Jum`at, 26 September 2025
Beranda / Parlemen Kita / Pansus DPRA: Setoran Gelap Tambang Rp360 Miliar/Tahun ke Oknum Penegak Hukum

Pansus DPRA: Setoran Gelap Tambang Rp360 Miliar/Tahun ke Oknum Penegak Hukum

Kamis, 25 September 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Sekretaris Pansus, Nurdiansyah Alasta, dalam laporannya di rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Kamis (25/9/2025). [Foto: Tangkapan layar media dialeksis.com dari akun youtube DPR Aceh]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Fakta mengejutkan mencuat dari ruang rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Kamis (25/9/2025).

Panitia Khusus (Pansus) Mineral dan Batubara serta Minyak dan Gas mengungkap praktik setoran gelap yang melibatkan ribuan alat berat tambang ilegal di berbagai kabupaten Aceh.

Sekretaris Pansus, Nurdiansyah Alasta, dalam laporannya di hadapan forum paripurna menyampaikan, sedikitnya terdapat 450 titik lokasi tambang ilegal di Aceh.

Dari lokasi tersebut, sekitar 1.000 unit excavator beroperasi secara aktif. Ironisnya, setiap unit excavator diwajibkan menyetor uang sebesar Rp30 juta per bulan kepada oknum penegak hukum.

“Pansus DPR Aceh menemukan sebanyak 450 titik lokasi tambang ilegal, dengan jumlah excavator yang bekerja secara aktif sebanyak 1.000 unit. Keseluruhan excavator diwajibkan menyetor uang sebesar 30 juta rupiah per bulan kepada para penegak hukum,” ungkap Nurdiansyah Alasta di ruang paripurna yang dilansir media dialeksis.com dari akun youtube DPR Aceh.

Menurutnya, uang yang disebut sebagai “uang keamanan” itu mengalir ke pihak-pihak di wilayah kerja masing-masing. Jika dihitung secara keseluruhan, praktik setoran ilegal ini menghasilkan sedikitnya Rp 360 miliar per tahun.

“Praktik haram ini telah berlangsung lama dan dibiarkan tanpa ada upaya serius untuk memberantasnya,” tambah Nurdiansyah Alasta.

Selain soal pungutan liar, Pansus juga menyoroti dampak ekologis dari aktivitas tambang ilegal. Bukit yang gundul, sungai yang tercemar lumpur, serta hilangnya kawasan resapan air menjadi pemandangan yang umum di sekitar lokasi tambang. Kondisi ini, menurut Pansus, berkontribusi besar terhadap bencana banjir bandang, longsor, hingga kekeringan yang kerap menimpa Aceh.

Nurdiansyah Alasta menegaskan, kerusakan lingkungan akibat praktik tambang ilegal tidak bisa ditoleransi lagi. Oleh sebab itu, Pansus mendesak pemerintah Aceh segera mengambil langkah tegas.

“DPRA meminta kepada Gubernur Aceh untuk dapat melakukan proses penutupan terhadap seluruh kegiatan tambang ilegal. Keselamatan rakyat harus menjadi prioritas utama,” tegasnya.

Dalam laporannya, Pansus juga merinci daerah-daerah yang menjadi titik marak aktivitas tambang ilegal. Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tengah, dan Pidie disebut sebagai wilayah paling rawan.

“Tambang-tambang ilegal ini tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga menutup peluang penerimaan daerah yang sah,” ucap Nurdiansyah Alasta.

Sebagai jalan keluar, DPRA melalui Pansus menyarankan agar pemerintah Aceh memberikan kesempatan kepada koperasi gampong untuk mengelola tambang secara legal.

Skema ini diharapkan mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi masyarakat dengan regulasi negara, sekaligus menjaga lingkungan.

“Sehingga ini bisa menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dengan membangun kemitraan bersama pemerintah daerah melalui BUMD masing-masing kabupaten/kota,” kata Nurdiansyah Alasta.

Dalam rapat paripurna itu, seluruh sorotan Pansus ditujukan kepada Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, agar segera menindaklanjuti temuan ini. DPR Aceh menegaskan tidak ada alasan untuk membiarkan tambang ilegal terus beroperasi.

“Ini momentum penting untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Penutupan tambang ilegal bukan hanya soal hukum, tapi juga menyangkut keselamatan generasi Aceh ke depan,” pungkas Nurdiansyah Alasta. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
bpka - maulid