buruk. Pemerintah Aceh berterima kasih atas kontribusi mereka dan berharap sinergi ini dijaga hingga tahap rehab-rekon. Dukungan komunitas global baik melalui negara sahabat, lembaga PBB, NGO asing, maupun diaspora jelas akan membagi beban anggaran dan mempercepat proses pemulihan Aceh.
Blue Print Rehab-Rekon: Tepat Sasaran, Manfaat, dan Guna
Selain soal pendanaan, kunci sukses rehab-rekon adalah perencanaan yang matang dan berbasis data. Pemerintah Aceh perlu segera menyusun blueprint rehabilitasi dan rekonstruksi yang tepat sasaran, tepat manfaat, dan tepat guna, agar setiap rupiah dan upaya langsung mengenai kebutuhan riil di lapangan. Untuk itu, langkah awalnya adalah assessment menyeluruh dampak bencana. Keterlibatan lembaga riset seperti BRIN dan perguruan tinggi lokal sangat vital dalam tahap ini, sebagaimana disarankan berbagai pihak.
Benar saja, BRIN telah membentuk Task Force khusus untuk survei dan pemetaan dampak bencana banjir bandang di Aceh dan Sumut.
Tim BRIN dengan drone LiDAR menjalankan pemetaan spasial selama 14 hari di area terdampak, menghasilkan data resolusi tinggi tentang perubahan bentang alam, wilayah tergenang, kerusakan jalan-jembatan, permukiman, dsb.
Data spasial akurat ini menjadi fondasi penyusunan rencana rehab-rekon. Dengan mengetahui detail kerusakan, pemerintah bisa memetakan zona merah yang perlu relokasi, infrastruktur mana yang paling kritis diperbaiki dulu, serta estimasi sumber daya yang dibutuhkan untuk tiap sektor.
Pemerintah Aceh bisa meminta BRIN dan para pakar untuk terus mendampingi perumusan blueprint berbasis science assessment. Sinergi dengan kampus (Unsyiah, USK, dll.) juga penting agar ada tinjauan akademis independen. Hasil pemetaan harus terbuka dan diverifikasi ini demi transparansi dan kepercayaan publik bahwa blueprint dibuat berdasar kebutuhan nyata, bukan asal-asalan apalagi titipan kepentingan.
Blueprint tersebut mesti komprehensif mencakup beberapa aspek pokok:
• Perumahan dan Hunian: Pendataan rumah rusak (ringan, sedang, berat) per desa sebagai dasar program bantuan. Pemerintah pusat sudah mengalokasikan bantuan rumah permanen Rp65 juta/unit dan hunian sementara Rp30 juta/unit. Ini langkah baik, namun harus dipastikan tepat sasaran. Siapa saja penerima, bagaimana mekanisme pencairan, perlu jelas agar tak memicu konflik sosial. Selain itu, desain hunian harus sesuai kearifan lokal dan aman dari banjir. Huntara mesti segera dibangun karena ribuan pengungsi tak bisa berlama-lama di tenda; musim hujan berlanjut bisa mengundang wabah penyakit. Target pemerintah membangun ribuan huntap dalam setahun harus diawasi agar realistis.
• Infrastruktur Strategis: Jalan nasional, jembatan, jaringan listrik dan telekomunikasi, fasilitas kesehatan dan sekolah harus prioritas direkonstruksi. Kementerian PUPR menargetkan jalan nasional di Aceh pulih akhir 2025, suatu ambisi yang perlu dukungan anggaran besar. Prioritas ini penting untuk membuka akses logistik dan ekonomi. Selanjutnya, jembatan penghubung antar kecamatan, irigasi pertanian, dan tanggul penahan banjir perlu dibangun dengan standar lebih baik (build back better). Jangan sekadar tambal-sulam. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan lokal penting, misal menentukan jalur evakuasi baru atau lokasi relokasi permukiman.
• Pemulihan Ekonomi dan Sosial: Ribuan keluarga kehilangan mata pencarian -- sawah tertimbun lumpur, kebun rusak, ternak mati. Blueprint harus mencakup rehabilitasi lahan pertanian (pembersihan sedimen, bantuan bibit dan alat), stimulus UMKM lokal, serta program padat karya untuk penyintas. Bantuan modal usaha atau cash-for-work bisa menggerakkan ekonomi lokal sambil memperbaiki lingkungan. Selain fisik, pemulihan psikososial tak boleh luput: trauma healing, dukungan pendidikan bagi anak terdampak, dan jaminan sosial bagi kelompok rentan.
• Restorasi Lingkungan: Yang tak kalah penting, mengatasi akar masalah. Para pakar mengingatkan bencana ini 80% dipicu kerusakan lingkungan, bukan semata cuaca ekstrem. Direktur Yayasan HAkA, Farwiza Farhan, mengungkapkan Aceh telah kehilangan banyak hutan dalam satu dekade terakhir. Setelah tsunami 2004, Aceh sebenarnya pernah memiliki rencana tata ruang berbasis mitigasi, yang mengidentifikasi kawasan rawan dan membatasi pembukaan lahan baru. Peta sensitivitas lahan itu jelas menyebut pembukaan hutan akan meningkatkan risiko bencana karena daya dukung lingkungan sudah di ambang batas. Namun, nampaknya peringatan ini diabaikan: alih fungsi hutan terus terjadi, illegal logging marak. Penelitian Cut Azizah (IPB, 2020) bahkan menunjukkan 70% desa di Aceh Tamiang rentan banjir bandang akibat hilangnya daerah aliran sungai (DAS) dan hutan. Blueprint rehab-rekon Aceh 2025 wajib memasukkan agenda restorasi lingkungan: reboisasi hutan lindung, penertiban tambang dan kebun ilegal, serta pembangunan infrastruktur pengendali banjir (tanggul, waduk pengendali). Pemerintah pusat sudah menyinggung penertiban konsesi hutan -- misalnya Presiden mempersilakan lahan BUMN/HTI dipakai untuk relokasi korban. Ini momentum memperbaiki tata kelola lingkungan Aceh, agar pembangunan pascabencana tidak diikuti bencana baru di masa datang. Rehab-rekon harus sejalan dengan mitigasi bencana ke depan.
Kolaborasi, Transparansi, dan Kepemimpinan Tanpa Ego
Pelaksanaan rehab-rekon yang begitu luas membutuhkan kolaborasi lintas lini dan pengawasan ketat. Pemerintah Aceh dan Satgas Pusat harus menggandeng semua pemangku kepentingan: lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemanusiaan, komunitas lokal, akademisi, dan media. Semangat gotong royong yang terlihat saat tanggap darurat perlu dilanjutkan ke fase pemulihan.
LSM lokal dan internasional dapat berperan dalam proyek-proyek spesifik, misalnya pembangunan sekolah darurat, layanan kesehatan keliling, hingga pendampingan trauma. Mereka sering lebih luwes menjangkau komunitas terpencil. Pemerintah hendaknya memfasilitasi kemitraan dengan NGO ini, bukan memonopoli penanganan.
Kolaborasi sudah terjalin di lapangan misalnya Save the Children, Islamic Relief, Yayasan Geutanyoe, dll, sudah tercatat di desk relawan BNPB Aceh. Peran mereka vital untuk memperkuat kerja TNI, Polri, BNPB, Basarnas, dan Pemda yang jadi garda terdepan. Pemerintah Aceh pun berkomitmen menjaga sinergi ini hingga tahap rekonstruksi. Ini langkah positif menjalin sinergi lintas sektor penting agar distribusi bantuan, layanan kesehatan, kebutuhan dasar, hingga pemulihan psikososial berjalan optimal.
Di sisi lain, media dan masyarakat sipil mesti dilibatkan sebagai watchdog. Anggaran triliunan yang digelontorkan harus dipastikan tepat sasaran artinya betul-betul sampai kepada korban yang berhak, membangun infrastruktur yang dibutuhkan warga, bukan “bocor” di tengah jalan. Transparansi penggunaan dana rehab-rekon mutlak diperlukan.
Pemerintah dapat mencontoh mekanisme pelaporan terbuka seperti saat BRR Aceh-Nias dulu, yang mempublikasikan progres proyek dan penyerapan dana secara berkala. Partisipasi media lokal Aceh dan nasional penting untuk mengawal ini. Dialeksis dan portal Aceh lain bisa menginisiasi dashboard pemantauan rehab-rekon: misal, berapa rumah sudah dibangun per kabupaten, berapa jembatan selesai, dsb, sesuai target 100 hari atau 1 tahun pertama.
Dengan begitu, publik Aceh dapat mengawasi kemajuan secara transparan seperti dijanjikan Menko PMK Pratikno. Pemerintah pusat sendiri sudah menyusun timeline 100 hari dan 1 tahun sebagai acuan capaian ini harus dijalankan dengan jujur. Bila ada kendala, komunikasikan terbuka, cari solusi bersama. Jangan sampai kegagalan memenuhi janji justru memperbesar ketidakpercayaan rakyat.
Yang terpenting, pemerintah pusat harus mengesampingkan ego dan retorika belaka. Kehadiran negara dituntut nyata oleh rakyat Aceh saat ini. Presiden telah menegaskan agar seluruh instansi all-out membantu Aceh dan memastikan negara hadir mendukung masyarakat bangkit kembali.
Komitmen ini perlu dibuktikan dengan tindakan konsisten di lapangan -- misalnya percepatan birokrasi pencairan bantuan, kemudahan akses bagi donor luar, serta respons cepat terhadap keluhan daerah. Jangan sampai muncul kesan pemerintah pusat “menyatakan sanggup tapi gagal memenuhi hak korban”.
Jika itu terjadi, rakyat tidak akan segan memberi vonis: negara absen di Aceh. Gelombang bendera putih kemarin adalah peringatan: jangan sampai bendera itu benar-benar menjadi penilaian akhir terhadap negara.
Sebaliknya, apabila pemerintah pusat rendah hati menggandeng semua pihak -- termasuk dunia internasional dan sungguh-sungguh memenuhi kebutuhan korban, niscaya kepercayaan masyarakat akan pulih. Aceh bisa bangkit kembali seperti pernah terjadi pasca tsunami. Warga Aceh dikenal tangguh; dengan sokongan segenap komponen bangsa dan dunia, mereka pasti mampu menata ulang hidupnya.
Opini publik, pakar, hingga aktivis lingkungan sudah memberi masukan yang jelas: lakukan rehab-rekon dengan cepat, tepat, transparan, dan berkelanjutan. Jangan ulangi kesalahan yang membuat pembangunan sia-sia -- misal membangun rumah tanpa prasarana air (pelajaran tsunami, di mana sejumlah rumah bantuan kosong tak dihuni karena tak ada air bersih). Pastikan quality control tiap proyek sehingga bermanfaat jangka panjang.
Akhir kata, mari kita jadikan bencana ini momentum memperbaiki Aceh secara holistik. Tidak hanya membangun fisik yang hancur, tapi juga mereformasi tata kelola lingkungan, memperkuat ketahanan komunitas, dan mempererat solidaritas. Aceh pernah bangkit dari kehancuran dahsyat 2004 dalam waktu singkat berkat kerja bersama kali ini pun Aceh pasti bisa bangkit kembali.
Yang dibutuhkan adalah keseriusan pemerintah (political will tanpa gengsi), dukungan anggaran yang cukup, partisipasi aktif masyarakat sipil, serta uluran tangan komunitas internasional.
Dengan blueprint rehab-rekon yang tepat dan pelaksanaan yang diawasi publik, impian melihat Aceh pulih dalam hitungan tahun bukan puluhan tahun bisa terwujud. Masyarakat Aceh berhak segera mendapatkan kembali kehidupan normalnya. Jangan biarkan mereka terlalu lama menunggu. Negara harus hadir sepenuhnya di Aceh, didukung dunia, demi kemanusiaan dan keadilan.
Opini ini ditulis oleh Aryos Nivada, Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif.
