DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Keputusan seorang kepala daerah yang melakukan perjalanan ke luar negeri saat wilayahnya dilanda banjir memicu sorotan publik. Pengamat Pemerintahan Daerah, Makmur Ibrahim, menilai tindakan seperti itu bukan hanya keliru secara etika kepemimpinan, tetapi juga berpotensi melanggar aturan perundang-undangan.
Makmur mengatakan, dalam situasi bencana, keberadaan kepala daerah sangat menentukan arah penanganan di lapangan. Karena itu, ia menyayangkan apabila seorang bupati memilih meninggalkan masyarakat yang sedang dilanda musibah.
“Sebenarnya bila ditanya pendapat saya, sangat kita sayangkan kepala daerah meninggalkan tempat yang sedang mengalami musibah banjir untuk melakukan perjalanan ke luar negeri,” ujarnya kepada Dialeksis, Senin 8 Desember 2025.
Menurut Makmur, setiap perjalanan ke luar negeri oleh kepala daerah telah diatur secara ketat. Permendagri Nomor 59 Tahun 2019 tentang Perjalanan Dinas ke Luar Negeri di Lingkungan Kemendagri dan Pemerintah Daerah menegaskan bahwa kepala daerah wajib memperoleh izin sebelum berangkat. Ketentuan dalam Pasal 29 dan Pasal 32 bahkan menyebutkan bahwa kepala daerah, wakil kepala daerah, serta pimpinan dan anggota DPRD yang melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dapat dikenai sanksi administratif, kecuali dalam kondisi pengobatan mendesak.
Ia menegaskan bahwa regulasi tersebut bukan sekadar formalitas, melainkan mekanisme untuk memastikan urusan pemerintahan tetap berjalan baik.
“Peraturan itu dibuat agar kepala daerah tetap berada dalam kendali sistem pemerintahan. Ketika rakyat sedang menghadapi bencana, justru pada saat itulah pemimpin harus berada di tengah mereka, bukan berada di luar negeri,” kata Makmur.
Lebih jauh, Makmur mengingatkan bahwa sanksi atas pelanggaran izin perjalanan ke luar negeri bukanlah hal ringan. Berdasarkan Pasal 76 ayat (1) huruf i dan Pasal 77 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah yang bepergian ke luar negeri tanpa izin dapat dikenai sanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan oleh Menteri Dalam Negeri.
Ia menilai ketentuan itu perlu kembali disosialisasikan agar tidak terulang kasus serupa. “Ini menjadi pelajaran berharga bagi semua kepala daerah. Mereka sudah mewakafkan hidup untuk masyarakat, maka setiap langkahnya harus mengikuti regulasi yang berlaku. Apalagi ketika daerah sedang dilanda bencana, sudah seharusnya kepala daerah dan wakil kepala daerah tetap berada di tengah rakyatnya,” tegas Makmur.
Menurutnya, seorang pemimpin daerah tidak hanya diukur dari kebijakan, tetapi juga dari kehadiran secara langsung di saat masyarakat mengalami masa sulit.
“Simbol kepemimpinan itu hadir ketika rakyat butuh. Bukan hanya soal teknis penanganan, tetapi kehadiran seorang pemimpin memberi rasa tenang, menunjukkan empati, dan memastikan sumber daya dikerahkan optimal,” pungkasnya.