DIALEKSIS.COM | Opini - Sudah banyak sekolah saat ini termasuk di Aceh yang ruang kelasnya tidak lagi seperti masa lalu. Papan tulis kapur dan buku pelajaran hanyalah sebagian dari alat belajar. Dunia digital telah merasuk ke hampir semua sisi pembelajaran mulai dari aplikasi interaktif video simulasi hingga perangkat berbasis kecerdasan buatan yang hadir sebagai teman belajar peserta didik.
Mereka tumbuh dalam lingkungan yang serba terkoneksi cepat tanggap dan terbiasa memperoleh jawaban instan hanya dengan satu sentuhan layar. Tidak jarang peserta didik lebih cepat menguasai aplikasi baru dibanding gurunya sendiri. Dalam situasi seperti ini profesionalisme guru harus direorientasi agar tidak hanya menjadi pengajar tetapi pembimbing yang menuntun peserta didik tetap bijak dan tidak hanyut dalam arus informasi digital.
Profesionalisme guru saat ini tidak dapat lagi diukur hanya dengan sertifikat atau angka kredit. Guru profesional adalah mereka yang mampu memadukan literasi pedagogis literasi digital dan sensitivitas kemanusiaan. Teknologi bukan sekadar alat tetapi jembatan untuk memperkuat interaksi memperjelas konsep sulit dan menciptakan pembelajaran yang lebih personal sesuai kebutuhan peserta didik.
Namun teknologi saja tidak cukup untuk mendefinisikan profesionalisme baru guru. Di wilayah dengan akses internet terbatas kreativitas guru menjadi bukti profesionalisme sesungguhnya. Sikap tidak menyerah pada keterbatasan dan usaha tetap memastikan peserta didik belajar menunjukkan bahwa profesionalisme lebih ditentukan komitmen dan ketekunan dibanding kecanggihan alat.
Era digital juga menuntut guru mengemban tanggung jawab moral menjaga etika peserta didik saat bermedia. Mereka harus membimbing peserta didik menyeleksi informasi membedakan fakta dan hoaks serta menghindari perundungan siber. Profesionalisme guru kini mencakup kemampuan menjadi penjaga nilai dan karakter dalam ruang belajar digital yang harus tetap sehat aman dan produktif.
Meski teknologi terus berkembang hakikat pendidikan tetaplah manusia. Peserta didik membutuhkan guru yang peduli empatik dan mampu memahami tekanan sosial dan emosional yang muncul dari interaksi digital. Tanpa sentuhan humanis pembelajaran berisiko menjadi dingin dan mekanis. Profesionalisme baru guru berarti kemampuan memadukan teknologi dengan kehangatan komunikasi serta relasi yang bermakna.
Guru juga harus menjadi fasilitator yang kreatif. Menghadapi peserta didik yang terbiasa memperoleh jawaban instan guru harus membimbing mereka berpikir kritis mengolah informasi dan memecahkan masalah secara mandiri. Profesionalisme guru dalam lanskap digital mencakup kemampuan mengarahkan peserta didik memanfaatkan sumber belajar digital secara cerdas kontekstual dan aplikatif.
Literasi Digital sebagai Pilar Profesionalisme Baru
Reorientasi profesionalisme guru tidak terlepas dari penguatan literasi digital guru itu sendiri. Guru tidak cukup sekadar bisa mengoperasikan perangkat tetapi harus memahami etika digital keamanan data manajemen platform pembelajaran dan penggunaan sumber belajar yang kredibel. Dengan literasi digital yang kuat guru mampu merancang pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mengembangkan kemampuan kolaboratif hingga menciptakan suasana kelas yang adaptif terhadap perubahan teknologi. Literasi digital ini akan menjadi pilar penting agar profesionalisme guru benar benar selaras dengan tuntutan zaman yang serba dinamis.
Aspek penting lain dalam reorientasi profesionalisme adalah kolaborasi antarguru. Kolaborasi menjadi sarana mutual learning yang memungkinkan guru berbagi pengalaman dan praktik terbaik melalui komunitas digital bahkan lintas wilayah. Prof Suyatno pakar pendidikan digital dalam penelitian yang dimuat Cakrawala Pendidikan menegaskan bahwa kolaborasi antarpendidik merupakan energi utama peningkatan kompetensi profesional di era digital. Ini membuktikan profesionalisme guru tidak tumbuh sendirian tetapi melalui kerja kolektif yang saling menguatkan.
Contoh profesionalisme digital terlihat dari praktik sederhana di kelas. Guru Bahasa Indonesia membimbing peserta didik membuat video sinopsis cerita rakyat untuk meningkatkan kreativitas dan literasi digital sekaligus. Guru Matematika memanfaatkan simulasi bangun ruang untuk memvisualisasikan konsep abstrak agar mudah dipahami. Guru PPKn mengajak peserta didik mengkritisi berita viral guna meningkatkan logika dan etika bermedia. Semua itu menunjukkan profesionalisme digital tidak sebatas penguasaan aplikasi tetapi memadukan pedagogi efektif teknologi dan kreativitas.
Profesionalisme di era digital juga mensyaratkan guru menjadi pembelajar sepanjang hayat. Dunia digital berubah cepat dan guru yang berhenti belajar akan tertinggal dari peserta didik yang lebih adaptif. Kemauan untuk terus belajar mencoba gagal memperbaiki dan mencoba lagi merupakan wujud nyata profesionalisme yang relevan dengan perubahan zaman.
Selain itu guru perlu mengembangkan refleksi diri. Setiap inovasi digital harus dikaji dampaknya. Guru perlu bertanya apakah teknologi benar membantu pemahaman peserta didik. Apakah pembelajaran menjadi lebih menantang sekaligus menyenangkan. Tanpa refleksi inovasi hanya menjadi tren sesaat yang tidak memberi pengaruh pada mutu pembelajaran.
Reorientasi profesionalisme guru membutuhkan dukungan sistem pendidikan. Pelatihan digital harus dirancang berkelanjutan dan aplikatif bukan hanya webinar searah yang selesai begitu saja. Guru memerlukan ruang belajar profesional atau professional learning community yang memberi kesempatan berdialog berbagi praktik dan berkembang bersama dalam jangka panjang.
Fasilitas dan akses teknologi pun harus diperkuat. Banyak guru memiliki ide kreatif namun terhambat oleh perangkat terbatas atau jaringan yang tidak memadai. Karena itu kebijakan pendidikan harus memperhatikan ketersediaan sarana pendukung inovasi agar profesionalisme digital tidak hanya menjadi jargon di atas kertas.
Sistem penilaian guru juga perlu menyesuaikan perkembangan zaman. Profesionalisme tidak boleh lagi dinilai dari banyaknya dokumen administrasi yang dibuat guru. Tolok ukur yang lebih tepat adalah kualitas pembelajaran kreativitas dalam memanfaatkan teknologi serta dampaknya terhadap perkembangan kompetensi peserta didik.
Kolaborasi digital di tingkat sekolah hingga lintas wilayah akan menjadi laboratorium ide yang subur. Guru yang berhasil menerapkan inovasi dapat menjadi rujukan bersama sehingga profesionalisme guru tumbuh secara kolektif dan berkelanjutan.
Pada akhirnya teknologi hanyalah alat yang akan sia sia tanpa kompetensi dan kebijaksanaan guru. Reorientasi profesionalisme guru dalam lanskap digital adalah investasi strategis bangsa agar pendidikan tetap berakar pada nilai kemanusiaan tetapi mampu menjawab tantangan zaman.
Di tengah derasnya arus transformasi digital guru tetap menjadi nakhoda pendidikan. Peran mereka tidak tergantikan dalam menuntun peserta didik membangun karakter kritis kreativitas dan akhlak berkebudayaan. Masa depan pendidikan ditentukan sejauh mana kita merancang profesionalisme guru yang adaptif terhadap perubahan namun teguh menjaga nilai luhur bangsa. [**]
Penulis: Djamaluddin Husita, S.Pd., M.Si (Kepala MA Ulumul Quran Kota Banda Aceh dan Ketua Kelompok Kerja Madrasah (K2M) Aliyah Kota Banda Aceh)