DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Anggota Komisi VI DPRA dari Partai Adil Sejahtera Aceh Tgk. T. Zulfadli, M.Pd atau yang lebih dikenal dengan sapaan Waled Landeng mengusulkan pembentukan Satuan Tugas Penegakan Etika Media Sosial Aceh atau yang ia sebut sebagai Satgas Etika Medsos.
Hal ini untuk menjawab fenomena Teumenak yang marak terjadi di media sosial yang dilakukan oleh masyarakat Aceh.
"Masyarakat Aceh di media sosial banyak yang teumeunak atau berkata kotor, ini membuat kita malu," ujarnya dalam Rapat Paripurna DPR Aceh Tahun 2025 dengan agenda Penyampaian Rekomendasi DPR Aceh terhadap Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Aceh Tahun Anggaran 2024.
Anggota Komisi VI DPRA dari Partai Adil Sejahtera Aceh itu mengatakan bahwa jarang ada masyarakat di belahan dunia lain yang begitu mudah berkata kotor dan mencaci seperti yang sering terjadi di Aceh. Ini memalukan, dan ini harus dihentikan.
Waled Landeng menyoroti bagaimana etika komunikasi yang buruk di media sosial telah membuat ulama-ulama menangis prihatin.
Ia menilai, ujaran kasar dan perilaku digital yang merusak citra Aceh telah menjadi fenomena yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat.
Satuan tugas ini diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam menegur, membina, dan bahkan menjemput langsung masyarakat Aceh yang menyalahgunakan media sosial untuk mencaci, menghina, atau memprovokasi.
"Kalau kita ingin melihat perubahan, maka perlu dibentuk Satgas Penegak Etika Media Sosial. Setiap orang Aceh yang teumenak, yang suka berkata kotor di media sosial, harus ditegur, dibina, bahkan dijemput kalau perlu. Kita bentuk satgas ini dengan kolaborasi bersama Polri, TNI, Wilayatul Hisbah, dan Satpol PP & WH. Insya Allah, ini akan memberi efek jera meskipun tidak langsung 100 persen hilang," ujarnya.
Ia menambahkan, pendekatan ini bukan bersifat represif, melainkan edukatif dan preventif. Tujuannya bukan untuk membungkam kebebasan berpendapat, tetapi menegakkan nilai-nilai etika, adab, dan kesantunan yang telah lama menjadi bagian dari budaya Aceh yang islami.
“Kalau tidak kita mulai dari sekarang, maka generasi muda kita akan tumbuh dalam lingkungan digital yang liar dan tidak beretika. Ini bukan tentang politik, ini tentang masa depan peradaban Aceh di era digital,” pungkasnya. [nh]