DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Keberadaan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh sebagai organisasi yang seharusnya menjadi jembatan antara dunia usaha dan pemerintah daerah dipertanyakan. Prof. Dr. Mukhlis Yunus, S.E., M.S, Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) menyatakan bahwa KADIN Aceh seakan kehilangan daya dan arah dalam dinamika pembangunan ekonomi di Tanah Rencong.
Dirinya lanjut menjelaskan, KADIN sejatinya memiliki posisi strategis dalam struktur pembangunan ekonomi nasional. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, yang menetapkan KADIN sebagai wadah tunggal dunia usaha Indonesia dan mitra resmi pemerintah. Namun sayangnya, di Aceh, peran tersebut tampak redup.
"Pertanyaannya, di mana posisi KADIN Aceh dalam pembangunan daerah? Mengapa suara mereka tak terdengar dalam berbagai forum penting pembangunan ekonomi?" ujar Prof Mukhlis saat dihubungi media Dialeksis, Senin (9/6/2025).
Ia menyoroti lemahnya relasi antara KADIN dan Pemerintah Daerah Aceh. Dalam proses penyusunan kebijakan strategis seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), forum investasi, maupun misi dagang luar negeri, peran KADIN Aceh nyaris tak tampak.
“Dalam semangat otonomi daerah, seharusnya KADIN provinsi bisa menjadi mitra utama pemerintah dalam mendesain arah kebijakan ekonomi, memperjuangkan pelaku usaha lokal, serta menjaga iklim investasi. Tapi itu belum terlihat di Aceh,” tambahnya.
Masalah ini, menurut Prof Mukhlis Yunus, bukan hanya soal tidak diberi ruang oleh pemerintah daerah, tapi juga tentang lemahnya inisiatif internal dari KADIN Aceh sendiri. Ia menilai bahwa KADIN Aceh belum mampu membangun posisi tawarnya secara nyata.
“Minimnya konsolidasi, tidak jelasnya agenda kerja jangka menengah, serta kecenderungan seremonial membuat keberadaan KADIN Aceh terasa hambar. Padahal tantangan dunia usaha di Aceh sangat kompleks dari soal perizinan, akses pembiayaan, hingga hambatan infrastruktur dan pasar,” tuturnya.
Prof Mukhlis menyerukan agar KADIN Aceh melakukan evaluasi total terhadap posisi dan fungsinya. Ia menawarkan tiga langkah strategis agar organisasi ini bisa bangkit dan relevan kembali:
“Jika ketiga hal ini dilakukan secara serius dan konsisten, KADIN Aceh bisa kembali menjadi mitra penting pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Tidak sekadar nama di atas kertas, tapi benar-benar hadir sebagai aktor pembangunan,” tegas Prof Mukhlis.
Prof Mukhlis juga mengingatkan pemerintah daerah untuk tidak memandang KADIN sekadar sebagai pelengkap acara atau pelaku seremonial belaka. Ia meminta agar pemerintah membuka ruang dialog sejajar, menjadikan KADIN sebagai mitra dalam merumuskan dan mengeksekusi kebijakan ekonomi yang berdampak nyata.
“Aceh membutuhkan pembangunan ekonomi yang progresif, adil, dan berbasis potensi lokal. Itu hanya bisa tercapai jika ada kemitraan sejati antara pemerintah, pelaku usaha, dan KADIN,” pungkas pengamat ekonomi nasional.