DIALEKSIS.COM | Aceh - Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan permohonan uji materi Perkara No. 160/PUU/2023. Putusan ini membawa perubahan mendasar terhadap desain keserentakan pemilu di Indonesia.
Munawarsyah, mantan Komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, menilai putusan ini akan menimbulkan konsekuensi serius terhadap masa jabatan anggota DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
“Substansi putusan MK ke depan mengatur keserentakan pemilu dibagi dalam dua model, yakni Pemilu Serentak Nasional dan Pemilu Serentak Daerah. Pemilu nasional akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI. Sementara itu, pemilu daerah dilaksanakan dua tahun atau paling lama dua setengah tahun setelahnya, untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota, serta anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota,” jelas Munawarsyah kepada media Dialeksis, Sabtu (5/7/2025).
Ia menggarisbawahi, skema tersebut secara langsung berpengaruh terhadap masa jabatan anggota legislatif di tingkat daerah. Menurutnya, jika pemilu daerah baru dilaksanakan pada 2031”dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu 2029”maka anggota DPRD periode hasil Pemilu 2024 akan menjabat hingga 7 atau bahkan 7,5 tahun.
“Secara normatif, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 102 ayat (4) dan Pasal 155 ayat (4) memang memberi ruang atas kondisi ini. Disebutkan bahwa masa jabatan anggota DPRD adalah lima tahun dan berakhir saat anggota DPRD baru mengucapkan sumpah dan janji. Artinya, secara otomatis masa jabatan mereka diperpanjang jika pelantikan pengganti belum dilakukan,” terang mantan Ketua KIP Banda Aceh.
Namun demikian, Munawarsyah menyoroti aspek legitimasi politik dan hukum dari perpanjangan masa jabatan tanpa mandat langsung dari pemilih. Ia merujuk pada pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra, yang mempertanyakan dasar hukum perpanjangan masa jabatan tersebut.
"Cabang kekuasaan legislatif itu berasal dari daulat rakyat melalui pemilu untuk masa jabatan lima tahun. Tidak ada kuasa lain di luar itu. Maka pertanyaannya, atas dasar kuasa apa masa jabatan mereka diperpanjang hingga dua atau dua setengah tahun?," kutip Munawarsyah dari pernyataan Prof. Yusril.
Munawarsyah menambahkan, jika mengikuti asas kedaulatan rakyat, maka ketika masa jabatan lima tahun anggota DPRD telah berakhir dan belum dilaksanakan pemilu daerah, seharusnya penggantian bisa dilakukan dengan mekanisme yang tetap menjunjung prinsip daulat rakyat.
“Solusi alternatif yang layak dipertimbangkan adalah menggantikan anggota DPRD yang masa jabatannya telah selesai dengan calon legislatif dari pemilu 2024 yang memperoleh suara terbanyak berikutnya di dapil masing-masing dari partai yang sama. Mereka juga merupakan pemilik legitimasi rakyat yang sah,” tegasnya.
Dengan demikian, lanjut Munawarsyah, wacana revisi Undang-Undang Pemilu menjadi sangat penting. Harus ada penyesuaian hukum yang mengatur masa jabatan legislatif agar tidak menimbulkan dualisme konstitusional antara putusan MK dan prinsip kedaulatan rakyat.
“Putusan MK memang mengubah struktur jadwal pemilu, tetapi jangan sampai menabrak prinsip dasar demokrasi kita. Karena itu, kita menunggu bagaimana rumusan akhir dalam revisi Undang-Undang Pemilu ke depan, apakah akan tetap memperpanjang masa jabatan DPRD atau justru mengadopsi mekanisme lain yang lebih demokratis,” tutup Munawarsyah.