Jum`at, 12 September 2025
Beranda / Opini / RUU PA, Suara Rakyat Aceh yang Tersandung Politik Nasional

RUU PA, Suara Rakyat Aceh yang Tersandung Politik Nasional

Kamis, 11 September 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Firdaus Mirza

Firdaus Mirza Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala. Foto: Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Opini - Peniadaan revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) dari Prolegnas Prioritas 2025 - 2029 bukan sekadar persoalan teknis legislatif. Ini adalah sebuah fenomena yang menyibak lapisan kompleks dalam relasi kekuasaan antara pusat dan daerah, serta menguak kembali luka lama rakyat Aceh yang merasa janji otonomi khusus dan perdamaian belum sepenuhnya terwujud. Peristiwa ini dapat dibedah sebagai sebuah bentuk anomie, ketegangan struktural, dan kegagalan komunikasi antara negara dan masyarakat sipil, yang berpotensi menggerus legitimasi pemerintahan dan stabilitas sosial di Aceh.

Dalam perjalanan politik Aceh, dimana UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah produk hukum yang lahir dari sebuah konsensus sosial dan politik tertinggi. Ia adalah kristalisasi dari MoU Helsinki yang mengakhiri konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, UU PA bukan sekadar undang-undang biasa, melainkan sebuah kontrak sosial antara Republik Indonesia dan rakyat Aceh. Ia memuat seperangkat norma, nilai, dan harapan yang disepakati bersama untuk membangun masa depan Aceh yang damai, adil, dan sejahtera.

Problem muncul ketika dalam implementasinya, kontrak sosial ini mengalami disfungsi atau ketidaksesuaian antara tujuan yang diidealkan (manifest function) dan kenyataan yang terjadi (latent function). Banyak pasal yang dianggap tidak lagi relevan atau tidak dijalankan secara optimal, menimbulkan kesenjangan antara harapan (aspirasi) dan realitas. Revisi UU PA adalah upaya untuk menutup kesenjangan ini, mereparasi kontrak sosial yang mulai retak, dan mengembalikan roh dari MoU Helsinki. Ketika upaya ini diabaikan, negara secara tidak langsung dinilai mengingkari janji kolektif yang telah disepakati, yakni telah menjadi janji yang terfragmentasi. 

Anomie di tengah masyarakat Aceh ketika norma tak lagi jelas. Ketika norma dan nilai yang mengatur masyarakat melemah atau tidak jelas, menyebabkan kebingungan, kekecewaan, dan perilaku yang menyimpang dari tujuan kolektif. Seperti halnya peniadaan revisi UU PA dari prolegnas menciptakan situasi anomie di Aceh. Masyarakat, elit politik, dan organisasi sipil memiliki harapan yang jelas bahwa revisi ini adalah langkah normatif yang harus diambil untuk memperkuat otonomi khusus. Namun, keputusan pusat (DPR RI) menciptakan vacuum atau kekosongan norma. Apa yang seharusnya menjadi jalan keluar justru ditutup. Hal ini memicu perasaan ketidakpastian, ketidakadilan, dan kekecewaan massal. Pernyataan agar Ketua Forbes Aceh agar tidak lepas tangan adalah bentuk penolakan terhadap keadaan anomie ini, merupakan sebuah seruan untuk mengembalikan kejelasan dan kepastian norma dalam kontrak sosial Aceh dan Indonesia.

Karl Marx dan Max Weber melihat masyarakat sebagai arena perjuangan untuk memperebutkan sumber daya dan kekuasaan adalah konflik struktural antara pusat dan daerah. Dalam kasus ini, revisi UU PA adalah medan pertarungan antara kepentingan struktural pemerintah pusat dan aspirasi otonomi daerah.

UU PA yang kuat dan jelas berpotensi membatasi intervensi pusat dalam pengelolaan sumber daya alam, keuangan, dan tata kelola politik di Aceh. Dengan demikian, penundaan atau pengabaian revisi dapat dibaca sebagai strategi politik elit pusat untuk mempertahankan status quo dan hegemoni kekuasaannya atas daerah. Ini adalah bentuk kekerasan struktural dimana kebijakan yang dibuat oleh struktur kekuasaan yang dominan (pusat) menghambat pemenuhan hak dan potensi masyarakat di daerah (Aceh).

Tuntutan agar Ketua DPR RI bertanggung jawab adalah artikulasi dari konflik ini. Ini bukan sekadar tuntutan prosedural, melainkan perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang dianggap tidak adil dan tidak responsif.

Komunikasi yang patah yaitu ketika suara rakyat tak sampai. Jürgen Habermas berbicara tentang public sphere (ruang publik) dimana warga negara dapat berdiskusi secara rasional untuk mempengaruhi kebijakan publik.

Proses pengabaian revisi UU PA menunjukkan kegagalan komunikasi antara rakyat Aceh (beserta perwakilannya di DPR RI asal Aceh) dengan para pengambil keputusan di Jakarta. Aspirasi yang telah disuarakan bertahun-tahun, melalui berbagai kanal, seolah mentok di tembok tebal politik nasional yang lebih memprioritaskan kepentingan pragmatis jangka pendek. Kegagalan ini menyebabkan keterasingan, dimana rakyat Aceh merasa tidak lagi menjadi bagian dari proses demokrasi Indonesia karena suaranya tidak didengar.

Dengan membangun kembali kepercayaan menjadi sebagian dari sebuah jalan keluar atas problematika ini, bahwa yang dipertaruhkan bukan hanya sekadar sebuah revisi undang-undang, melainkan kohesi sosial, integrasi nasional, dan masa depan perdamaian di Aceh.

Dan itu diperlukan pendekatan yang holistik, dengan memulihkan komunikasi untuk membuka ruang dialog yang setara dan substantif dengan seluruh komponen masyarakat Aceh, bukan sekadar mendengarkan tapi benar mendengar. Komunikasi harus dibangun atas dasar pengakuan terhadap sejarah dan keistimewaan Aceh.

Dalam setiap kebijakan terkait Aceh harus mempertimbangkan konteks sosiologis dan historisnya. UU PA adalah buah perdamaian, dan merawatnya adalah kunci menjaga perdamaian itu sendiri. Memperkuat peran elit lokal, yaitu elit politik Aceh di pusat, seperti Forbes Aceh, harus konsisten menjadi jembatan yang efektif, bukan justru melepas tangan. Mereka memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya hingga titik darah penghabisan.

Dan sebuah langkah konkret untuk segera memasukkan revisi UU PA dalam Prolegnas Prioritas tahun berikutnya adalah cara terbaik untuk memulihkan kepercayaan yang mulai rusak. Kepercayaan adalah modal sosial terpenting yang harus dijaga.

Pengabaian revisi UU PA adalah alarm peringatan. Ia mengingatkan kita bahwa perdamaian dan otonomi bukanlah produk jadi, melainkan proses yang harus terus dirawat, disesuaikan, dan diperjuangkan. Jika alarm ini diabaikan, yang terancam bukan hanya hubungan pusat dengan daerah, tetapi juga stabilitas dan harmoni sosial yang telah susah payah dibangun pasca tsunami dan pasca konflik. Rakyat Aceh telah menyatakan kekecewaannya. Sekarang adalah waktunya bagi Jakarta untuk membuktikan bahwa ia adalah mitra sejati dalam membangun Aceh yang mandiri dan bermartabat, sesuai dengan janji kontrak sosial bernama UU PA.

Penulis: Firdaus Mirza Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala

Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
bpka - maulid
bpka