DIALEKSIS.COM | Aceh - Anggota Komisi XIII DPR RI, Muslim Ayub, mendorong pendirian kantor penghubung atau perwakilan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Aceh pada 2026. Dorongan itu mendapat sambutan sekaligus kritik konstruktif dari organisasi masyarakat sipil: Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, menilai inisiatif tersebut bukan sekadar administrasi, melainkan kebutuhan struktural yang mendesak.
Pernyataan Muslim disampaikan saat ia membuka kegiatan sosialisasi bertajuk “Urgensi Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana” di Banda Aceh. Legislator asal Aceh itu menyorot kesulitan akses layanan LPSK karena selama ini masyarakat provinsi harus mengajukan permohonan melalui kantor perwakilan di Medan, Sumatera Utara.
“Saya berharap kantor perwakilan, kantor penghubung, sudah ada di Aceh pada 2026 mendatang,” kata Muslim. Menurutnya, keberadaan kantor di Banda Aceh akan memangkas birokrasi dan memudahkan korban maupun saksi mengajukan perlindungan.
Namun implementasi gagasan ini, menurut Wakil Ketua LPSK Wawan Fahrudin, tidak semudah niat politik. LPSK mengakui kebutuhan perluasan jangkauan, tetapi regulasi menjadi hambatan utama. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 memberi ruang bagi pembentukan perwakilan “sepanjang sesuai keperluan” frasa yang, menurut Wawan, membuka interpretasi dan ketergantungan pada penilaian kementerian terkait.
Hingga hari ini, LPSK hanya memiliki lima kantor perwakilan: Sumatera Utara, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Tiga daerah terakhir baru efektif beroperasi tahun ini. Wawan menuturkan ada upaya legislasi draf perubahan kedua UU PSK yang bila disahkan akan mewajibkan LPSK membentuk perwakilan di setiap provinsi. “Jika draf itu tidak berubah sampai paripurna, perwakilan menjadi wajib,” ujarnya.
Merespons wacana itu, Azharul Husna menekankan dimensi historis dan kerapuhan sosial yang membuat kebutuhan perlindungan di Aceh berbeda. “Aceh menyimpan sejarah panjang konflik dan pelanggaran HAM. Korban dan saksi sering menghadapi intimidasi, stigma, dan kendala logistik. Menempatkan kantor LPSK di Aceh bukan sekadar memudahkan prosedur itu soal mitigasi risiko yang konkret,” kata Azharul.
Ia menilai jarak dan akses tidak hanya persoalan geografis; mengharuskan korban melakukan perjalanan ratusan kilometer untuk mengadu berimplikasi pada keselamatan, biaya, dan trauma berulang. Azharul juga memperingatkan agar kehadiran LPSK tidak menjadi simbol semata kantor harus mampu memberikan respons cepat dan layanan yang sensitif terhadap trauma.
Dalam analisisnya, KontraS Aceh mengajukan beberapa langkah praktis yang perlu dipertimbangkan pemerintah daerah dan LPSK sebelum atau bersamaan dengan pembukaan kantor:
1. Status Kantor: Prioritaskan pembentukan kantor dengan kewenangan memadai, bukan sekadar “kantor penghubung” tanpa mandat operasional.
2. Personel Khusus: Rekrut tenaga yang terlatih menangani penyintas kekerasan dan kasus HAM; kemampuan trauma-informed care menjadi mutlak.
3. Sinergi Lintas Lembaga: Bentuk mekanisme koordinasi permanen antara LPSK, kepolisian, kejaksaan, Komnas HAM, dinas sosial, serta LSM lokal agar penanganan komprehensif.
4. Prioritas Penyintas Lama: Jadikan program verifikasi dan perlindungan untuk korban konflik lama sebagai agenda awal, sekaligus membangun kepercayaan publik.
5. Unit Mobile dan Layanan Berbasis Komunitas: Pertimbangkan unit pelayanan keliling dan kerjasama dengan lembaga pendamping lokal untuk menjangkau korban di daerah terpencil.
Azharul juga menekankan pentingnya pendanaan berkelanjutan dan pengawasan publik agar kantor yang dibuka benar-benar melayani, bukan sekadar memenuhi target administratif.
Dorongan politis dari Muslim Ayub membuka peluang percepatan, namun realisasi tetap bergantung pada dua hal yakni perubahan aturan yang mengamanatkan pembentukan perwakilan LPSK dan komitmen birokrasi untuk mengakui kebutuhan provinsi seperti Aceh. Jika draf perubahan UU PSK dilanjutkan tanpa perubahan signifikan, kewajiban pembentukan perwakilan dapat menjadi jalan keluar regulatori yang jelas.
Untuk saat ini, LPSK memilih strategi pragmatis: menginisiasi kantor penghubung sebagai embrio yang diharapkan dapat dinaikkan statusnya menjadi kantor perwakilan ketika kondisi regulasi dan dukungan terpenuhi.
Permintaan pendirian kantor LPSK di Aceh, menurut Azharul Husna membuka perdebatan substantif bukan hanya soal lokasi fisik layanan, melainkan tentang bagaimana mekanisme perlindungan saksi dan korban dapat disesuaikan dengan konteks daerah yang memiliki jejak konflik dan kerentanan sosial.
“Langkah politik dan legislasi diperlukan, tetapi tanpa desain operasional yang matang dari SDM hingga sinergi antarlembaga kehadiran kantor hanya akan menjadi simbol, bukan solusi,” pungkasnya.