DIALEKSIS.COM | Opini - Saya mencoba memahami dialog antara Diplomat Belanda yakni Van Mook dengan Diplomat Indonesia oleh Charles Tambu mewakili negara Indonesia baru lahir yang berusia dua tahun. Ketika berdiskusi, Van Mook mengklaim Pemerintahan Hindia Belanda itu lebih moderasi dan tata tertib administrasi daripada Republik Indonesia yang baru lahir itu, ia tidak memberikan sesuatu seperti pemerintahan biasa.
Sisi lain Charles Tambu menerangkan bahwa pendirian Republik Indonesia telah berfungsi dengan pemerintahan yang merdeka, selama lebih dari dua tahun namun Belanda mencoba menerapkan kembali pemerintahan kolonialnya. Van Mook menyahuti bahwa Kerajaan Belanda tetap menjanjikan kemerdekaan bagi Republik Indonesia yang akan dipilih secara bebas.
Charles Tambu tetap menyampingkan pendapat Van Mook karena sejarah kolonial Belanda kala itu selalu ingkar di dalam setiap perjanjian. Sebut saja pada tahun 1918 otonomi internal bagi bangsa Indonesia namun tidak ditepati. Pada tahun 1942, Ratu Belanda menjanjikan kerjasama sukarela antara Belanda dan Indonesia atas dasar kesetaraan namun janji tidak tepati. Pada bulan Oktober 1946, Republik Indonesia menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan Belanda, mereka juga melanggar perjanjian itu. Bagi pihak Republik Indonesia tiga kali perjanjian yang sudah dilakukan, Indonesia tetap menepati apa yang diperjanjikan.
Lalu bagaimana antara Aceh dengan Indonesia, jauh sebelum Indonesia hadir Pemerintah Inggris dan Pemerintah Belanda sudah memberikan pengakuan keberadaan kepada bangsa Aceh. Sebut saja Perjanjian Traktat London bahwa Inggris dan Belanda mengakui kemerdekaan Aceh sejak 30 Maret 1857, pada saat itu abad ke 16 s/d 19 bahwa Aceh sudah menjadi negara yang berdaulat. Kemudian pada tahun 1871, Belanda-Inggris kembali menandatangani traktat London 1871 dengan beberapa isu strategis.
Pertama, bahwa Inggris membatalkan Traktat Londong 1821 (dalam perjanjian Inggris memberikan pengakuan bahwa Aceh sebuah negara yang berdaulat). Kedua, Inggris memberi peluang kepada Belanda untuk menyerang Aceh dengan kekuatan militernya. Ketiga, wilayah koloni Belanda, Gana di Afrika Selatan diserahkan kepada Inggris dengan syarat membayar kompensasi.
Pada tahun 1873, Pemerintah Kolonial Belanda mengultimatum Kesultanan Aceh antara lain: Pertama, turunkan bendera Aceh naikan bendera Belanda. Kedua, Aceh menyerah tanpa syarat kepada Belanda. Ketiga, serahkan seluruh bagian sumatera yang berada dalam perlindungan kerajaan kesultanan Aceh. Keempat, hentikan kegiatan rakyat Aceh di Selat Malaka. Kelima, putuskan hubungan diplomatik dengan Kesultanan Utsmaniyyah di Turki.
Dari peristiwa di atas, Aceh begitu menakjubkan bagi tatanan dunia dan beberapa kerajaan yang berkuasa menjadikan Aceh tempat dan tanah paling istimewa yang ada di dunia ini. Lalu pertanyaannya adalah relevankah Aceh mengharap penambahan dana otonomi khusus? Bukankah kehadiran partai politik lokal di Aceh bertujuan untuk memperkuat status Aceh untuk berdaulat dimasa hadapan?
Revisi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dapat dipastikan hanya pada penormaan penambahan dana otonomi khusus bagi Aceh, tawaran yang akan diusulkan sebesar 2,25% dari platform dana alokasi umum yang menjadi salah satu komponen di APBN rutinitas tahunan. Dana otsus bukan kepastian masa jangka panjang bagi Aceh, revisi penormaan harus lebih memfokuskan pada kedudukan Aceh untuk memperkuat status pemerintahannya sendiri. Salah satu yang paling mendasar adalah kembali pada pijakan basis MoU Helsinki, Aceh dengan pemerintahannya sendiri (pemerintahan Aceh) yang akan berpeluang memandirikan ekonomi rakyat Aceh baik dari sumber daya alam terdiri minyak, gas, minerba, air, hutan, laut, ikan, hutan dan seluruh komponen bagi rakyat Aceh.
Ironisnya, hampir semua stakeholder ingin menginginkan adanya penambahan dana otonomi khusus bagi Aceh, semestinya keingingan itu harus diblacklist, ketergantungan pada dana otsus bagi Aceh tidak menjadikan Aceh mandiri secara fiskal, bahkan seringkali program SKPA rutinitas tahunan tidak menyentuh rakyat Aceh secara signifikan.
Setidaknya dalam revisi UUPA, Pemerintah Aceh dan DPRA memberikan kanal rekayasa penormaan hukum agar pemerintahan Aceh semakin berdaulat sebagai pemerintahan sendiri, kedudukan Gubernur Aceh layaknya Perdana Menteri atau Menteri Utama di kabinet presidensial versus parlementer bentuk negara federal, memiliki kewenangan langsung terhadap wilayahnya, berkuasa penuh atas kebijakan (Qanun berkuatan tetap di Aceh) yang ia jalankan. Kebijakan luar negeri tanpa harus memberitahukan ulang kepada Kementerian Luar Negeri sepanjang tidak menganggu kewenangan negara induk. Menjadikan Aceh sebagai model self-government dalam sistem negara kesatuan dan menguatkan pemerintahan Aceh.
Tawaran-tawaran di atas bukanlah sebuah kemustahilan bagi Aceh dengan hadirnya partai politik lokal Aceh, ingat tujuan partai politik lokal di Aceh secara teoritis adalah memperoleh otonomi bagi wilayah yang diinginkan. Kemudian yang paling radikal adalah memperjuangkan kemerdekaan dengan menggagas pembentukan negara baru.
Negara baru bukan mustahil bagi bangsa Aceh, sebut saja dibeberapa wilayah di dunia ini yang sedang berusaha untuk mencapai consensus sebagai negara baru yakni Katalonia di Spanyol, Quebec di Kanada, Skotlandia dan Wales di Inggris. Aceh harus mencapai kedaulatan tidak lagi bercita-cita untuk perpanjangan dana otonomi khusus, kehadiran Partai Aceh sebagai pemenang pemilu baik eksekutif dan legislatif menjadi penanda bahwa pemerintahan sendiri harus dikukuhkan lewat revisi UUPA ini.
Percuma penambahan dana otonomi khusus dengan skema ketergantungan rutinitas tahunan kepada pusat. Misalnya dalam proses pengesahan qanun APBA dengan segala dinamika harus melalui restu Menteri Dalam Negeri, saban tahun mendapat koreksi e-fasilitasi, ini tidak bisa, ini tidak sesuai dengan kebijakan pusat, ini tidak ada nomenklatur dan lain-lain dari petugas dari Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.
Bayangkan jika kewenangan Aceh dalam sektor migas dari garis pantai terluar 0 mil s/d 200 mil (ZEE) maka temuan migas oleh Mubadala Energy sepenuhnya menjadi milik rakyat Aceh. Maka dari itu Aceh harus berdaulat atas bangsanya sendiri.
Semoga [**]
Penulis: Muhammad Ridwansyah (Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien)