Minggu, 15 Juni 2025
Beranda / Parlemen Kita / Azhari Cage: Jangan Sampai Sejarah Penghilangan Wilayah Aceh Terulang Lagi

Azhari Cage: Jangan Sampai Sejarah Penghilangan Wilayah Aceh Terulang Lagi

Kamis, 12 Juni 2025 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Senator Aceh, Azhari Cage dalam wawancara dengan media CNN Indonesia. Foto: Tangkapan layar]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik penetapan empat pulau oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia sebagai bagian dari wilayah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) memantik gelombang penolakan keras dari berbagai elemen di Aceh. 

Keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, yang sebelumnya masuk sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil.

Penetapan resmi ini termuat dalam Surat Keputusan (SK) Mendagri terbaru, yang langsung menimbulkan keresahan mendalam bagi masyarakat Aceh. 

Mereka mempertanyakan dasar hukum dan historis dari keputusan tersebut, bahkan mempertimbangkan opsi gugatan hukum.

Dalam wawancara eksklusif bersama media CNN Indonesia, Senator Aceh, anggota DPD RI Dapil Aceh, Azhari menyebut bahwa keputusan ini tidak hanya bertentangan dengan data sejarah, tetapi juga mencederai kesepakatan administratif yang telah disepakati lintas provinsi sejak puluhan tahun silam.

“Setelah melihat SK Menteri Dalam Negeri, kami langsung meninjau ke lapangan bersama tim dari DPD, DPR RI, dan unsur daerah. Kami mendapati bukti nyata bahwa empat pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh. Ada prasasti, pemagaran wilayah, bahkan sertifikat tanah yang dikeluarkan Inspeksi Agraria Aceh sejak 1965 atas nama warga Aceh Selatan,” tegas Azhari.

Ia juga mengungkap bahwa dalam surat agraria yang dimaksud, tidak hanya empat, tetapi terdapat satu pulau lain yakni Pulau Berahan yang juga diklaim sebagai wilayah Aceh. 

“Itu semua menunjukkan keterikatan historis dan administratif Aceh atas wilayah tersebut,” ujarnya.

Lebih jauh, Azhari Cage mengingatkan tentang sejarah pahit integrasi Aceh ke dalam Sumatera Utara pada tahun 1950, yang memicu perlawanan bersenjata Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga lahirnya status Daerah Istimewa Aceh pada 1962.

“Dulu Aceh dileburkan ke Sumut, dan wilayah seperti Pangkalan Susu dan Pangkalan Brandan yang kaya minyak dan gas pun lepas dari Aceh. Sekarang jangan sampai sejarah itu terulang. Aceh sudah terlalu banyak bersabar. Kami tidak akan tinggal diam jika wilayah kami kembali diambil seenaknya,” tambah Azhari.

Di tengah polemik ini, kehadiran Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, ke Aceh untuk menawarkan pengelolaan bersama keempat pulau menuai kritik pedas dari Azhari Cage. Ia menyebut pendekatan itu sebagai penghinaan terhadap hak kedaulatan wilayah Aceh.

“Ketika tanah kita diambil orang lain, lalu dia datang menawarkan kerja sama pengelolaan terhadap harta kita yang diambil, yang mau itu hanya orang gila,” tegas Azhari.

Menanggapi perkembangan tersebut, Azhari menyatakan bahwa DPD RI, DPR RI dari Dapil Aceh, Pemerintah Aceh, akademisi, dan pemilik tanah sedang mempersiapkan langkah bersama untuk melayangkan gugatan hukum terhadap SK Mendagri tersebut. 

Rapat besar dalam waktu dekat akan digelar untuk menyusun strategi bersama mempertahankan kedaulatan wilayah Aceh.

“Ini bukan sekadar soal administratif. Ini harga diri Aceh. Jika kita biarkan, maka wilayah kita akan semakin terkikis dan Aceh akan terus dimarjinalkan dalam diam,” ujar Azhari. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI