Beranda / Opini / Social Distancing, Belajar Dari Sejarah Islam

Social Distancing, Belajar Dari Sejarah Islam

Senin, 20 April 2020 07:43 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh Dr. Rahmat Fadhil, M.Sc

Perkataan ‘social distancing’ saat ini sedang menemukan momentumnya, seiring dengan terus berkembangnya wabah COVID-19 (virus corona) yang melanda seluruh dunia hingga sampai ke Indonesia saat ini.

Social distancing bermakna mengurangi jumlah aktivitas di luar rumah dan interaksi dengan orang lain, termasuk mengurangi kontak tatap muka langsung antar orang per orang. Tindakan ini juga dengan menghindari pergi ke tempat-tempat keramaian seperti supermarket, tempat ibadah, warung kopi, pesta, konser, bioskop, dan stadion olahraga.

Social distancing (isolasi sosial) telah menjadi salah satu strategi yang efektif untuk menghambat lajunya penyebaran COVID-19 tersebut secara luas. Pemerintah dan ulama telahpun menyeru pencegahan menyebarnya virus corona ini di berbagai daerah, terutama di daerah-daerah yang sudah positif ditemukan terpapar virus tersebut.

Namun masyarakat bereaksi beragam, ada yang menolak, ada yang setuju, ada yang biasa-biasa saja. Tulisan ini mencoba sedikit mengangkat bagaimana sejarah Islam dahulu menyikapi kebijakan social distancing ini.

Para Sahabat Nabi

Pada tahun ke 18 hijriah terjadilah suatu peristiwa mewabahnya penyakit thaun amwas, yaitu suatu penyakit menular yang menyebabkan benjolan pada seluruh tubuh dan kemudian pecah dengan mengeluarkan pendarahan sampai menyebabkan orang tersebut meninggal.

Saat khalifah Umar bin Khattab datang dari Madinah menuju Syam, dia dicegat oleh Abu Ubaidah bin Jarrah dan diberitahukan bahwa negeri Syam sedang dilanda wabah thaun. Sebahagian sahabat melarang Umar untuk memasuki negeri tersebut dan sebahagian lainnya menyarankan Umar tetap melanjutkan. Lalu Umarpun memutuskan untuk kembali ke Madinah.

Abu Ubaidah langsung menyelanya dengan mengatakan,”apakah engkau akan lari dari taqdir Allah?”. Umarpun menjawab,”sesungguhnya kita hanya pergi dari satu taqdir Allah ke taqdir Allah yang lainnya. Seandainya engkau memiliki dua lembah, yang satu memiliki lahan yang subur dan satu lagi lahan yang kering. Kemudian kita mengembala ke lahan yang subur adalah suatu taqdir Allah dan bila ke lahan kering juga tadqir Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya kita hanya berpindah dari satu taqdir Allah kepada taqdir Allah lainnya”.

Saat itu hadir Abdurrahman bin Auf, kemudian dia membaca hadist Nabi SAW, ”jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada didaerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya (HR. Bukhari & Muslim).

Waktupun berlalu, hingga Umar sampai ke Madinah menyurati Abu Ubaidah untuk ikut dirinya ke Madinah. Namun Abu Ubadiah membalas surat tersebut dengan mengatakan bahwa tidak mungkin aku meninggal rakyatku sendiri sementara aku adalah pemimpin mereka. Umar pun menangis ketika menerima surat balasan Abu Ubaidah ini, bahkan semakin bersedihnya Umar ketika mendengar bahwa Abu Ubaidah beserta sahabat-sahabatnya yang mulia seperti Muadz bin Jabbal, Suhail bin Amr dan Yazid bin Abi Sufyan turut menjadi korban wabah tersebut.

Hingga kemudian kepemimpinan beralih ke Amru bin Ash. Sejak memegang amanah tersebut, kebijakan utamanya untuk mengendalikan penyebaran wabah thaun adalah dengan mengeluarkan edaran ‘social distancing’.

Beliau berkata,”wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Jaga jaraklah dan berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gunung-gunung”. Merekapun berpencar dan menempati gunung-gunung sehingga kemudian wabahpun berhenti layaknya api yang padam karena tidak dapat lagi menemukan bahan bakarnya.

Zaman Ibnu Hajar Al-Atsqalani

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani yang hidup antara tahun 773-852 hijriah telah menulis sebuah kitab tetang wabah thaun yang berjudul Badzlu al-Ma’un Fi Fadhli al-Thaun. Kitab asli berbahasa arab ini dapat diunduh pada website http://nahdlatululama.id. Ibnu Hajar Al-Atsqalany berkata, "berdoa dalam rangka menolak bala tidak terlarang dan tidak pula bertentangan dengan taqdir secara asal. Akan tetapi berkumpul untuk berdoa (disaat wabah) sebagaimana ketika shalat istisqa' adalah merupakan kebid'ahan.”

Beliau mengutip pendapat Al-Munbijy pada peristiwa thaun yang tersebar pada tahun 749 di Suriah. Saat itu manusia dan mayoritas tokoh negeri tersebut keluar ke padang pasir untuk berdoa dan beristighatsah (meminta perlindungan kepada Allah). Maka setelah itu thaun justru semakin merajarela dan tersebar, padahal sebelum mereka berdoa (secara berjamah) awalnya adalah sedikit.

Tidaklah diragukan bahwa bertambahnya korban thaun tersebut adalah disebabkan karena bercampurnya antara orang-orang yang sakit dengan orang-orang yang sehat hingga menyebabkan tersebarnya penularan thaun diantara mereka.

Pada masaku, kata ibnu Hajar, pada tanggal 27 Rabiul Akhir tahun 833 hijriah di Kairo, terjadi pula hal yang sama, yaitu pengumpulan massa untuk doa bersama. Pada tanggal 4 Jumadil Ula, masyarakat diperintahkan keluar lapangan, sebelumnya dianjurkan puasa 3 hari, lalu shalat dan berdoa. Korban jiwa sebelum acara tersebut kurang dari 40 orang, namun setelahnya malah bertambah menjadi lebih dari 1000 nyawa binasa.

Sebagian para ulama memfatwakan kegiatan tersebut berdasarkan keumuman dalil tentang doa dan menyandarkan kepada niat baik Malik (Raja Muayyad) dimana segolongan ulama juga turut hadir dan mereka semua tidak ada yang mengingkarinya.

Sehingga kegiatan tersebut dinilai sebagai seuatu kebaikan, sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa kegiatan tersebut lebih utama untuk ditinggalkan karena dikhawatirkan terjadinya fitnah. Karena meskipun perkara tersebut dianggap baik akan tetapi tetap tidak lepas dari timbulnya tuduhan yang buruk, terutama kepada para ulama, kaum shalih dan doa itu sendiri.

Ibnu Hajar juga mengatakan, "seandainya perbuatan mereka ini (berdoa dengan cara berjamaah) disyariatkan niscaya tidak akan terlewatkan oleh kaum salaf, demikian pula para ulama negeri dan orang-orang yang mengikuti mereka di masa yang telah lampau. Dan tidaklah sampai kepada kita berita apapun dalam hal tersebut atau tidak pula atsar dari para ahli hadits dalam hal ini dan bahkan tidak ada bahasan sedikitpun dari seorangpun dari kalangan ulama fiqh (dalam masalah ini).

Ibnu Hajar termasuk ulama yang berpendapat melarang perkumpulan tersebut, sehingga hal inipulahlah yang mendorong beliau menyalin kitab tentang thaun setelah mengumpulkan banyak sekali hadist dan kalam para ulama pada tahun 819 hijriah, sehingga beliau 2 kali menolak keluar bersama Raja Muayyad dalam kegiatan tersebut. Bahasan lengkap ini dapat dipelajari pada halaman 328-330 dari kitab karya beliau tersebut. Bahkan dalam kitab Hukmu at-tada'I li fi'li at-thaat fi an-nawazil wa as-sadaid wa al-mulimmad karya Dr. Nurah binti Zaid Ar-Rusud juga turut dinukilkan kembali.

Inilah pelajaran berharga tentang social distancing, ternyata pengalaman dalam sejarah Islam telah mengajarkan kita. Sudah semestinyalah kita semakin sadar dan bersabar dengan keadaan ini. Tetaplah beraktifitas dari rumah kita masing-masing, semoga Allah SWT segera mengangkat wabah corona ini dari sekeliling kita. Amin.

 ** Dr. Rahmat Fadhil, M.Sc , Sekretaris Umum Badan Kemakmuran Masjid Jamik Darussalam dan Dosen Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH)


Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda