DIALEKSIS.COM | Aceh - Pemerintah Aceh menyiapkan lahan seluas 300 hektare untuk proyek investasi peternakan yang melibatkan perusahaan asal Tiongkok, Zhongke Holding Green Technology Co Ltd. Kawasan ini akan berlokasi di Kabupaten Aceh Besar dan dikelola melalui kerja sama dengan PT Pembangunan Aceh (PEMA) sebagai badan usaha milik daerah.
Rencana investasi tersebut mencuat setelah penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Aceh dan pihak investor dalam Forum ASEAN - China Cooperation and Development Conference on Food and Agriculture di Zhengzhou, Tiongkok, pada awal pekan ini.
Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) menyebut kerja sama ini sebagai langkah strategis untuk memperkuat ketahanan pangan daerah dan membuka peluang investasi baru di sektor agribisnis.
“Aceh terbuka bagi investor yang membawa nilai tambah dan manfaat nyata bagi masyarakat. Kita ingin sektor peternakan menjadi penggerak baru ekonomi rakyat,” ujar Muzakir dalam keterangan resminya.
Direktur Utama PEMA, Mawardi Nur, menjelaskan bahwa proyek tersebut akan berfokus pada pengembangan peternakan sapi dan unggas berbasis teknologi hijau.
“Investasi ini bukan sekadar membangun kandang, tetapi juga membangun sistem peternakan modern yang dimulai dari bibit, pakan, hingga rantai pasok daging dan telur yang terintegrasi,” jelasnya.
Mawardi menambahkan, Aceh saat ini masih memiliki ketergantungan tinggi terhadap pasokan daging ayam dan telur dari provinsi lain, terutama Sumatera Utara. Kondisi ini menyebabkan harga komoditas protein hewani di Aceh relatif fluktuatif dan sering lebih tinggi dibanding daerah sekitar.
“Ini momentum bagi kita semua untuk mengurangi ketergantungan dan memperkuat kemandirian pangan,” tegasnya.
Menanggapi rencana investasi tersebut, Hendra Koesmara, S.Pt., M.Sc., dosen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK), menilai proyek ini dapat menjadi momentum penting kebangkitan peternakan Aceh, namun ia mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak dalam euforia investasi semata tanpa memperhatikan kesiapan dasar di lapangan.
“Menyiapkan lahan 300 hektare bukan hanya soal luasnya area. Yang lebih penting adalah ketersediaan infrastruktur dasar seperti akses air, jalan logistik, listrik, dan kualitas tanah untuk pakan hijauan,” jelasnya kepada Dialeksis.com, Jumat (17/10).
Hendra menegaskan bahwa keberhasilan proyek akan sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia (SDM) lokal yang mampu mengoperasikan sistem peternakan modern.
"Teknologi yang dibawa investor asing sering kali membutuhkan keahlian tinggi. Jika tenaga lokal tidak dipersiapkan, mereka hanya akan menjadi tenaga pembantu, bukan pelaku utama,” katanya.
Selain itu, ia juga menyoroti risiko ketergantungan terhadap bahan impor seperti bibit, obat, dan pakan ternak.
"Sistem produksi yang bergantung pada impor akan rentan terhadap fluktuasi harga global. Karena itu, perlu ada strategi penguatan industri pendukung dalam negeri,” tambahnya.
Hendra juga menekankan pentingnya pengelolaan limbah peternakan agar tidak mencemari lingkungan.
“Limbah sapi dan ayam harus diolah dengan sistem bioenergi atau kompos sehingga bisa memberikan nilai tambah, bukan malah menjadi sumber pencemaran,” ujarnya.
Menurutnya, bila dikelola dengan baik dan transparan, investasi ini dapat menjadi model pengembangan peternakan berkelanjutan di Aceh. Namun pemerintah harus memastikan tata kelola kerja sama dilakukan secara terbuka dan profesional, mulai dari perencanaan, izin, hingga implementasi di lapangan.
“Jangan sampai proyek ini hanya menjadi seremonial atau sekadar MoU di atas kertas. Aceh punya potensi besar menjadi lumbung daging dan telur di kawasan barat Indonesia, tapi kuncinya adalah manajemen dan komitmen lintas sektor,” tegasnya.
Data Dinas Peternakan Aceh menunjukkan, kebutuhan daging ayam dan telur konsumsi di Aceh terus meningkat setiap tahun, sementara kapasitas produksi lokal baru memenuhi sekitar 60 - 65 persen dari kebutuhan total. Kekurangan pasokan ini ditutupi dari daerah tetangga seperti Sumatera Utara dan Riau.
Kondisi tersebut menjadikan investasi di sektor peternakan terutama ayam pedaging dan petelur sebagai kebutuhan mendesak. Karena itu, para akademisi dan pelaku usaha mendorong Pemerintah Aceh untuk memberikan kemudahan regulasi, penyediaan lahan, infrastruktur pendukung, serta kepastian perizinan bagi investor yang serius ingin menanamkan modalnya.
Dengan tata kelola yang matang dan dukungan kebijakan yang berpihak, proyek kerja sama dengan Zhongke Holding dapat menjadi pintu masuk industrialisasi peternakan Aceh, menciptakan lapangan kerja baru, dan memperkuat ketahanan pangan daerah.[]