Sabtu, 14 Juni 2025
Beranda / Opini / Revitalisasi Wakaf: Saatnya Aceh Jadi Pelopor Wakaf Emas Nasional

Revitalisasi Wakaf: Saatnya Aceh Jadi Pelopor Wakaf Emas Nasional

Kamis, 12 Juni 2025 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Nyak Dila Amelia

Nyak Dila Amelia, Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Aceh, tanah para ulama dan pejuang, menyimpan potensi ekonomi luar biasa yang selama ini kurang tergarap. Di balik angka kemiskinan yang masih tinggi dan ketergantungan pada dana Otsus yang kian menipis, tersembunyi harta karun sosial yang sangat berharga: wakaf. 

Sayangnya, wakaf selama ini masih dipahami sebatas tanah dan bangunan ibadah. Padahal, dunia sudah bergerak cepat. Kini saatnya Aceh melangkah lebih progresif -- mendorong gerakan wakaf emas sebagai solusi nyata membangun kemandirian ekonomi umat. 

Dengan mengangkat tradisi menyimpan emas yang sudah mendarah daging di masyarakat, terutama perempuan Aceh, gerakan wakaf emas bukan hanya mungkin, tapi sangat relevan dan membumi. Dan jika dimulai dengan niat kolektif, gerakan ini bisa menjadikan Aceh sebagai pionir wakaf emas di Indonesia, bahkan dunia Islam.

Aceh tidak hanya istimewa dari sisi sejarah dan hukum, tapi juga dari sisi spiritualitas dan semangat kolektif warganya. Sebagai satu-satunya provinsi yang menerapkan syariat Islam secara formal lewat qanun, Aceh memiliki dasar normatif yang kokoh untuk memimpin pembangunan berbasis nilai-nilai Islam. Dalam konteks ekonomi, hal ini membuka peluang besar untuk mengembangkan instrumen-instrumen keuangan sosial syariah seperti zakat, infak, sedekah, dan tentu saja: wakaf

Namun, kenyataan di lapangan memperlihatkan kontras yang tajam. Menurut data BPS tahun 2023, Aceh masih menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera, yakni 14,45%. Banyak desa yang masih bergantung pada bantuan sosial, dan infrastruktur pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan belum merata. Yang lebih mengkhawatirkan, Dana Otonomi Khusus (Otsus) -- yang selama ini menjadi andalan pembiayaan pembangunan Aceh -- akan berakhir pada 2027.

Artinya, Aceh harus segera bertransformasi dari daerah penerima bantuan menjadi daerah yang mandiri. Dan transformasi itu tidak bisa terjadi jika kita hanya mengandalkan pendekatan pembangunan konvensional. Diperlukan pendekatan yang lebih sesuai dengan karakter masyarakat Aceh, yakni pendekatan berbasis komunitas, spiritual, dan kepercayaan sosial yang tinggi. Di sinilah wakaf menemukan momentumnya. Dalam tradisi Islam, wakaf bukan hanya instrumen ibadah, tapi juga strategi pembangunan jangka panjang. 

Sayangnya, pengelolaan wakaf di Aceh masih sangat tradisional. Dari sekitar 18.000 bidang tanah wakaf yang terdata, mayoritas belum memberikan manfaat ekonomi berkelanjutan. Banyak yang hanya digunakan untuk makam, masjid, atau madrasah, tanpa sentuhan profesionalisme pengelolaan. Padahal, nilai aset wakaf ini bisa menjadi motor penggerak ekonomi lokal.

Dengan landasan hukum yang kuat, kultur religius yang mendalam, dan semangat gotong royong yang masih hidup, Aceh sebenarnya sangat layak dan siap menjadi laboratorium wakaf modern di Indonesia. Tapi untuk itu, kita butuh terobosan baru. Kita butuh sesuatu yang mudah, fleksibel, dan relevan dengan masyarakat hari ini. Kita butuh wakaf emas.

Masyarakat Aceh, terutama perempuan, memiliki tradisi kuat dalam menyimpan emas. Di banyak keluarga, emas menjadi simbol status sosial, bentuk cinta kasih dalam mahar pernikahan, sekaligus cadangan ekonomi yang diwariskan lintas generasi. Dalam banyak acara adat, kita dapat melihat bagaimana emas bukan sekadar perhiasan, tapi juga lambang kehormatan dan kedaulatan keluarga.

Namun di balik kilauan budaya itu, tersimpan potensi ekonomi luar biasa. Tradisi menyimpan emas ini sejatinya adalah bentuk tabungan kolektif umat yang luar biasa besar. Emas yang selama ini disimpan di lemari atau brankas keluarga, sebenarnya bisa dikonversi menjadi sumber daya produktif untuk membantu pembangunan umat, tanpa harus menghilangkan kepemilikan pribadi sepenuhnya. 

Dalam survei kecil yang kami lakukan bersama mahasiswa di Banda Aceh dan Aceh Besar pada 2023, diketahui bahwa rata-rata rumah tangga kelas menengah memiliki simpanan emas sekitar 10-20 gram. Jika ada 100.000 rumah tangga saja yang bersedia mewakafkan 1 gram emas per tahun, maka akan terkumpul 100 kilogram emas, yang nilainya setara lebih dari Rp100 miliar! Sebuah angka yang luar biasa jika dikelola dengan amanah dan profesional.

Lebih dari sekadar angka, kebiasaan menabung emas juga mencerminkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aset ini. Emas dianggap aman dari inflasi, mudah diuangkan, dan bersifat likuid. Kepercayaan ini adalah modal sosial yang sangat berharga. Dengan pendekatan yang tepat, rasa aman dan emosional terhadap emas bisa dialihkan menjadi semangat kolektif berwakaf emas. Ini bukan hal yang mengada-ada.

Dengan teknologi digital dan skema wakaf mikro, seseorang bahkan bisa mulai berwakaf dari 0,1 gram. Artinya, wakaf emas tidak eksklusif untuk orang kaya. Ia justru bisa menjadi gerakan rakyat, dihidupi oleh ibu rumah tangga, pelajar, guru, petani, dan siapa saja yang ingin ikut serta dalam perubahan sosial yang nyata.

Tradisi emas Aceh adalah warisan budaya yang menunggu untuk diaktifkan ulang dalam konteks ekonomi baru. Dan wakaf adalah jalur yang paling masuk akal untuk itu -- karena ia tidak hanya memberi manfaat kepada penerima, tapi juga pahala abadi kepada pemberi. Selama ini, banyak orang berpikir bahwa wakaf hanya bisa dilakukan dalam bentuk tanah atau bangunan. Kita mengenal masjid wakaf, madrasah wakaf, atau pesantren wakaf. Padahal, konsep wakaf dalam Islam jauh lebih fleksibel. Apa pun yang bernilai ekonomi dan dapat memberikan manfaat berkelanjutan, dapat diwakafkan. Termasuk emas.

Wakaf emas adalah bentuk wakaf di mana seseorang menyerahkan emas, baik dalam bentuk fisik maupun setara nilainya, untuk dikelola dan dimanfaatkan demi kemaslahatan umat. Emas tersebut tidak serta-merta “hilang” atau dikonsumsi. Sebaliknya, ia tetap disimpan atau diinvestasikan oleh lembaga pengelola, dan hasilnya digunakan untuk kegiatan sosial seperti pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi. 

Apa keunggulan wakaf emas dibandingkan bentuk wakaf lain? Pertama, emas sangat likuid. Ia mudah diuangkan kapan saja tanpa kehilangan nilai. Kedua, nilainya cenderung stabil dan tahan inflasi, sehingga cocok sebagai alat penyimpanan jangka panjang. Ketiga, emas bisa dikumpulkan dalam jumlah kecil. Artinya, orang tidak perlu kaya untuk berwakaf. Cukup 0,1 gram, atau sekitar Rp100.000, seseorang sudah bisa ikut serta dalam kebaikan berkelanjutan.

Wakaf emas juga sangat cocok dikembangkan di era digital. Kini, sudah banyak platform digital yang memungkinkan masyarakat membeli, menyimpan, dan mewakafkan emas secara online. Tidak perlu datang ke kantor lembaga. Cukup lewat ponsel, seseorang bisa melakukan wakaf emas kapan saja dan di mana saja, mulai dari nominal kecil. Hal ini membuat partisipasi publik menjadi jauh lebih inklusif.

Dari sisi kelembagaan, wakaf emas sangat potensial sebagai sumber pembiayaan jangka panjang. Dana yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam instrumen keuangan syariah seperti sukuk wakaf, obligasi sosial, atau proyek ekonomi umat. Hasilnya bisa digunakan untuk membiayai beasiswa, pembangunan fasilitas kesehatan, subsidi pangan, atau modal usaha bagi kelompok rentan. Yang tidak kalah penting, wakaf emas menghidupkan kembali semangat gotong royong dalam bingkai syariah. Gerakan ini mengingatkan kita bahwa keberkahan harta bukan dari seberapa banyak kita miliki, tapi seberapa besar manfaatnya untuk orang lain. 

Dalam tradisi Islam, pahala wakaf bersifat jariyah -- terus mengalir selama manfaatnya masih dirasakan, bahkan setelah pewakaf meninggal dunia. Dengan kata lain, wakaf emas bukan hanya solusi ekonomi, tapi juga medium spiritual. Ia mempertemukan niat baik individu dengan kebutuhan umat. Di tengah krisis kemiskinan dan ketimpangan sosial, wakaf emas bisa menjadi “jembatan” antara kepedulian dan keberdayaan.

Dan Aceh, dengan segala kekayaan tradisinya, punya posisi ideal untuk memulai gerakan ini lebih awal dibanding daerah lain. Kita hanya perlu keberanian untuk melangkah. Wakaf emas bukan sekadar gagasan teoritis. Ia sudah terbukti berhasil di berbagai negara Muslim. Malaysia, Arab Saudi, dan Turki adalah contoh nyata bagaimana wakaf -- termasuk dalam bentuk emas -- bisa menjadi tulang punggung pembangunan sosial dan ekonomi umat. Mari kita mulai dari Malaysia.

Di sana, Yayasan Waqaf Malaysia bekerja sama dengan bank-bank syariah dan lembaga zakat untuk menghimpun wakaf emas secara digital. Dana yang terkumpul digunakan untuk membangun rumah sakit, membiayai pelajar miskin, hingga memperluas program pembiayaan mikro. Yang menarik, sistem digital memungkinkan masyarakat berwakaf mulai dari nominal sangat kecil. Partisipasi menjadi inklusif, dan transparansi meningkat berkat sistem pelaporan daring secara real-time.

Di Arab Saudi, wakaf emas menjadi bagian dari sistem investasi sosial yang dikelola secara profesional oleh Awqaf Investment Company, di bawah Kementerian Wakaf. Wakaf tidak lagi sekadar untuk membangun masjid, tapi sudah menyasar proyek-proyek produktif seperti rumah sakit, sekolah, dan pusat penelitian Islam. Hebatnya, banyak proyek itu bisa berjalan tanpa bergantung pada dana pemerintah. Sistem wakaf yang kuat menjadi sumber pembiayaan berkelanjutan untuk kemaslahatan umat. 

Sementara itu, Turki menawarkan inspirasi yang lebih dalam: negara ini mampu membiayai hampir separuh universitas negeri dari dana wakaf yang dikelola secara profesional. Wakaf menjadi pondasi pendidikan nasional. Ini menunjukkan bahwa bila dikelola dengan visi jangka panjang, wakaf bisa menjadi instrumen pembangunan yang kokoh, bukan sekadar amal sesaat. 

Indonesia juga tidak ketinggalan. Beberapa lembaga seperti Dompet Dhuafa, Lembaga Wakaf Bank Indonesia (LWBI), dan sejumlah fintech syariah sudah memulai inisiatif wakaf emas. Namun, belum ada satu pun daerah yang menjadikannya sebagai gerakan sosial terstruktur. Di sinilah Aceh bisa tampil sebagai pelopor.

Belajar dari negara-negara tersebut, kita tahu satu hal: keberhasilan wakaf emas bukan soal potensi semata, tapi soal kemauan untuk membangun sistem yang amanah, profesional, dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Jika Malaysia bisa, jika Arab Saudi bisa, jika Turki bisa, mengapa Aceh tidak? Mimpi menjadikan Aceh sebagai pelopor wakaf emas nasional bukanlah utopia. 

Dengan potensi sosial, spiritual, dan historis yang dimiliki, Aceh sangat mungkin mewujudkannya. Tapi tentu, mimpi ini butuh peta jalan yang jelas dan langkah konkret. Kita tidak bisa hanya berhenti pada niat baik. Kita harus punya sistem.

Strategi Pelaksanaan Wakaf Emas

Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan secara bertahap dan paralel. Pertama, regulasi khusus. Sebagai provinsi dengan kekhususan dalam pelaksanaan syariat Islam, Aceh punya kewenangan membuat qanun sendiri. Maka, perlu segera dirancang Qanun Wakaf Emas Aceh -- yang mengatur mekanisme wakaf dalam bentuk fisik dan digital, dalam skala mikro maupun besar, dengan prinsip tata kelola yang transparan dan akuntabel. 

Qanun ini tidak hanya mengatur prosedur teknis, tapi juga memastikan adanya good waqf governance. Artinya, semua lembaga yang mengelola wakaf emas wajib melaporkan penggunaan dana secara berkala, membuka kanal transparansi publik, dan menjalani audit syariah dan keuangan secara berkala. Dengan regulasi yang kuat, kepercayaan publik akan tumbuh. 

Kedua, perlu dibentuk Lembaga Pengelola Wakaf Emas Aceh (LPWEA). Lembaga ini menjadi motor utama dalam penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian hasil wakaf emas. Ia harus bersifat profesional, transparan, dan modern. Bisa bekerja sama dengan bank syariah, koperasi syariah, fintech wakaf, dayah, serta universitas.

LPWEA juga harus mengembangkan aplikasi digital wakaf emas. Lewat aplikasi ini, masyarakat bisa mendaftar sebagai wakif, melihat transparansi portofolio wakaf, dan menerima laporan perkembangan secara real-time. Ini penting untuk menjangkau generasi muda dan masyarakat perkotaan yang sudah terbiasa dengan layanan digital. 

Ketiga, perlu ada gerakan sosial berskala luas. Contohnya, kampanye "1 Keluarga 1 Gram Wakaf", program "Wakaf Emas Masuk Sekolah", atau "Wakaf Emas Dayah". Gerakan ini harus hidup di masjid, pesantren, komunitas, bahkan media sosial. Libatkan tokoh agama, tokoh publik, influencer lokal, dan aktivis muda untuk menyebarkan semangat wakaf emas sebagai gaya hidup baru.

Keempat, edukasi massal dan pelatihan. Para nazhir (pengelola wakaf) harus dibekali kemampuan manajerial dan teknologi. Masyarakat juga perlu edukasi tentang hukum wakaf, manfaatnya, dan cara berpartisipasi. Materi dakwah dan khutbah bisa mulai mengangkat pentingnya wakaf emas sebagai ibadah yang strategis. 

Kelima, mulai dari yang kecil: pilot project. Misalnya, satu kabupaten atau satu dayah besar dijadikan percontohan gerakan wakaf emas mikro. Dari situ, bisa diukur respon masyarakat, tantangan di lapangan, dan potensi yang bisa dikembangkan lebih luas. Keenam, bangun sinergi lintas lembaga: Baitul Mal Aceh, MUI Aceh, Bank Indonesia, perbankan syariah, BWI, kampus, dan lembaga sosial. Semuanya punya peran. Sinergi ini akan membentuk ekosistem yang kuat, efisien, dan berkelanjutan.

Jika langkah-langkah ini dilakukan secara konsisten dan kolaboratif, dalam waktu tidak terlalu lama Aceh bisa menjadi pionir sistem wakaf emas modern di Indonesia. Ini bukan hanya soal kebanggaan daerah, tetapi juga kontribusi nyata Aceh dalam membangun ekonomi umat berbasis nilai-nilai Islam yang adil, mandiri, dan berkelanjutan. Wakaf emas bukan sekadar program, tapi harus menjadi gerakan sosial. 

Untuk itu, penting menjadikannya sesuatu yang dekat, mudah, dan menyentuh semua lapisan masyarakat. Sebuah gerakan hanya akan bertahan dan berdampak jika ia bersifat inklusif -- artinya bisa melibatkan siapa saja, dari berbagai latar belakang ekonomi dan sosial.

Inilah keunggulan dari konsep wakaf emas mikro. Ia membuka pintu partisipasi seluas-luasnya. Seseorang tidak perlu punya banyak emas atau kekayaan besar. Cukup dengan mewakafkan 0,1 gram -- setara kurang dari Rp100.000 -- seseorang sudah ikut membangun rumah ibadah, membiayai anak yatim, atau menopang pendidikan di pelosok. Jumlah kecil yang jika dilakukan secara kolektif, dampaknya sangat besar. Untuk menggerakkan ini, kita butuh kampanye publik yang kreatif dan menyentuh hati. 

Misalnya, kampanye “1 Keluarga, 1 Gram Wakaf” bisa dimulai dari lingkup komunitas kecil: masjid, majelis taklim, dayah, atau sekolah. Konsep ini sangat sederhana dan emosional: satu keluarga, satu gram emas per tahun untuk kebaikan bersama. Bisa menjadi tradisi tahunan, semacam zakat tambahan yang menumbuhkan solidaritas sosial.

Program lain seperti “Wakaf Emas Masuk Sekolah” sangat strategis untuk mendidik generasi muda. Anak-anak SD dan SMP bisa diajarkan pentingnya berbagi dan berkontribusi untuk umat sejak dini. Bayangkan jika sejak kecil mereka sudah terbiasa menabung emas dan menyisihkannya untuk wakaf. Akan lahir generasi yang dermawan, peduli, dan sadar tanggung jawab sosial.

Media sosial juga menjadi alat penting. Konten video, infografis, podcast dakwah, atau testimoni dari wakif bisa menyebar luas dengan cepat. Tokoh agama dan influencer lokal bisa membantu memperkuat narasi wakaf emas sebagai bagian dari gaya hidup Islami modern. Gerakan sosial ini akan berhasil jika semua pihak merasa terlibat: ulama, guru, mahasiswa, pedagang, ibu rumah tangga. Tidak ada yang terlalu kecil untuk berkontribusi. Dengan sistem yang inklusif, Aceh tidak hanya membangun jaringan wakaf yang kuat, tapi juga mempererat ikatan sosial dan memperkuat solidaritas antarwarga dalam balutan nilai-nilai Islam.

Sasaran Utama Hasil Pengelolaan Wakaf Emas

Apa manfaat wakaf emas jika dikelola dengan baik? Jawabannya sederhana: luar biasa besar. Karena tidak hanya memberi berkah spiritual bagi pewakaf, tapi juga menciptakan perubahan nyata bagi kehidupan umat. Mari kita lihat tiga sektor penting yang bisa menjadi sasaran utama dari hasil pengelolaan wakaf emas: pendidikan, kesehatan, dan ekonomi mikro.

Pertama, pendidikan. Banyak anak-anak Aceh, terutama yatim dan dhuafa, yang kesulitan melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya. Wakaf emas bisa digunakan untuk memberikan beasiswa, menyediakan perlengkapan sekolah, hingga mendanai pembangunan sekolah Islam terpadu yang berkualitas. Lebih jauh, dana wakaf emas bahkan bisa digunakan untuk membiayai riset dan inovasi di kampus-kampus syariah. Turki telah membuktikan bahwa hampir separuh universitas negerinya bisa bertahan dan berkembang dengan dana wakaf. Aceh bisa meniru pola yang sama. 

Kedua, kesehatan. Banyak keluarga miskin yang kesulitan mengakses layanan medis. Bayangkan jika dana dari wakaf emas digunakan untuk membangun klinik gratis berbasis syariah, menyediakan ambulans gratis, atau memberi subsidi obat-obatan untuk masyarakat kurang mampu. Ini bukan wacana. Di Malaysia, dana wakaf sudah digunakan untuk membangun rumah sakit. Kita bisa menciptakan “Klinik Wakaf” pertama di Aceh sebagai pilot project.

Ketiga, ekonomi mikro. Banyak pelaku usaha kecil di lingkungan dayah, pesantren, atau komunitas ibu rumah tangga yang kekurangan modal. Wakaf emas bisa menjadi solusi. Dana hasil investasi emas bisa diputar menjadi pembiayaan syariah mikro untuk UMKM tanpa bunga, tanpa riba, dan berbasis bagi hasil. Dengan begitu, wakaf emas menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar bantuan konsumtif. Keberhasilan wakaf emas bukan hanya dihitung dari jumlah gram yang terkumpul, tapi dari sejauh mana ia mengentaskan kemiskinan, membuka akses pendidikan, menyelamatkan nyawa, dan mengangkat derajat ekonomi umat. Dan semua itu bisa dimulai dari 1 gram emas yang dikelola dengan niat tulus dan sistem profesional.

Dengan arah pemanfaatan yang jelas dan terukur, masyarakat akan semakin yakin bahwa wakaf emas bukan sekadar wacana religi, tapi instrumen pembangunan yang nyata dan berkelanjutan. Sejarah telah mencatat Aceh sebagai Serambi Mekkah, pusat peradaban Islam yang berpengaruh di Nusantara. Hari ini, ketika dunia mencari model pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan berbasis nilai-nilai luhur, Aceh punya kesempatan untuk kembali memimpin. Dan salah satu jalur emas itu, secara harfiah dan simbolik, melalui gerakan wakaf emas.

Wakaf emas bukan sekadar donasi. Ia adalah investasi sosial yang berkelanjutan. Ia bukan sekadar ibadah pribadi, tapi bentuk nyata tanggung jawab sosial terhadap sesama. Dengan pengelolaan profesional dan partisipasi kolektif, wakaf emas bisa menjadi instrumen transformasi sosial yang menyentuh kehidupan banyak orang: dari beasiswa untuk anak yatim, klinik bagi keluarga miskin, hingga modal usaha bagi pelaku UMKM di pelosok. Semua perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. 

Bayangkan jika satu keluarga di Aceh mewakafkan satu gram emas setiap tahun. Lalu ditiru oleh ribuan keluarga lainnya. Dalam lima tahun, Aceh bisa menjadi pusat inovasi wakaf emas yang tak hanya dibanggakan secara nasional, tapi juga dijadikan contoh oleh negara-negara Muslim lainnya. Kini waktunya kita berhenti menunggu dan mulai bergerak. Dari rumah, dari masjid, dari sekolah, dari komunitas kita. Wakaf emas adalah jalan. Dan Aceh adalah titik awal Mari kita mulai dari satu gram. Dari hati. Untuk umat. Untuk masa depan. [**]

Penulis: Nyak Dila Amelia (Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI