Sabtu, 26 Juli 2025
Beranda / Pemerintahan / Aceh Masuk 5 Besar Daerah dengan Stunting Tertinggi, Pakar Gizi: Komitmen Daerah Masih Lemah

Aceh Masuk 5 Besar Daerah dengan Stunting Tertinggi, Pakar Gizi: Komitmen Daerah Masih Lemah

Jum`at, 25 Juli 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Pakar gizi Aceh, Junaidi, SST., M.Kes, mantan Ketua Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Aceh periode 2019 - 2024 dan dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Aceh. Foto: doc Aceh


DIALEKSIS.COM | Aceh - Meski prevalensi stunting nasional menurun dari 21,5 persen pada 2023 menjadi 19,8 persen pada 2024, namun sejumlah daerah masih menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Salah satunya adalah Provinsi Aceh yang justru mencatatkan prevalensi stunting sebesar 28,6 persen, tertinggi kelima secara nasional menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024.

Melihat tingginya angka tersebut, redaksi Dialeksis.com menghubungi pakar gizi Aceh, Junaidi, SST., M.Kes, mantan Ketua Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Aceh periode 2019 - 2024 dan dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Aceh, untuk menggali penyebab serta solusi atas tingginya angka stunting di Tanah Rencong.

Ketika ditanyakan bagaimana cara menurunkan angka stunting di Aceh, Junaidi menyoroti lemahnya implementasi program di lapangan. Menurutnya, banyak upaya pencegahan yang dilakukan hanya untuk memenuhi syarat administratif semata.

"Program Pencegahan Stunting di Aceh sejauh ini belum berjalan maksimal. Banyak yang sekadar memenuhi kelengkapan formal, tanpa benar - nbenar menyentuh akar persoalan di masyarakat," ungkap Junaidi 4 tahun terlibat dalam Tim TPPS Aceh dan Menjadi Tim Pakar AKS di BKKBN.

Lebih lanjut, Junaidi menilai bahwa rendahnya kesadaran masyarakat, ditambah minimnya peran aktif berbagai pihak, turut memperparah situasi. Namun, ia menegaskan bahwa kondisi sosial masyarakat seharusnya menjadi tantangan bagi semua pihak, bukan alasan untuk pasrah.

"Itulah tantangan kita bersama pemerintah, akademisi, dan para cendekiawan. Ada wilayah yang berhasil menurunkan stunting, namun sebagian daerah lainnya masih kurang komitmen, tidak fokus, dan lebih sibuk menyelesaikan proyek daripada menyentuh substansi," jelasnya.

Ia menambahkan bahwa lemahnya komitmen daerah bisa jadi berkaitan dengan minimnya anggaran, atau bahkan tidak dijadikannya isu stunting sebagai prioritas dalam kebijakan pembangunan daerah.

Dalam penjelasan yang lebih dalam, Junaidi mengungkapkan bahwa sistem politik lokal turut memengaruhi efektivitas penanganan stunting di Aceh. Banyak kepala daerah atau pejabat publik hanya menunjukkan komitmen secara simbolik.

"Kalau secara selebrasi, kelihatannya semua sudah berkomitmen. Lihat saja, saat ada kegiatan besar semua ikut tanda tangan komitmen. Tapi setelah itu, kembali ke pola kerja biasa tanpa keberlanjutan," kata Junaidi mengkritik.

Ketika ditanya tentang solusi konkret, Junaidi menjawab lugas. Ia menyebut bahwa Aceh membutuhkan tim profesional, independen, dan kuat, yang bekerja penuh didukung oleh pemimpin daerah, khususnya Gubernur Aceh.

"Kita butuh tim yang kuat dan benar-benar bekerja untuk rakyat. Bukan hanya formalitas atau ASN yang ditunjuk tanpa keahlian. Harus didukung penuh oleh Sang Gubernur, 'Panglima Mualem'," tegas Junaidi menyebut Mualem panggilan akrab Muzakir Manaf, Gubernur Aceh.

Ia juga mengingatkan bahwa tenaga, sarana, dan anggaran harus diarahkan secara tepat dan terukur, disesuaikan dengan masalah spesifik gizi yang ada di tiap kelompok masyarakat.

"Setiap masalah gizi berbeda. Ada yang dialami ibu hamil, remaja, bayi, atau balita. Penanganannya pun harus disesuaikan dengan konteks di desa, kecamatan, bahkan tingkat rumah tangga. Tidak bisa disamakan semua," jelasnya.

Junaidi menggarisbawahi pentingnya intervensi berbasis data. Ia mendorong pemerintah daerah untuk menggunakan hasil audit kasus stunting dan analisis gizi kurang serta anemia pada ibu hamil sebagai basis kebijakan.

"Gunakan data yang dikumpulkan oleh ahli gizi di Puskesmas sebagai dasar intervensi. Jangan hanya mengandalkan laporan dari pusat. Aceh punya sumber daya manusia, tinggal kemauan dan sistem yang mendukung," tutup Junaidi.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI