DIALEKSIS.COM | Aceh - Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengungkapkan hanya empat provinsi di Indonesia yang tidak bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Keempat provinsi tersebut, yakni Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, dinilai memiliki kemandirian fiskal tinggi dengan kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas 60% terhadap APBD. Sementara lebih dari 70% daerah lain masih menggantungkan pendanaan pada APBN, dengan PAD di bawah 40%.
Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menjelaskan, capaian empat provinsi ini mencerminkan kuatnya kapasitas fiskal berbasis aktivitas ekonomi lokal. "Jawa Barat, misalnya, kontribusi PAD - nya mencapai 76% pada 2024. Banten 73,7%, DKI Jakarta 64%, dan Jawa Tengah juga memiliki angka signifikan," ujarnya, Selasa (25/6). Sumber utama PAD berasal dari pajak daerah seperti pajak kendaraan bermotor, bumi dan bangunan, serta retribusi, didukung geliat industri skala besar dan pengelolaan BUMD yang profesional.
Di tengah sorotan ini, Aceh menjadi perhatian khusus. Dialeksis, agar mendorong provinsi berstatus khusus ini mencontoh keberhasilan empat provinsi tersebut. Namun, realitasnya, kemandirian fiskal Aceh masih rendah. Kontribusi PAD terhadap APBD - nya belum signifikan, meski ada peningkatan penerimaan pajak daerah.
Dr. Rustam Effendi, SE, M.Econ, akademisi ekonomi Universitas Syiah Kuala, memaparkan, ketergantungan Aceh pada sektor primer seperti pertanian dan perikanan, serta minimnya industri besar, menjadi faktor penghambat.
"Mayoritas PAD Aceh masih bergantung pada pajak kendaraan bermotor, yang pengelolaannya belum optimal. Kesadaran wajib pajak juga masih rendah," jelasnya kepada Dialeksis saat di hubungi pada Kamis (01/05/2025).
Untuk mengejar ketertinggalan, Rustam menyarankan langkah strategis, seperti mendorong investasi industri besar.
“Potensi sektor hilir dari komoditas primer seperti perkebunan, kelautan, dan pertambangan perlu dimaksimalkan. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun, Sabang, dan Barsela harus menjadi magnet investor,” ungkapnya.
Selain itu Rustam menyarankan agar semakin optimalisasi keberadaan BUMD, maksudnya PT PEMA dan BPKS perlu dikelola profesional dengan tata kelola berbasis GCG (Good Corporate Governance) dan rencana bisnis terukur.
Saran lain agar mendatang PAD bagi Aceh, Rustam menjelaskan perlunya digitalisasi sistem pajak.
“Implementasi e-pajak untuk meminimalkan kebocoran, pemutakhiran data objek pajak, dan ekstensifikasi wajib pajak baru,” jelasnya.
Tak kalah pentingnya agar PAD Aceh semakin besar yakni pengelolaan aset daerah, ”inventarisasi aset tidak produktif untuk disewakan atau dialihfungsikan guna meningkatkan pendapatan,” ungkapnya.
Terakhir ia menyarankan pentingnya dilakukan restrukturisasi Badan Pengelolaan Keuangan Aceh (BPKA), melahirkan institusi baru melalui pembentukan Badan Pendapatan Aceh agar struktur organisasi lebih ramping dan fokus pada optimalisasi PAD.
Gubernur Aceh, Mualem, diharapkan segera merealisasikan sejumlah ikhtiar, termasuk percepatan kerja sama investasi dan reformasi tata kelola keuangan daerah. "Aceh punya potensi besar. Dengan strategi tepat, kemandirian fiskal bukan hal mustahil," tegas Rustam.
“Tingginya ketergantungan daerah pada APBN mencerminkan belum meratanya pembangunan ekonomi Indonesia. Keberhasilan empat provinsi mandiri menjadi bukti bahwa penguatan PAD melalui industri, pajak, dan BUMD profesional adalah kuncinya. Aceh, dengan segala potensi dan status khususnya, diharapkan bisa segera menyusul,” tutup dosen senior USK ini.