Rabu, 10 Desember 2025
Beranda / Pemerintahan / Peringatan Mensos soal Izin Donasi Direspons Akademisi UI: Jangan Buat Rakyat Mengelus Dada

Peringatan Mensos soal Izin Donasi Direspons Akademisi UI: Jangan Buat Rakyat Mengelus Dada

Rabu, 10 Desember 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Ezki Suyanto, dosen Universitas Indonesia, alumnus Ohio University Amerika Serikat. Foto: doc pribadi/Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pernyataan Menteri Sosial Saifullah Yusuf, atau Gus Ipul, yang mengingatkan kembali soal kewajiban izin penggalangan dana untuk korban banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memantik reaksi publik. 

Ia menegaskan bahwa setiap kegiatan donasi harus mengikuti prosedur perizinan, termasuk oleh artis dan influencer yang belakangan membuka donasi hingga miliaran rupiah.

“Kalau menurut ketentuan, itu harus izin dulu. Bisa dari kabupaten, kota, atau dari Kementerian Sosial,” ujar Gus Ipul saat ditemui di Kantor Kemensos, Salemba, Jakarta Pusat, Selasa, 9 Desember 2025.

Namun, imbauan itu dianggap tidak sensitif di tengah situasi darurat. Ezki Suyanto, dosen Universitas Indonesia, alumnus Ohio University Amerika Serikat, sekaligus eks pekerja kemanusiaan di Aceh saat tsunami 2004, menilai pemerintah gagap menghadapi gelombang solidaritas publik yang lahir dari media sosial.

“Masyarakat Indonesia itu berhati besar. Mereka bergerak karena nurani, bukan kewajiban. Dalam bencana, solidaritas itu muncul tanpa komando,” kata Ezki saat dihubungi Dialeksis.

Menurut dia, pemerintah terlihat tidak siap menghadapi kenyataan bahwa masyarakat bergerak lebih cepat dan memperoleh kepercayaan lebih besar dari publik dibanding aparat negara. Tayangan penderitaan korban yang viral di media sosial, ujarnya, membuat warga bertindak spontan, menggalang dana dan mengirimkan bantuan tanpa menunggu birokrasi.

“Pemerintah tidak siap ketika korban lebih percaya kepada masyarakat yang turun tanpa pamrih. Pemerintah seperti melihat mereka sebagai saingan. Padahal uang yang dipakai pejabat itu dana rakyat juga,” ujarnya.

Ezki menyebut pernyataan pemerintah terkait izin donasi berpotensi mengkerdilkan semangat gotong royong yang menjadi kekuatan masyarakat selama puluhan tahun. Sementara itu, elite politik justru memanfaatkan momen bencana untuk menunjukkan empati lewat panggung kamera.

“Elit berlomba menunjukkan diri paling peduli, sementara warga yang membantu justru dituding melanggar aturan. Mereka mempublikasikan aktivitasnya di media sosial bukan untuk pencitraan, tapi bentuk pertanggungjawaban kepada para donatur,” kata Ezki.

Ia meminta pemerintah tidak mengeluarkan pernyataan yang justru menyinggung rasa keadilan publik.

“Please, pejabat jangan buat rakyat tertawa sambil mengelus dada. Masyarakat membantu karena iman, bukan sekadar tempelan ‘beragama’ di KTP,” ujarnya.

Ezki menekankan bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah kemampuan negara merespons bencana secara cepat, bukan membatasi partisipasi warga. Ia mengingatkan bahwa dalam banyak peristiwa, masyarakat selalu menjadi pihak yang pertama hadir, bahkan sebelum sirene negara berbunyi.

“Sudah saatnya pemerintah melihat masyarakat sebagai mitra, bukan pesaing di arena kemanusiaan. Di tengah bencana, yang perlu dibatasi bukan empati warga, melainkan kebiasaan pejabat merasa paling benar,” katanya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI